Selamatkan PPP
Oleh Ady Amar | Kolumnis
Memangnya ada apa dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sehingga mesti diselamatkan segala? Apa ada jalan keliru yang ditempuh Partai Ka'bah ini, dan memangnya ente siapa pakai mau menyelamatkan PPP segala.
Ada yang mengingatkan PPP, siapa pun itu, mestinya disyukuri. Tidak perlu disikapi sewot segala. Itu artinya, PPP masih tetap diharapkan jadi partai milik(ku), milik umat Islam. Sebagai partai yang diharap tetap berasas Islam. Karenanya, tidak perlu pekewuh meski disebut kalangan tertentu sebagai partai pengusung politik identitas. Itu memang cara "lawan" untuk membuat partai Islam kehilangan identitas. Ingin dibuat tidak jelas jenis kelaminnya.
PPP biasa juga disebut partai peninggalan Orde Baru. Partai yang awal pendiriannya "dipaksa" dihuni berbagai partai Islam. Fusi bermacam partai Islam, memang inisiatif Presiden Suharto. Dibuat cuma ada 3 partai politik kala itu, partai berbasis Islam (PPP), partai berbasis nasionalis dan non Islam (PDI), dan Golongan Karya (Golkar).
Orde Reformasi menjadikan PPP tidak lagi mampu mengikat partai-partai yang ada. Setidaknya dari rahim PPP pecah bermunculan anak-anaknya dan bahkan cucunya, yang kemudian saling berhadap-hadapan dalam pemilu: PKB, PAN, dan PKS.
Masih banyak partai lain yang berasas Islam, yang muncul "terpaksa" dari rahim PPP. Tapi setidaknya 3 partai itu saja yang eksis. Selainnya bisa disebut sebagai partai penggembira saja dalam pemilu, dan masih sulit bisa menembus Senayan.
Jumlah partai "penggembira" itu jika suaranya disatukan, tentu cukup lumayan. Tapi pendirian partai politik--apa pun namanya--lebih dipengaruhi oleh ego dan syahwat politik pendirinya. Jauh dari kepentingan umat. Itulah dilema partai-partai Islam yang hadir berpuak, dengan hasil suara kecil-kecil. Biasa disebut partai nol koma. Tentu tidak diperhitungkan.
Dibawah Suharso Monoarfa, diawal terpilihnya ia sebagai ketua umum, PPP mencanangkan untuk berbenah. Harus ada yang baru di PPP. Kemasannya mesti disesuaikan era kekinian. Maka merekrut konsultan politik Eep Saefulloh Fatah, itu menjadi langkah tepat. Menyewah jasanya, itu terobosan yang dilakukan PPP.
Eep sudi dipinang PPP, itu langkah menakjubkan. Pastinya kerja keras akan dilakukan. Tidak sekadar memoles. Membuat terobosan baru, agar PPP dilirik konstituen untuk dipilih. Menjadikan PPP bisa bersaing, setidaknya dengan partai papan tengah lainnya. Tentu ini bukan perkara mudah. Pertaruhan buat namanya, dan lembaga yang dipimpinnya, Polmark Indonesia--sebuah lembaga penyelenggara jasa konsultan political marketing.
Keprihatinan Mudrick
Mudrick SM Sangidu adalah tokoh PPP. Tinggal di Solo. Mudrick dari segi usia sudah tidak muda lagi. Tapi mengingatkan elite di PPP menjadi hal yang terus diikhtiarkannya.
Mudrick melihat bahwa langkah salah jika PPP masih ada dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Sarannya pada petinggi PPP yang datang menemuinya, yang juga Wakil Ketua MPR-RI, Asrul Sani, agar PPP keluar saja dari KIB. Katanya, tiada manfaat PPP ada di sana.
KIB memang dibentuk entah untuk maksud apa. Seperti meteor turun ke bumi layaknya, yang cuma dengan pertemuan hanya sekali oleh ketua umum partainya, menjadikan tiga partai politik itu mengumumkan berkoalisi: Golkar, PAN dan PPP. Dengan bergabungnya tiga partai, itu sudah cukup suara untuk mengikuti pilpres. Sudah memenuhi parliament threshold.
Belum tahu siapa kandidat yang akan diusung. Aneh, memang. Dibuat serba misterius. Biasanya koalisi dibangun oleh persamaan partai dalam mengusung kandidat capresnya. Tapi tiga partai itu memilih cara yang seperti keluar dari kebiasaan (konvensi). Soal kandidat siapa yang akan diusung, seolah cukup dipikirkan belakangan. Sepertinya itu tidak demikian.
KIB tentu (sudah) punya calon yang akan diusung. Atau setidaknya KIB sudah disiapkan untuk mengusung siapa yang akan diusungnya. Maka nama siapa yang akan diusung dibuat tersembunyi. Pada saatnya akan diumumkan.
Jika kandidat yang akan diusung nantinya bukan yang dikehendaki konstituennya (PPP dan PAN)--sengaja Golkar tidak disebut karena tabiatnya yang bisa mengusung siapa saja berdasar pilihan pragmatis--maka PPP dan PAN dipastikan hasil pilegnya akan terjun bebas.
Pelaksanaan pilpres bersamaan dengan pileg, itu penentu bagi semua partai, apalagi yang berbasis massa tertentu, seperti PPP dan PAN, untuk mengusung capres yang sesuai harapan konstituen. Jika tidak, maka bersiaplah partai ditinggalkan pemilihnya.
Mustahil sebuah partai dikelolah oleh hanya segelintir elitenya. Apalagi menyangkut hal-hal strategis kepemimpinan nasional. Ini seharusnya dibicarakan dalam forum tertinggi partai--apa pun namanya. Maka mendengar saran konsultan politik yang sudah dipilihnya--dalam setiap mengambil kebijakan ysng bersifat politik strategis-- sebagai satu keharusan.
Keprihatinan Mudrick, dan juga munculnya Forum Penyelamat Partai Persatuan Pembangunan, itu bentuk keprihatinan bahwa ada yang salah dalam pengelolaan partai. Itu yang mestinya disadari, agar tidak sampai memunculkan gejolak internal mengoreksi kebijakan ketua umum dan segelintir elite politik partai, yang berjalan semau gue. Masih ada waktu buat PPP berbenah dengan mengoreksi apa yang seharusnya dilakukan. (*)