Sindrom Petahana

Oleh Daniel Mohammad Rosyid - Guru Besar ITS Surabaya 

SETELAH reda sindiran Megawati di Ultah PDIP beberapa waktu silam, kini beredar lagi wacana perpanjangan jabatan presiden baik melalui penundaan Pemilu 2024 atau perubahan konstitusi. Kali ini diucapkan oleh Menkolhukam Mahfud MD. Menurut Mahfud, aspirasi perpanjangan jabatan Presiden itu wajar dalam demokrasi, sambil menyatakan bahwa pemerintah terus mendukung KPU untuk mempersiapkan Pemilu 2024.  Beberapa Ketua Umum partai politik juga menyatakan hal senada yaitu mendukung perpanjangan jabatan presiden. Ini juga berarti perpanjangan masa jabatan semua jabatan politik di DPR, DPD maupun DPRD. 

Sekalipun jajak pendapat menunjukkan kepuasan tinggi atas kinerja Jokowi, apa yang seolah menjadi aspirasi masyarakat (konon big data) yang kemudian didengungkan para elite ini menunjukkan dua gejala penyakit. Penyakit yang pertama adalah kedunguan massal di mana baik masyarakat maupun elitenya tidak belajar dari 35 tahun sejarah kelam bangsa ini di bawah Soekarno dan Soeharto. Mereka lupa bahwa adagium Lord Acton power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely akan tetap berlaku pada Jokowi. Presiden adalan jabatan yang sangat berkuasa sehingga rawan korupsi dan penyalahgunaan. 

Penyakit yang kedua adalah sindrom petahana, yaitu perilaku menyimpang dari pejabat yang berkuasa untuk menjabat lagi pada periode-periode berikutnya. Baik Soekarno maupun Soeharto jelas dihinggapi sindrom ini, sehingga UUD45 harus diubah agar membatasi jabatan presiden hanya untuk maksimal 2 periode saja.

Sebenarnya tidak ada alasan ilmiah maupun moral untuk membuka peluang menjabat jabatan publik untuk 2 periode. Setiap jabatan, apalagi jabatan publik yang powerfull sebagai amanah, seharusnya satu periode saja. Tidak seharusnya jabatan itu diminta, lalu diperebutkan kemudian dipertahankan mati-matian atau dipanjang-panjangkan. Sebagai amanah, jabatan itu harus segera diselesaikan untuk diserahkan pada orang lain yang lebih kompeten dan lebih muda. Fair election sejatinya adalah mekanisme pergantian kekuasaan secara damai, sedangkan Pemilu yang diikuti petahana cenderung tidak fair.

Membuka peluang petahana terbukti merugikan publik seperti mendorong perilaku menyimpang pejabat yang sedang berkuasa untuk menghambat kaderisasi kepemimpinan. Padahal pemimpin yang baik selalu menyiapkan kader pengganti. Pejabat tersebut juga cenderung tidak fokus pada tugas utamanya selama periode pertama karena butuh waktu untuk menyiapkan diri untuk bisa terpilih lagi pada periode berikutnya, termasuk memanfaatkan kekuasaan untuk memenangkan kontestasi pada periode berikutnya. Para pembantu petahana juga cenderung ikut membangun lingkungan koruptif yang membesarkan syahwat kekuasaan untuk tetap berkuasa. 

Pemimpin kompeten akan bekerja maksimal sejak hari pertama hingga hari terakhir periode jabatannya. Jika seorang pejabat sangat berhasrat memperpanjang periode jabatannya kemungkinan besar alasannya paling tidak 3.

Pertama dia tidak kompeten sebagai pemimpin yang efektif. Kedua, hutang politiknya belum lunas pada para bandar pendukungnya. Ketiga, para pembantunya hanya penjilat yang ingin terus  ikut menikmati kekuasaan dan keistimewaan.

Seperti yang dikatakan Mahfud MD, wacana memperpanjang jabatan presiden memang tidak menyalahi hukum, tapi ethically incorrect. Jika etika adalah laut, hukum adalah kapalnya. Tanpa laut, kapal itu kandas, tidak bisa pergi kemanapun. 

Surabaya, 10 Februari 2023

448

Related Post