Saat Rakyat Menjadi Musuh Negara

Oleh: Yusuf Blegur

Pemberontakan sebagai upaya makar yang diwarnai aksi kekerasan, pemerkosaan, pembunuhan dan aksi teroris yang nyata dilakukan KKB di Papua. Seperti tak terlihat dan terus diabaikan oleh pemerintah. Begitupun kejahatan-kejahatan extra ordinari crime lainnya seperti marak dan telanjangnya korupsi dalam pemerintahan. Keterlibatan bisnis para pejabat sebagai siasat dan kamuflase merampok uang negara. Ditambah perilaku menyimpang dan biadab yang dilakukan tidak sedikit aparatur baik kepada rakyat maupun antar insitusi. Pemerintah seperti tak bisa melihat, mendengar dan merasakan semua distorsi kenegaraan itu. Sebaliknya, rezim seperti terhalang penuh pandangannya karena kegiatan reuni 212 dan pelbagai aksi unjuk rasa. Setiap panggung demokrasi dan parlemen jalanan divonis sebagai gerakan yang merongrong, mengancam dan membahayakan pemerintah. Berbeda dengan kejahatan dan aksi teroris yang sebenarnya, rakyat yang menyampaikan aspirasi dan sikap kritisnya dengan damai dan dijamin konstitusi, dijadikan rezim sebagai musuh negara. Harus ditindak , direpresi dan diskriminalisasi.

Saat berlangsungnya kegiatan reuni 212 di Jakarta. Pemerintah mengerahkan ribuan polisi dan tentara dengan berbagai kelengkapan armada dan senjatanya. Kawat berduri hampir setinggi orang dewasa menjadi pagar betis dengan penjagaan dan patroli aparat keamanan dari TNI dan Polri. Pemerintah seolah sedang menyiapkan perang kota. Kendaraan perang, seragam dan persenjataan lengkap menghiasi jantung kota Jakarta. Disiagakan hanya untuk menghadapi penyampaian unjuk rasa super damai umat Islam.

Aksi 212 di Monumen Nasional yang sebelumnya pernah menghadirkan 7 juta rakyat dengan tidak satupun menimbulkan keributan, lemparan batu ke aparat, pembakaran mobil dan gedung apalagi sampai menimbulkan kerusuhan. Seperti menyindir, pemerintah tampak linglung dan terkesan bodoh hanya untuk membedakan mana momen penyampaian demokrasi yang menjadi hak konstitusi rakyat, dan mana situasi dan tempat yang menjadi medan pertempuran fisik atau perang yang sesungguhnya.

Rezim kekuasaan cenderung sudah tidak lagi memiliki kehormatan dan kewibawaan. Denyut nadi dinamika rakyat selalu dihadapi dengan pendekatan keamanan. Melibatkan aparat dengan penggunaan senjata dan kekerasan seperti menjadi solusi dalam menghadapi rakyat. Bahkan dimana rakyat hanya sekedar menyampaikan aspirasi. Sikap kritis dan refleksi rakyat terhadap proses penyelenggaraan negara, dinilai sebagai upaya pembangkangan dan perlawanan rakyat. Kegagalan proses politik dan hukum dari parlemen dan institusi negara lainnya, membuat rakyat memilih demokrasi jalanan sebagai ruang ekspres. Itupun harus dihadapi dengan tindakan represi aparat. Bukan sekedar penangkapan, partisipasi rakyat yang dilindungi konstitusi itu diframing sedemikian rupa dengan isu ditunggangi atau berkedok makar dan teroris. Semua stereotif intoleran, radikal dan fundamental diumbar rezim sebagai cara efektif meredakan dan membungkam aksi yang dianggap merongrong kekuasaan. Rakyat seperti sudah kehilangan tempat mengadu. Bukan hanya dalam ranah konstitusional, bahkan di jalananan pun tak ada lagi keadilan.

