Seri Radikalisme-Terorisme-02: Membidik Umat Islam

Dr. Masri Sitanggang. (Foto: Waspada.id)

Apa status hukum kriteria radikal yang disusun BNPT? Mengapa persoalan internal umat Islam ditempatkan sebagai ancaman terhadap negara? Mungkinkah di negeri ini sedang terjadi pertarungan antara kelompok anti agama melawan umat Islam?

Oleh Dr. Masri Sitanggang

DALAM Seri 01, sepintas telah diungkap mengapa umat Isam merasa terteror dan dijadikan target operasi penanggulangan radikalisme-terorisme. Dalam Seri ini kita akan lebih mendalami dan mencoba melihat apakah ada kemungkinan semangat lain di balik operasi ini? 

Kasubdit Pemulihan Korban BNPT, Rudi Widodo, di Institusi Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran, Jakarta Selatan, 26/11/2019, mengatakan:

“Kriteria radikal menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 disampaikan bahwa yang menjadi kriteria adalah pertama anti Pancasila, anti kebhinnekaan, anti NKRI, anti Undang-Undang Dasar 45" (dari berbagai media).

Tiga pekan sebelumnya (5/11/19), di ILC TV One, Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris, menyatakan ada empat kriteria radikal: (1) Intoleran, semua orang yang tidak sejalan dengannya salah; (2) munculnya konsep takfiri dalam masyarakat; (3) menolak NKRI; dan (4) menolak Pancasila. 

Sementara itu, indikator terpapar radikal, kata Direktur Pencegahan BNPT, Ahmad Nurwakhid, ditunjukkan dengan pemikiran dan sikap anti-Pancasila, pro khilafah, eksklusif, intoleran, anti budaya dan kearifan lokal. Indikator lainnya termasuk membenci pemerintah dengan menyebarkan hoaks, adu domba dan fitnah yang dapat memecah belah masyarakat (kureta.id, 11/10/21).

Sebelumnya, Ahmad membeberkan tiga indikator: 1) ingin mengganti ideologi negara Pancasila dan juga sistem pemerintahan dengan segala cara; 2) takfiri yang berciri intoleran, cenderung anti budaya kearifan lokal, senang melabel kelompok di luar mereka sesat dan kafir; 3) cenderung lemah di bidang akhlak, perilaku, budi pekerti, lebih menonjol pada hal-hal yang sifatnya ritual keagamaan, identitas keagamaan, tampilan luar keagamaan (Tribunnews.com, 1/4/2021).

Dalam kesempatan lain lagi, Ahmad menambah ciri lain, yakni sikap membenci dengan menganggap kenduri, yasinan, sedekah bumi, maulid, bidah, sesat, kafir. (Tribunnews.com, 29/10/2021).

Jadi, BNPT menggunakan tiga macam istilah untuk mengungkapkan (seseorang terpapar) paham radikal :  kriteria, indikator dan ciri. Tidak jelas, apa maksud dan kegunaaan penggunaan istilah-istilah tersebut.  Masyarakat kebanyakan, rasanya sulit membedakan ketiga istilah itu. Apalagi bila menilik apa saja yang termasuk kriteria, apa saja yang termasuk indikator dan apa pula yang menjadi ciri. Semuanya tumpang tindih. Meminjam istilah matematika himpunan, intercept satu dengan lainnya. 

Mengenai kriteria, terdapat perbedaan antara versi Rudi dengan versi Irfan. Rudi tidak memasukkan “intoleran” dan “takfiri” sebagai kriteria melainkan menggantinya dengan “anti kebhinnekaan” dan “anti UUD 45”.  Ini jelas bukan perbedaan diksi semata, melainkan juga esensi. 

Lelah saya menelaah UU Nomor 5 Tahun 2018 (selanjutnya disebut UU Terorisme) yang dirujuk Rudi. Juga UU Nomor 15 Tahun 2003 serta Perppu Nomor 1 Tahun 2002 yang jadi dasar lahirnya UU terorisme itu.  Tidak saya dapati kriteria radikal. 

