Soeharto Dulu Memperbudak Oligarki, Jokowi Sekarang Cuma Budaknya Oligarki
Jakarta, FNN – Pengerahan massa yang melibatkan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) untuk tujuan politik adalah bentuk dari militerisme bahkan fasisme. Apalagi belakangan Ketua Apdesi yang asli membantah memberi dukungan presiden 3 periode.
“Demikian juga soal kebulatan tekad. Itu adalah ciri-ciri otoriterisme. Bahkan ciri-ciri fasisme karena memaksakan kehendak,” kata Rocky Gerung kepada wartawan FNN, Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Jumat, 01 April 2022.
Rocky membandingkan pola-pola kebulatan tekad pada zaman Pak Harto yang ketika itu memang pemerintah dipimpin secara militeristik. “Masuk akal kalau Pak Harto bikin orkestrasi untuk menciptakan stabilitas karena itu memang pemerintahan yang militeristik. Keinginan untuk menguasai pasti ada dalam pemerintahan yang militeristik. Nah, sekarang terbalik. Ini era demokrasi tapi Pak Jokowi yang justru sipil ingin menguasai seluruh sektor. Bahkan tidak ada yang ditinggalkan untuk tidak disentuh dengan cara pecah belah,” papar Rocky.
Yang terjadi hari ini kata Rocky adalah anomali sejarah, di mana seorang tokoh sipil memerintah secara militeristik. Sedangkan Soeharto jelas, dia bahkan mengatakan bahwa stabilitas diperlukan, sehingga militer harus menduduki pos-pos penting karena memang suasana militeristik di zaman itu, tahun 70-an, seperti Filipina, Amerika Latin, dan negara-negara di Asia. Itu era yang disebut developmentalisme yang dikawal oleh senjata.
Berbeda dengan sekarang, orang menuntut hidup berkeadilan, tapi cara memimpin rezim ini adalah militeristik. “Dan anehnya, itu yang justru dielu-elukan oleh partai-partai yang seharusnya menjaga demokrasi seperti PKB, PAN, dan segala macam kemarin itu. Betul-betul dia tidak paham bahwa kita di era demokrasi jangan pakai sumbu yang bisa dinyalakan lalu meledak semuanya,” tegasnya.
Rocky menegaskan bahwa Presiden Soeharto memimpin secara otoriter demi suksesnya pembangunan nasional, diperlukan stabilitas, supaya pembangunan itu masuk akal dan harus dipimpin oleh teknokrasi. “Maka orang-orang pintar di Indonesia seperti ITB, UGM dimasukkan dalam kabinetnya, sehingga Pak Harto percaya bahwa ide dia itu diolah secara teknokratik,” paparnya.
Saat itu kritik terhadap pembangunan akan ditangani dengan peralatan yang disebut militeristik. “Namun Pak Harto jujur memang mengatakan bahwa saya ingin stabilitas karena untuk pembangunan, dan kelihatan ada pola,” katanya.
Ironi yang lain kata Rocky bahwa dulu Pak Harto menguasai oligraki untuk pembangunan, yang sekarang justru presidennya dikuasai oleh oligarki untuk kerakusan oligarki sendiri. “Itu yang ditunjukkan dalam statistik bahwa empat orang oligarki menguasai hampir separuh dari kekuasaan Indonesia,” paparnya.
Dengan kenyataan seperti itu Rocky meyakini bahwa secara filosofi Presiden Jokowi itu cuma budaknya oligarki, sedangkan Soeharto dulu justru memperbudak oligarki. Jadi betul-betul ajaib.
“Jadi kalau betul-betul baca manual book Orde Baru, ya balikin saja ke dalam sistem otoritarian. Tapi kan itu tidak bisa kita lakukan karena eranya sudah berubah,” tegasnya.
Diakui Rocky bahwa sejak awal Presiden Jokowi memang tidak paham bahwa idealisme demokrasi itu, tidak boleh memperalat partai politik karena partai politiklah yang seharusnya menjunjung demokrasi.
“Sebetulnya pengetahuan Pak Jokowi tentang demokrasi itu apa sih? Ketiadakcukupan pengetahuan Pak Jokowi itu yang dimanfaatkan oligarki untuk tokoh yang dekat dia, termasuk Pak Luhut,” katanya.
Jadi, lanjut Rocky era developmentalisme yang di dalamnya ada otoriterisme, sekarang dipakai pada era yang sudah demokratis, di mana keterbukaan informasi bisa diakses sampai ke masyarakat desa. “Itu kacaunya,” pungkasnya. (ida, sws)