Jejak Digital Tak Bisa Bohong, Ridwan Kamil Punya Penilaian Buruk terhadap Jakarta

Jakarta | FNN –  Entah ada masalah apa dengan keluarga Ridwan Kamil, pasangan suami istri itu gemar menghina Jakarta dan warganya. Setelah Ridwan Kamil menghina rakyat Jakarta dengan sebutan negatif seperti tengil, jorok, dan kampungan, istrinya Atalia Praratya Kamil, juga melakukan hal yang sama. Dalam sebuah pose ia menampakkan bibirnya yang sengaja dimanyun-manyunkan, istri calon gubernur Jakarta nomor urut 1 itu, menjadi bahan perbincangan warganet di musim Pilkada tahun ini. Padahal kejadiannya sudah satu tahun lalu, tepatnya 11 Januari 2023, di mana Atalia memoncongkan bibirnya sembari membawa foto pemain Persija Jakarta, Rico Simanjuntak. Penyebaran foto dengan pose tersebut ternyata menyakiti suporter Persija.

Pemerhati politik dan kebangsaan Rizal Fadillah mencatat banyak sekali konten-konten medsos Ridwan Kamil yang berisi kebencian terhadap Jakarta dan warganya. Ia tidak tahu apa yang menjadi penyebab, yang jelas, apa yang dilakukan masa lalu akan dipetik pada masa kini.   

Rizal yang juga warga Bandung Jawa Barat tersebut mendata setidaknya ada 7 penyebab kekalahan Ridwan Kamil, antara lain: pertama, RK banyak penolakan dari warga Jakarta karena warga menginginkan mantan Gubernur DKI Anies Baswedan ikut dalam kompetisi akan tetapi rezim Jokowi menghalangi dengan merekayasa partai-partai agar tidak ada yang mengusung Anies. KIM mampu menarik atau membujuk PKS untuk bergabung. Pasangan pengganti Anies sodoran KIM  adalah RK-Suswono. RK boneka rezim sekaligus pembunuh Anies. Warga Jakarta paham akan hal ini, karenanya mereka menolak RK. 

Kedua, di samping itu RK adalah mantan Gubernur Jabar dan Walikota Bandung. Persib adalah musuh bebuyutan Persija. Jakmania sensitif pada boss bobotoh. Aspek historis dan psikopolitis ini menyebabkan RK menjadi musuh rakyat Jakarta khususnya pendukung Persija. RK ditolak dan hanya berharap menang dengan modal dukungan atau permainan kekuasaan Prabowo dan Jokowi. RK terasing dari masyarakat Jakarta. Ingin berakrab-akrab dengan panggilan Betawi "Bang" gagal karena panggilan Sunda adalah "Akang atau Teteh".

Ketiga, RK pernah menghina warga Jakarta dengan bokep atau malas dan hedon adalah gaya propaganda membangun spirit warga Jawa Barat atau Bandung. Padahal pola menghina tidak bagus sebagai pemimpin negarawan. Semestinya membangun spirit itu dengan optimalisasi potensi dan karakter, bukan melakukan pemojokan, peminggiran atau penghinaan. 

Keempat, dampak sikap egois dan tidak dewasa seperti itu tentu berdampak pada elektabilitas RK-Suswono. Pasangan ini tidak mendapat dukungan sebagaimana harapan dan kesumringahan awal. RK menjadi figur yang tak disukai. Belum lagi informasi gencar pula bahwa RK gagal memimpin Jawa Barat. Ada pemberi raport merah atas kepemimpinan yang dominan atas pencitraan ketimbang prestasi. 

Kelima, Suswono PKS blunder besar "menodai agama" lewat ucapannya. Suswono dikenal sebagai Menteri dari PKS era SBY dan terseret kasus suap kuota impor daging dan terima uang SKRT saat menjadi anggota DPR. Rekam jejak Suswono tidak sebersih moto PKS. Menjadi pasangan RK dinilai kontroversial karena beralasan pada threshold. MK telah mengubah threshold Pilkada yang memungkinkan PKS tidak tergantung.