Lalu, dari mana kriteria radikal dilahirkan BNPT? Apakah ia merupakan ekstraksi atau, sebutlah, pointer dari sebagaian UU Teroris? Tidak sama sekali. Untuk menyebutnya sebagai tafsir, pun tidak. Sebab, bahkan kata “Pancasila” dan “UUD 1945” dalam kaitannya dengan kata “radikal” pun tidak ada.

Apalagi kata “takfiri” ,”intoleran, “anti”,  dan “kebhinekaan”. Undang-undang Teroris tidak menyinggung soal keriteria sama sekali. Bahkan (entah mengapa) tidak pula mendefinisikan radikal, sehingga tidak jelas, sejenis “makhluk” apa radikal yang  menghantui negeri ini sesungguhnya. 

Oleh karena itu menjadi pertanyaan: status hukum rumusan kriteria (juga indikator dan ciri) itu apa? Bolehkah digunakan sebagai dasar melakukan tindakan hukum? Koq, bisa membuat tak nyaman umat Islam?

Itu poin pertama.

Perbedaan kriteria radikal yang disampaikan dua petinggi BNPT itu, boleh jadi menunjukkan longgarnya rumusan keriteria radikal BNPT. Rumusan itu terbuka untuk ditambah, diubah atau disesuaikan dengan kepentingan. Begitu juga dengan indikator dan ciri terpapar radikal sebagaimana telah kita lihat variasinya di atas.

Mungkin sangat tergantung pada respon masyarakat. Kalau respon negatif (ada perlawanan), lakukan perubahan, coret indikator dan ciri yang menimbulkan kemarahan itu. Ini, misalnya, terjadi pada kasus celana cingkrang, cadar, good looking, dan semacam itu yang kemudian diklarifikasi oleh BNPT bahwa radikal tidak dapat dinilai dari ciri-ciri fisik. Bila tidak ada yang keberatan, go ahead, lanjut atau tambah lagi. 

Keadaan semacam ini jelas buruk bagi upaya penegakan hukum.

Itu poin kedua.

Meski ada perbedaan besar - masing-masing antar rumusan kriteria, indikator dan ciri terpapar radikal - tetapi ada satu hal yang sama. Semua mengaitkan radikal - langsung maupun tidak, dengan agama. Yang dimaksud dengan agama di sini adalah Islam. Istilah-istilah yang digunakan khas merujuk pada ajaran Islam, persoalan dakwah dan sikap keberagamaan orang Islam. Bukan sekedar Istilah.

Apa maksud BNPT memasukkan takfiri sebagai kriteria atau indikator radikal? 

Takfiri itu adalah persoalan internal umat Islam, yakni mudah mengafirkan sesama Islam. Bukan kepada orang di luar Islam, karena untuk orang di luar Islam persoalan sudah jelas. Apakah BNPT ingin menempatkan masalah internal umat Islam sebagai ancaman terhadap negara?

Dalam ajaran Islam, memang tidak dibenarkan menghukumkan seseorang sebagai kafir sebelum jelas kafirnya. Tetapi kalau sudah jelas kafirnya, tidak boleh pula ragu untuk menyebutnya kafir.

Bersandar kepada Bukhori, Muslim dan Abu Dawud: “Tidaklah sesorang menuduh orang lain fasik atau kafir, kecuali tuduhan itu akan kembali kepadanya sendiri, jika yang dituduh itu tidak seperti yang dituduhkan kepadanya”.

Kaidahnya menjadi begini: kalau seorang beriman menuduh orang beriman lain kafir, padahal tuduhannya tidak benar, maka yang kafir adalah yang menuduh. Sebaliknya, kalau seseorang sudah jelas kafir tetapi disebut beriman (bukan kafir), maka yang menyebut beriman itu adalah kafir.

Kenyataannya, memang ada kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam dengan ajaran yang menyimpang dari Islam. Diperlukan sikap tegas menetapkan hukum kepada mereka sebagai sesat atau kafir.

