Soal Food Estate yang Gagal, Jokowi Tidak Menghormati Local Wisdom, Merusak Alam Hanya untuk Kepentingan Sejumlah Orang

Presiden Jokowi di lahan food estate

Jakarta, FNN – Program food estate yang menjadi Program Strategis Nasional 2020-2024 untuk menjaga ketahanan pangan dalam negeri dan dikembangkan Kementan dinilai gagal. Program yang digagas oleh Presiden Jokowi di berbagai wilayah ini, termasuk di Kalimantan Tengah, setelah dua tahun berjalan hasilnya gagal. Perkebunan singkong seluas 600 hektare mangkrak dan 17.000 hektare sawah baru tak kunjung panen. Bahkan, proyek lumbung pangan nasional ini hanya memicu persoalan baru, di mana bencana banjir kian meluas dan berkepanjangan, serta memaksa masyarakat Dayak mengubah kebiasaan mereka menanam. Kementerian Pertahanan yang juga diberi tanggung jawab dalam proyek ini mengklaim mangkraknya kebun singkong disebabkan ketiadaan anggaran dan regulasi pembentukan Badan Cadangan Logistik Strategis.

 

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam diskusi di kanal You Tube Rocky Official edisi Sabtu (19/823) Rocky Gerung mengatakan bahwa problem pangan itu menetap ketika dunia masuk pada apa yang disebut ekonomi modern, di mana pertambahan penduduk melampaui pertambahan pangan. Hal ini sudah pernah diriset dengan bagus oleh Robert Malthus, karena itu disebut Malthusian trap. Jadi, jebakan kalau penduduk meningkat lalu sumber daya berkurang.

Tetapi, lanjut Rocky, apa yang pernah dibayangkan oleh Malthus dulu sebetulnya bisa diselesaikan secara teknologi, yaitu efisiensi pupuk  dan revolusi hijau. Tetapi, saat ini dunia berubah lagi pikirannya. Misalnya, kalau ada kesulitan pangan, bukan mensuplai rakyat atau penduduk dengan beras atau dengan padi, tapi perhatikan apa yang biasa disebut diversity, keanekaragaman hayati. Bukankah hutan kita menyediakan semua sumber pangan.

“Jadi, kalau sekadar disatukan bahwa krisis pangan itu artinya dikasih beras, nah itu  yang menyebabkan orang punya ambisi untuk menebang hutan, lalu bikin food estate yang kemudian gagal. Dari awal, rancangan pikiran itu tidak berbasis pada keseimbangan ekologi,” ujar Rocky.

Seperti kita ketahui bahwa di samping mempunyai keragaman suku dan budaya, Indonesia juga mempunyai keragaman makanan pokok. Orang Papua, misalnya, mempunyai tradisi makanan yang berbeda dengan orang Jawa. Mereka makan sagu, makan ubi, dan sebagainya. Ketika mereka harus pindah ke tradisi makan beras atau makan nasi, bukanlah hal yang semestinya, karena kulturnya sendiri berbeda dan asupannya juga berbeda.

“Nah, itu pointnya. Kan food estate artinya menyeragamkan konsumsi manusia. Jadi, dari Sabang sampai Merauke itu seolah semua pemakan nasi,” ujar Rocky.

Dalam diskusi yang dipandu oleh Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, itu Rocky juga mengatakan bahwa kegagalan food estate pertama-tama terjadi karena soal uang, karena tidak dihitung bagaimana investasi mesti dibuat di situ. Sementara, APBN kita sudah habis dikuras untuk bagian-bagian yang mercusuar. Food estate itu adalah salah satu proyek mercusuar Jokowi. Kalau dihitung dari awal, sebetulnya Jokowi bisa belajar dari gagalnya sejuta lahan gambut yang digagas oleh Presiden Soeharto.

“Jadi, itu (food estate) sebetulnya bukan ide original Pak Jokowi, tapi itu dari zaman orde baru  karena Pak Harto ingin betul-betul mempunyai kedaulatan pangan (swasembada pangan). Sekarang swasembada pangan tidak memperhatikan diversitas sistem konsumsi rakyat kita. Itu Pak Jokowi juga nggak ngerti. Jadi dia hanya ingin nama itu kan keren, food estate,” ungkap Rocky.

Menurut Rocky, perusakan lingkungan sudah terjadi sebelum estate itu menghasilkan nilai tambah atau nilai guna pada manusia. Konsumsi masyarakat Papua berbeda dengan masyarakat di Makassar atau di Manado yang lebih banyak memakan ikan daripada makan nasi, misalnya. Demikian juga kelas menengah yang mulai mengalihkan hidupnya atau pola konsumsinya ke non-karbohidrat.

“Jadi, tetap ambisi Pak Jokowi ini sekadar untuk menerangkan bahwa dia berhasil menswasembadakan pangan. Nah, sekarang ada problem. Karena itu, kritik PDIP memang berdasar, walaupun kritik itu kritik politis, bukan kritik ekologi,” ujar Rocky.

Di ujung masa kepemimpinannya, Presiden Jokowi masih berupaya untuk menyeragamkan manusia Indonesia yang dari awal berbeda, baik secara ideologi maupun kebiasaan makan. Ada pengetahuan yang kurang bahwa diversity atau keragaman Indonesia dimulai dari budaya sampai pola makan.

“Jadi, poin-poin itu yang kemudian kita anggap bahwa Pak Jokowi memang hanya menyediakan food estate itu, lahan itu untuk dikelola oleh korporasi besar. Begitu korporasi besar masuk nanti, setelah lahannya dibersihkan oleh negara melalui segala macam tipe-tipe regulasi, mulailah korporasi itu mendikte lambung manusia. Kan nggak bener tuh kalau lambung manusia diasuh oleh alam dipindahkan untuk diasuh oleh pabrik-pabrik besar ini. Itu masalahnya ada di situ,” ujar Rocky.

“Jadi, Pak Jokowi tidak menghormati local wisdom. Kemampuan manusia untuk bertahan hidup itu sudah disediakan oleh alam dan jangan dirusak alam itu hanya untuk kepentingan sejumlah orang yang sebetulnya mengincar hasil hutan dengan alasan food estate,” ujar Rocky.

421

Related Post