Keenam, RK-Suswono tidak akan menang. Gerakan coblos semua menggerus suara, demikian juga pilihan lain rezim KIM yang bukan kepada pasangan "serba salah" ini. RK bakal keok. "Keok kawas hayam loba nu macok" (Kalah seperti ayam, banyak yang mematuk). RK-Suswono tampak semakin frustrasi dan bergoyang sendiri. 

Ketujuh, RK secara demonstratif menghadap  Prabowo dan Jokowi yang pengaruhnya tentu diharapkan. Gejala politiknya RK merasa bakal kalah sehingga butuh pegangan kuat kekuasaan. Sebenarnya awal Jokowi dan Prabowo ada di belakang RK-Suswono, tetapi perkembangan yang ada justru pasangan ini ditinggalkan. KIM sudah malas mendukung RK. Dukungan menguat ke kubu pesaing Pramono-Rano Karno.
 
Hasil survei terakhir 7 lembaga survei ada 4 lembaga yang mengunggulkan pasangan Pram-Doel dan 3 lembaga survei yang mengunggulkan Rido. Dengan demikian hasil survei memposisikan pasangan Pramono-Rano lebih unggul ketimbang pasangan Rido (Ridwan-Suswono). 

Adapun keempat lembaga survei yang mengunggulkan pasangan Pram-Doel adalah Indikator Politik, SMRC, Litbang Kompas, dan LSI.

Indikator Politik milik Burhanuddin Muhtadi merilis pasangan Pramono-Rano unggul dengan elektabilitas 42,9%, diikuti RIDO dengan 39,2%, dan Dharma-Kun sebesar 5%. Sisanya sebesar 12,8% merupakan massa mengambang atau swing voters.  

Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan bahwa elektabilitas Pramono-Rano kini mendapat posisi nomor tertinggi dengan angka survei 46%. Kemudian, nomor urut kedua yaitu RIDO 39,1% dan terakhir pasangan Dharma-Kun 5,1%.

Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan bahwa pasangan Pram-Rano berada di posisi teratas dengan 38,3%, kemudian RIDO 34,6%, dan Dharma-Kun 3,3%. Margin of error survei ini kurang lebih sebesar 3,46%. 
Hasil survei LSI (Lembaga Survei Indonesia), merilis Pramono-Rano memperoleh elektabilitas paling tinggi, sebesar 41,6%, mengalahkan elektabilitas RIDO yang sebesar 37,4% dan Dharma-Kun 6,6%, dengan margin of error 2,9% pada tingkat kepercayaan 95%.

Sementara lembaga survei yang merilis pasangan Rido lebih unggul adalah LSI (Lingkaran Survei Indonesia) Denny JA, PPI (Parameter Politik Indonesia), dan Poltracking.

Menurut lembaga survei LSI Denny JA, pasangan RIDO unggul tipis dengan perolehan 37,4% dibandingkan Pram-Rano yang sebesar 37,1%. Dharma-Kun memperoleh suara sebesar 4%. Metode survei yang dilakukan yakni multi stage random sampling dengan

Kemudian, menurut Parameter Politik Indonesia (PPI) pasangan RIDO unggul dengan perolehan sebesar 47,8%, Pram-Rano sebesar 38% dan Dharma-Kun sebanyak 4,3% suara. Metode survei ini dilakukan dengan metode multistage random sampling dengan margin of error +- 2,8%.

Sementara itu, survei Poltracking, pasangan RK-Suswono memperoleh angka elektabilitas sebesar 51,6% dan Pramono - Rano sebesar 36,4%. Pasangan yang diusung dari PDI Perjuangan (PDIP) itu berada di urutan kedua, dengan

Direktur Eksekutif Poltracking Hanta Yudha, mengungkapkan ada potensi Pilkada di Jakarta berlangsung dalam satu putaran menimbang elektabilitas pasangan RIDO sebesar 51,6%. Namun, angka tersebut masih mepet dengan persyaratan Pilkada Jakarta, yakni 50%+1. artinya, potensi Pilkada berlangsung dua putaran masih terbuka lebar. 

Hasil survei Poltracking sempat diperiksa oleh Dewan Etik Persepsi hingga akhirnya memberikan sanksi kepada Poltracking Indonesia. Awal penyelidikan ini dilakukan karena hasil Poltracking berbanding terbalik dengan LSI. Poltracking kemudian memutuskan keluar dari Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi). (ayun)

1590

Related Post