Tujuannya agar tidak merusak ajaran Islam, atau merusak aqidah umat Islam, atau merusak keharmonisan hidup umat Islam. Tetapi, memang, menetapkan hukum sesat atau kafir itu bukan tugas individu, melainkan diemban oleh lembaga Ulama yang memiliki kompetensi untuk itu.

Negara pun, sesungguhnya mengemban amanah ini, sebagaimana dimaktubkan dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI khususnya Pasal 30 ayat (3) huruf d dan e; dan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Perubahan Peraturan Jaksa Agung RI  No: PER - 019/A/JA/09/2015 tentang Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan dalam Masyarakat.

Jadi, tidak salah menyatakan seseorang atau sekelompok orang sebagai sesat atau kafir, sepenjang itu dinyatakan oleh lembaga Ulama. Oleh karena itu, BNPT selayaknya tidak mencampuri urusan ini. Biarlah MUI berkoordinasi dengan Kejaksaan RI sebagaimana berlaku selama ini. 

Perbedaan pendapat (khilafiyah) dalam hal furu’ (cabang) di kalangan umat Islam sudah ada jauh sebelum NKRI lahir. Tetapi tidak pernah ada kerusuhan yang timbul karenanya. Kalau pun ada ribut, adalah ribut adu argumentasi saling mengemukakan dalil; dan itu adalah tradisi akademis.

Bila semua pihak memiliki dalil yang dapat dipertanggungjawabkan, keributan berakhir dengan sendirinya dengan saling menghargai (contoh masalah qunut, ushalli, wirid yasin, maulidan). Itulah tradisi intelektual Islam yang telah berlaku berabad. Itu adalah jalan dan proses dakwah yang memang harus dilalui.  

Dengan memasukkan masalah-masalah khilafiyah ke dalam kriteria-indikator-ciri orang terpapar radikal, justru bisa memicu kegaduhan/kekacauan. Bukan ribut adu argumentasi berdasarkan dalil lagi, melainkan kecurigaan, kebencian dan permusuhan. Mereka yang tidak ikut Yasinan, Maulidan dan semacamnya, akan dilabel radikal. 

Demikian juga ustadz-ustadz yang mengajarkan hal-hal yang dapat merusak aqidah (seperti tahayul dan churafat) adalah radikal.  Apalagi membahas masalah Politik Islam yang, mau-tidak mau, bersinggungan dengan Khilafah. Pintu diskusi sudah ditutup, pintu permusuhanlah yang lebar terbuka. 

Jadi, menjadikan persoalan-persoalan internal umat Islam sebagai persoalan radikalisme-terotisme (yang nota bene adalah persoalan ancaman terhadap negara), justeru akan memecah belah umat Islam dan membenturkan umat Islam dengan kelompok yang disebut penganut kearifan lokal keagamaan. Bila BNPT tetap melakukan itu, maka sangat sulit menghindari kesan kuat bahwa BNPT memang tendensius. 

Itu poin ke tiga.

Para pejabat BNPT mengulang-ulang pernyataan bahwa "Terorisme tidak ada kaitannya dengan agama apa pun karena tidak ada satu agama pun yang membenarkan semua tindakannya, namun ia terkait dengan pemahaman dan cara beragama yang salah dan menyimpang dari oknum umat beragama”, seperti kata Ahmad.   

Saya percaya bahwa “terorisme tidak ada kaitannya dengan agama apa pun”. Tetapi anak kalimat “namun ia (terorisme-pen) terkait dengan pemahaman dan cara beragama yang salah dan menyimpang dari oknum umat beragama” dan fakta bahwa kriteria-indikator-ciri terpapar radikal menunjukkan identitas Islam, saya menjadi berpikir sebaliknya.  

Simaklah pernyataan di atas, lalu jawab pertanyaan berikut: Siapakah yang menjadi teroris? Jawabannya  adalah: orang yang beragama, yang salah dalam pemahaman dan cara beragama. 

