Saat Itu Soeharto Keluar Negeri, Rapat di Pesawat, Lalu Dijatuhkan Mahasiswa
Jakarta, FNN - Pemerintahan Joko Widodo saat ini tengah mengalami hal yang tidak normal, yakni terjadinya banyak intrik di dalam kabinet itu sendiri. Sementara keadaan ekonomi makin memburuk dan tidak ada yang peduli. Demikian juga keresahan mahasiswa dan buruh, konsolidasi daerah tetap terjadi, tapi pers tetap dikendalikan.
“Kondisi ini sama seperti Putin yang mengendalikan pers supaya jangan disebut bahwa dia itu melakukan invasi ke Ukraina. Kemarin ada undang-undang khusus buat pers di Rusia yang melarang pers memberitakan invasi Rusia, jika memberitakan, pers dalam negeri Rusia sendiri itu kena 15 tahun,” kata pengamat politik Rocky Gerung kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Rabu, 11 Mei 2022.
Rocky menegaskan bahwa keadaan itu sama dengan keadaan pada bangsa Indonesia saat ini.
“Jadi begitu juga di kita. Keadaan di daerah tidak bisa kita tahu secara sempurna, kalau kita enggak bergaul dengan LSM daerah atau buruh daerah atau mahasiswa daerah,” paparnya.
Hal itu, kata Rocky harus menjadi perhatian serius Presiden Joko Widodo.
“Jadi kelihatannya itu dua hal seolah-olah Presiden Jokowi pergi ke Amerika dengan pencitraan investasi, tapi pasti Amerika tahu lebih dulu bagaimana kelakuan perbisnisan di Indonesia yang hanya dikuasai oleh konglomerat. Hal-hal macam ini yang mungkin akan menjadikan Presiden Jokowi akan balik ke Indonesia tanggal 15 itu dan melihat bahwa makin berantakan,” tegasnya.
Rocky menduga, Presiden juga akan melakukan rapat di atas pesawat sebagaimana Presiden Soeharto tahun 1998.
“Jadi dari atas pesawat pasti ada laporan paling berantakan. Dan dia lebih panik lagi. Nanti juga ada berita baik sebetulnya buat mereka yang ingin mempercepat perubahan. Jadi semua hal yang kita analisis ini sebetulnya berita baik walaupun faktanya buruk. Fakta-fakta ini mengingatkan kita pada peristiwa 1998 yang saat itu Presiden Soehrto juga sedang pergi keluar negeri,” tegasnya.
Oleh karena Rocky mengaku harus lebih hati-hati dalam mengulas persoalan ini semua, karena ini sangat peka, mengingatkan kita pada peristiwa 1998 dimana saat itu Pak Harto pergi keluar negeri dan pulang-pulang rakyat teriak reformasi.
“Pak Harto masih di Mesir waktu itu. Kan sama saja, ketika presiden ada di luar negeri dan briefing presiden di atas pesawat, itu justru menyebabkan reformasi dipercepat. Ia kita cuma mengingatkan sejarah,” katanya.
Rocky menegaskan bahwa hari ini orang melihat permainan politik yang basisnya nilai etika value, itu dikalahkan oleh post trust. Jadi terpilihnya anaknya diktator Marcos itu juga akibat dari big data. Karena permainan sosial media.
“Seolah-olah politik itu bisa dikendalikan hanya dengan hobi 2 - 3 orang untuk utak-atik statistik, lalu dipromosikan oleh segala macam sosial media, lalu jadilah,” paparnya.
Hal itu mengingatkan kita bahwa peristiwa demokrasi itu memang musti diolah oleh akal sehat, bukan sekadar akal-akalan survei. Itu poin pertama. Yang kedua adalah di sekitar kita juga, masih di Asean, itu ada soal Filipina, ada soal istana yang kemudian kehilangan Raja Paksa di Srilanka, presidennya dan satu paket dengan Perdana Menteri, akhirnya mundur karena tekanan ekonomi.
Menurut Rocky, kemarahan publik tidak bisa dicegah oleh headline media saja. Begitu juga waktu Marcos, kan tiba-tiba Istana Malacanang diserbu dan ditemukan di situ ribuan sepatu mewah dari Imelda Marcos.
“Kita tidak tahu kalau ada istana yang diserbu nggak ada apa-apanya, isinya cuma komik-komik doang. Jadi bagian-bagian ini yang kita sebut sebagai evidence, fakta dalam sejarah yang kemudian mengingatkan orang bahwa sejarah bisa berulang dengan model yang sama,” tegasnya.
Rocky menegaskan bahwa saat ini ada pertemuan di Washington antara Amerika Serikat dan companion dia di ASEAN Summit itu, pasti akan bicara soal dua fakta ini, soal Filipina dan soal Raja Paksa.
Semua hal itu kata Rocky sebetulnya akan menjadi point of interest karena Amerika berupaya untuk mengkonsolidasi demokrasi justru di Indo-Pasifik. Sementara di Indo-Pasifik sudah ada dua kasus yang berlangsung secara tidak demokratis, satu pemerintahan gagal memberi semangat demokrasi dan keadilan rakyat, lalu muncul otoriterisme. Jadi soal-soal semacam itu yang akan menjadi background dari perginya Presiden Jokowi.
“Di dalam negeri Presiden Jokowi pergi dengan meninggalkan bom waktu soal Golkar. Saya kira mungkin Presiden Jokowi juga sudah tahu dari awal apa yang musti dia lakukan nanti. Tapi seperti biasa kita tahu ada operatornya, pasti Pak Luhut yang akan bersiap-siap untuk oh, nggak apa-apa, nanti akan saya monitor terus dari Washington apa yang terjadi di Jakarta, terutama Airlangga,” kata Rocky.
Jokowi kata Rocky, kalau tidak lagi menjabat Presiden, bukan apa-apa dan siapa lagi. Ia hanya pensiunan Presiden, karena PDIP adalah milik Megawati.
Setiap ke tokoh politik, kata Rocky, dia akan diganggu setelah selesai memerintah. Banyak yang mengincar Pak Jokowi, tidak alang kepalang. Mulai dari laporan Ubed yang belum diproses. Tetapi ternyata laporan Ubed tentang KKN anak presiden semakin lama makin terbuka.
“Ini sebetulnya ada kekhawatiran sebagai seorang tokoh yang paham tentang nasibnya nanti, bahwa dia bisa juga dipersoalkan secara hukum,” pungkasnya. (sof, sws)