Solusi Kemelut Rempang: Sustainable Investment Strategy yang Bermartabat
Oleh Jon A.Masli, MBA | Diaspora AS & Pegiat Investasi
Di satu sisi kita mengapresiasi Menteri Bahlil sudah all out menjelaskan masalah Rempang pada rapat dengan komisi VI DPR RI, walau sempat dihajar anggota DPR dengan kritikan bertubi-tubi. Salut Menteri Bahlil dapat bersilat lidah membela diri. Namun sayang penjelasannya terkesan belum komprehensif karena tidak menyentuh tentang 3 perusahaan nasional milik "peng-peng dan perusahaan nasional raksasa oligarki" yang konon ada deal pembelian energi dari perusahaan Singapura.
Pemaparan Menteri Bahlil terkesan sebagai pesuruh atau pembantu investor yang seenak udel menentukan date line pengosongan lahan Rempang pada tanggal 28 September 2023. Sementara APL masih diurus. Ini jelas tidak ada kesetaraan posisi Indonesia sebagai tuan rumah dan investor Xinyi sebagai pengusaha yang seharusnya tahu diri menghargai kedaulatan tuan rumah.
Investor malah mendikte kita. Kesetaraan sebagai mitra tidak tercermin dalam konteks akuisisi lahan Rempang. Lebih konyol lagi Ombudsman menemukan fakta HPL dan studi Amdal yang belum ada. Ini menunjukkan manuver blunder Kementerian Investasi yang tidak profesional karena alpa menerapkan prinsip tata kelola yang amat mendasar, yaitu Good Public Governance dan Culture Awareness. Konflik Rempang telah mengusik orang-orang Melayu. Mungkin kita lupa bahwa Melayu-Melayu ini ada di Sumatera, Kalimantan, dan Malaysia. Kini mereka merasa ikut terusik sebagai etnis Melayu.
Sementara perusahaan-perusahaan raksasa nasional milik "peng peng bekingan oligarki" dan Xinyi Glass Company yang terlibat masih ngotot memberdayakan berhala mereka, yaitu kekuasaan dan uang. Sialnya kali ini ketemu batunya. Mereka meng-ignore Corporate Governance yang sebenarnya mereka paham betul seperti dikumandangkan di lembaga-lembaga pemerintah. Arogansi mereka membuat pelanggaran prinsip-prinsip Good Corporate Governance bak business as usual karena mereka yakin dengan berhala mereka dapat menyelesaikan masalah Rempang.
Mereka tidak merasa melakukan pelanggaran HAM berat universal walau penggusuran ala Rempang ini sudah masuk dalam ranah pelanggaran HAM. Sehingga kata orang Amerika:" Shits hit the fan!" Perencanaan kesusu menjadi "Tidak berkah", kata orang Islam.
Upaya hilirisasi yang Presiden Jokowi canangkan ternyata belum sepenuhnya dipahami Bahlil dan Xinyi Glass Co. Mereka gagal mengkomunikasikan dengan jelas apa manfaat hilirisasi pasir kuarsa membangun pabrik kaca bagi rakyat Rempang selain hanya janji dikasih rumah dan uang.
Kepercayaan terhadap investor Cina memang rendah, mengingat proyek-proyek tambang nikel mereka di Morowali yang dikeluhkan masyarakat merusak lingkungan dan tidak ada transfer teknologi. Google mengungkap fakta bahwa tanah pabrikan Xinyi Glass Co di Tiongkok yang di bangga-banggakan Menteri Bahlil Lahabalia itu hanya seluas 64 hektar, termasuk bangunan pabrik dan kantornya yang 9 hektar. Data keuangan perusahaan Xinyi juga menunjukkan hanya punya cash di bank sebesar $40 juta walau punya total aset ratusan juta dollar di pembukuan tahun 2021, kalau tidak salah.
Fakta ini mengundang pertanyaan masyarakat awam ke Bahlil yang selama ini membanggakan investasi Xinyi sebesar $11.5 milyar. Apa benar investasi ini jauh melebihi investasi TESLA, mobil listrik, tambah Space Xnya dan perusahaan Solarnya di AS? Luar biasa kejanggalan ini. Too good to believe!
Pemilik Xinyi itu Mr.Lee Yin Yee, punya kekayaan USD 2.1 milyar menurut Forbes. Apakah investasi USD 11.5 miliar itu masuk akal walau di situ ada berbagai pabrik lainnya selain Xinyi? Mengapa pula XINYI Glass Co memerlukan rubuan hektar lahan, konon sampai 2500an? Rumors bocoran intel konon katanya ada rencana terselubung lain.
Masyarakat umumnya mendukung investasi dari negeri manapun. Tapi masyarakat Rempang sudah sepakat menjaga marwah mereka tidak mau direlokasi, titik. Mengapa Menteri Bahlil kurang arif dan menggampangkan penanganan Rempang dengan dalih miskomunikasi?
Penanganan super kilat kesusu dengan dalih proyek PSN adalah kecerobohan konyol. Lahan yang wajar dikuasaipun seharusnya cukup 100 sampai dua ratus hektar saja sudah cukup bukan?Sebagai informasi perbandingan, perusahaan mobil listrik terbesar di dunia Tesla di Freemont, California hanya menduduki lahan seluas 51 hektar, menurut sumber Google. Bahlil terkecoh dengan pabrik glass sebesar Xinyi. Bahlil belum tahu kalau ada pabrik kaca raksasa dari Perancis, Saint Gobain dan di AS, Pittsburgh Plate Glass yang beraset $40 milyaran ke atas, puluhan kali lebih besar dari Xinyi yang tidak termasuk dalam pabrik kaca raksasa. Bahlil tidak tabayun!.Kiblatnya hanya ke Cina. Mungkin wawasan beliau belum mendunia atau tidak sempat mengGoogle siapa-siapa the 10 largest glass companies in the world!
Yang jelas Xinyi tidak masuk 10 besar, bukan raksasa the big boy seperti yang dipersepsikan Bahlil selama ini. Sebagai usulan solusi kemelut Rempang, adalah konsolidasikan semua stake holders termasuk tokoh-tokoh Melayu secara transparant, dan tentunya tokoh-tokoh peng peng dan oligarki yang belum sempat nongol selama ini tapi terlibat! Ini usulan normatif yang tentu perlu teknis rinciannya dimusyawarahkan oleh para stake holders. Harusnya terbuka karena ini PSN, rakyat harus tahu. Tidak mudah memang karena dari awal pendekatan sudah terkesan arogan nan berkuasa. Lesson learned yang mahal bagi Kementerian Investasi, yang denial berdalih "miskomunikasi" bahwa mereka tidak sadar telah mengusik marwah harga diri masyarakat Melayu Rempang, cucu cicitnya pengawal Kerajaan Melayu Lingga. (*)