Negara Kekuasaan

Pemerintahan hampir 8 tahun ini, sekarang sudah dipastikan tidak lagi menjalankan ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila. Selain menghianati cita-cita proklamasi kemerdekaan RI. Rezim ini juga membajak negara dengan menguras semua kekayaan alam dan melumpuhkan kedaulatan rakyat. Politik dan hukum dirancang sedemikian rupa hanya untuk menguasai ekonomi bagi segelintir kepentingan oligarki. Kekuasaan, selain untuk kelompoknya sendiri juga membiarkan kepentingan asing menikmati semua yang ada di negeri ini. Kalangan minoritas telah menguasai dam menjajah mayoritas, begitulah realitas Indonesia.

Rakyat terasa seperti hidup di negara asing. Tanpa kedaulatan dan akses pada sektor-sektor strategis yang menjamin kesejahteraan hidupnya. Di negerinya sendiri rakyat hanya cukup punya tempat tinggal dan bekerja memenuhi kebutuhannya yang berujung pada hidup pas-pasan dan malah serba kekurangan. Keterbatasan rakyat dalam banyak hal justru terjadi saat sekelompok orang menguasai dan mengeksploitasi bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Penderitaan rakyat menyebar seiring perampasan tanah rakyat, penguasaan hutan untuk perkebunan dan pembangunan smelter pertambangan atas nama industrialisasi oleh asing dan oligarki. Selain dikeruk kekayaannya, negara juga terancam mengalami kerusakan alam dan ekosistem lingkungan. Bukan hanya kemiskinan, banjir bandang dan tanah longsor semakin melengkapi penderitaan rakyat.

Rezim bersama kepentingan asing berpesta-pora korupsi dalam kemasan utang dan investasi. Demi menjalankan misi itu, semua kendala dan hambatan harus disingkirkan. Apapun caranya, berapapun ongkosnya dan bagaimanapun resikonya. Visi kekuasaan memang bertolang belakang dengan visi kenegaraan. Pemerintah telah mewujud sebagai rezim otoriterian dan diktatorian dalam negara kekuasaan bukan sebagai negara kesejahteraan.

Kekuatan oposisional dari semua kesadaran kritis kebangsaan, telah menjadi representasi kedaulatan dan gerakan rakyat. Mahasiswa, buruh, intelektual dan akademisi menyatu dengan rakyat menggugat rezim. Tuntutan perubahan tak bisa dicegah lagi. Rontoknya ekonomi dan karut marutnya politik semakin membawa negara pada kegagalan dan kebangkrutan. Secara faktual, negara juga diambang degradasi sosial dan disintegrasi nasional. Pemulihan dan perbaikan negara hanya bisa dimulai dan dilakukan dengan mengganti kepemimpinan nasional. Hal ini membuat rezim defensif dan semakin beringas mematikan eksistensi oposisi. Rezim kekuasaan yang menjadi boneka dan budak bagi kepentingan asing. Namun seperti menjadi monster pembunuh bagi rakyatnya sendiri.

Rakyat yang sejatinya pemilik kedaulatan negara dan memberikan amanat kepemimpinan nasional melalui perwakilannya. Oleh wakilnya sendiri dan pemerintah telah diperlakukan sebagai sampah dan mengganggu kenyamanan kekuasaan. Dalam perspektif politik, rezim menganggap rakyat sebagai masalah dan beban yang mengancam kesinambungan kekuasaan. Rakyat hanya boleh berada ditempat yang marginal, tercampakkan dan dihinakan oleh rezim. Rakyat seiring waktu telah mengganggu kekuasan dan dibuat layaknya menjadi musuh negara. Menjadi musuh dari negara yang sesungguhnya milik rakyat sendiri.

Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.

[contact-form][contact-field label="Nama" type="name" required="true" /][contact-field label="Surel" type="email" required="true" /][contact-field label="Situs web" type="url" /][contact-field label="Pesan" type="textarea" /][/contact-form]

293

Related Post