Sri Mulyani: UU HKPD Akan Bereskan Tantangan Desentralisasi Fiskal
Jakarta, FNN - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) akan membereskan sejumlah tantangan desentralisasi fiskal yang masih terjadi hingga saat ini.
“Meski 20 tahun sudah mencapai berbagai capaian (pada desentralisasi fiskal) namun kita mengakui masih banyak tugas yang harus diselesaikan dan diperbaiki,” kata Menkeu Sri Mulyani dalam kick off Sosialisasi UU HKPD di Jakarta, Kamis.
Sepanjang 20 tahun terakhir sebenarnya desentralisasi fiskal telah menghasilkan berbagai kinerja positif, namun ternyata masih terdapat beberapa tantangan yang tidak bisa diselesaikan oleh Undang-Undang sebelumnya.
UU HKPD merupakan tindak lanjut atas evaluasi pelaksanaan desentralisasi fiskal yang sebelumnya diatur dalam UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
UU HKPD juga menggabungkan perbaikan pengaturan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah yang saat ini diatur dalam UU Nomor 28 tahun 2008 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk memperkuat local taxing power.
Sri Mulyani menyebutkan beberapa tantangan desentralisasi fiskal yang masih tersisa antara lain meliputi pemanfaatan Transfer Ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) yang belum optimal.
Pemanfaatan TKDD belum optimal terlihat dari sebagian besar Dana Alokasi Umum (DAU) yaitu 30 persen sampai 65 persen yang digunakan untuk belanja pegawai. Kemudian juga adanya ketergantungan daerah terhadap Dana Alokasi Khusus (DAK) sebagai salah satu sumber belanja modal.
Selain itu struktur belanja daerah belum memuaskan karena sebanyak 29.623 program dan 262.135 kegiatan belum fokus serta terdapat dominasi belanja pegawai hingga 32,4 persen sedangkan belanja infrastruktur sangat rendah hanya 11,5 persen.
“Belanja-belanja membangun infrastruktur dan perbaikan sosial masyarakat justru masih terbatas,” ujar Menkeu Sri Mulyani.
Untuk local tax ratio juga masih cukup rendah yakni tertekan di angka 1,2 persen pada 2020, meski penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) meningkat.
Tak hanya itu pemanfaatan pembiayaan masih terbatas, terutama skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dan total pinjaman daerah di Indonesia sangat rendah yaitu 0,04 persen dari PDB. “Dibandingkan rata-rata pinjaman daerah di negara berkembang sebesar 5 persen PDB pada 2000,” kata Menkeu Sri Mulyani.
Sinergi fiskal antara pusat dan daerah juga belum optimal karena masih terjadi mismatch antara program pusat dan daerah, seperti KPBU SPAM Umbulan yang terkendala karena pemda belum membangun sambungan ke masyarakat.
Terakhir adalah belum meratanya pelayanan publik seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tertinggi adalah Yogyakarta 86,61 dan terendah adalah Kabupaten Nduga 31,55 dengan secara nasional di level 71,94.
Untuk akses air minum layak tertinggi di Magelang yakni hingga 100 persen sedangkan terendah di Kabupaten Lanny Jaya hanya 1,06 persen dengan secara nasional di level 89,27 persen.
Untuk Angka Partisipasi Murni SMP tertinggi di Kabupaten Humbang Hasundutan mencapai 90,38 persen sedangkan terendah di Intan Jaya 15,94 persen dengan tingkat secara nasional sebesar 80,02 persen.
“Dampak akhirnya (UU HKPD) adalah output dan outcome yaitu layanan ke masyarakat membaik dan seharusnya seluruh masyarakat mendapat layanan dengan kualitas yang sama,” tegas Menkeu Sri Mulyani. (mth/Antara)