Atau, pertanyaan diubah: terkait dengan apakah terorisme? Jawabnya: terkait dengan pemahaman dan cara beragama. Jadi, siapakah yang jadi teroris? Jawabnya: orang beragama. 

Dus, pernyataan yang diulang-ulang itu dapat dilhat sebagai upaya membidik kaum beragama, membentuk opini dan mengindoktrinasi publik sehingga memiliki pikiran alam bawah sadar bahwa teroris adalah orang beragama. Pernyataan itu sekaligus menutup kemungkinan adanya radikalis-teroris lain, khususnya dari kalangan anti agama (Komunis atheis). Komunis-atheis “terlindungi” oleh pernyataan ini.

Dalam konteks ini, pandangan Ketua BPIP, Yudian Wahyudi: “Musuh terbesar Pancasila adalah agama”, mendapat pembenaran.

Faktanya, hingga kini, belum ada laporan BNPT tentang adanya kalangan anti agama (komunis, atheis) terkait dengan radikalisme-terorisme. Entahlah, apakah Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 dan UU Nomor 27 Tahun 1999 tidak lagi ditegakkan. 

Padahal, Tap MPRS dan UU itu  sangat jelas dan tegas mencantumkan paham Komunis dan segala aktivitas yang berkaitan dengan penyebaran paham komunis, termasuk melakukan hubungan/kerjasama dengan organisasi komunis baik di dalam maupun di luar negeri adalah kejahatan terhadap negara. 

KSAD Jendral Dudung Abdurachman memperingatkan adanya ancaman kelompok radikal kanan di masyarakat. Mata publik pun terarah ke kanan. Mereka lupa bahwa, kalimat Dudung itu menuntut konsekuensi adanya kelompok radikal kiri.  

Tidaklah sesuatu diberi keterangan tempat “kanan”, kecuali ada sesuatu yang sama di sebelah kiri. Artinya, bila ada radikal kanan, wajib ada radikal kiri. Dudung ada di posisi mana? Sebagai aparat pemerintah yang ingin membela konstituisi, kita berharap Dudung ada di posisi tengah. Jadi, ada tiga posisi: kanan, tengah dan kiri.

Tapi untuk menjadi orang tengah, Dudung harus membuktikan adanya radikal kiri. Sebab, kalau tidak, maka posisi cuma ada dua: kanan dan kiri (tidak ada tengah). Maka maaf (sekedar untuk mebuka pikiran saja), Dudung terpapar radikal kiri.   

Kalau demikian adanya, maka dapatlah disimpulkan, ada dua radikal di Indonesia yang kini sedang bertarung berhadap-hadapan: radikal kanan versus radikal kiri, tanpa penengah. 

Dengan cara yang sama, BNPT harus menghadirkan fakta bahwa BNPT menyorot juga radikalisme -terorisme kaum anti agama. Kalau tidak, maka pernyataan yang diulang-ulang oleh BNPT dapat melahirklan kesimpulan yang sama: di Indonesia ada dua kelompok yang saat ini sedang bertarung berhadap-hadapan: kelompok kaum beragama (Islam) versus kelompok anti agama (komumis-atheis), tanpa wasit. Ini akan menjadi masalah besar bagi bangsa. 

Itu poin ke empat. 

Pancasila adalah kesepakatan luhur kita dalam medirikan negara ini. Ia adalah Philosophische grondslag  yang mendasari semua kehidupan benegara. Tetapi, sebagaimana agama, Pancasila juga bisa dijadikan topeng oleh kalangan tertentu untuk mencapai ambisi politiknya (Insya Allah, kita ulas pada seri berikutnya).

Kita sungguh berharap Boy Rafli Amar dapat menata BNPT tidak hanya merubah diksi dan peristilahan serta kriteria dan inkator radikal, tapi juga kinerja BNPT yang menjangkau semua potensi yang membahayakan negara dengan semua perangkat hukum yang terkait.

Wallahu a’lam bisshawab. (*)

390

Related Post