Tak Cukup Kata-kata

Saat rezim telah berubah menjadi ancaman yang menebar kecemasan, ketakutan dan teror bagi rakyat, sesungguhnya hanya ada dua pilihan bagi rakyat: hidup tertindas atau bangkit melawan. Bertindak dengan kesadaran kritis dan ingin meraih kehidupan negara yang lebih baik. Atau  pasrah menerima keadaan sambil menyesali, menggerutu di sana-sini, atau sekadar menampilkan kegarangan di media sosial. Segelintir yang mau turun ke jalan, sebagian besar lainnya tak peduli dan apatis sembari menelan mentah-mentah keterpurukannya juga. "People Power" tunduk oleh ancaman tergusur dari zona nyaman dan kriminalisasi atau juga ancaman nyawa. Rezim kekuasaan terus digdaya seiring kematian massal perlawanan dan maraknya kelahiran penghianat bangsa.

                 Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari

PERLAKUAN kepulangan TKI ke negerinya sendiri, sungguh pedih dan menyayat hati. Birokrasi prosedur karantina Covid-19 di Bandara Soetta, benar-benar melengkapi praktik-praktik eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa. Buruh migrain yang tidak jelas bagaimana nasibnya selama bekerja di negera lain, kini harus menjadi warga negara asing di negerinya sendiri.

Entah karena begitu rendah dan hinanya para TKI ini, atau betapa terlalu mulia dan agungnya para penguasa di negeri Pancasila. Ramah dan hangat menyambut kedatangan TKA, namun bengis menerima kepulangan TKI. Rezim benar-benar diragukan kemanusiaannya. Atau memang hanya sekadar wujudnya yang manusia.

Hal-hal seperti ini menjadi pemandangan keseharian. Di negeri yang katanya menjunjung adab ketimuran dan sarat religiusitas, belakangan melakukan reposisi sistem secara cepat dan masif. Menjungkirbalikkan semua realitas ideal. Ada yang tergantikan dan ada yang bertukar posisi. Keladziman telah hilang dari kebiasaan yang ada selama ini. Seperti berpindahnya kutub utara ke kutub selatan dan atau sebaliknya. Membuat semua hukum menjadi serba subhat. Mengubur Pancasila dan UUD 1945 sedalam-dalamnya.

Nilai-nilai dikalahkan oleh materi dan kebendaan dunia lainnya. Kebenaran semakin tersudut dan tergeser oleh penyimpangan. Kesejahteran seperti digembok oleh segelintir orang dan kelompok dalam tampilan oligarki dan borjuasi korporasi. Keadilan menjadi hak veto dan hanya versi penguasa. Rakyat kini hidup dalam selimut penyesatan dan distorsi yang membuat sesak nafas, pikiran, dan kesadaran.

Meyakini Tujuan dan Risiko Perjuangan

Menghadapi kekuasaan yang mengabaikan dan tak takut lagi pada Tuhan, seharusnya membuka mata rakyat bahwa rezim itu cenderung telah bersekutu dengan iblis. Ia seperti  penjelmaan dari Firaun, Namrud, dan semua pemimpin-pemimpin dzolim masa lampau.

Suasana kejahatan dan kebiadaban seakan menunggu kemunculan 'reneisans", pada masa-masa kegelapan di era kekinian. Begitu absolutnya kekuasaan manusia atas manusia yang lain. Merendahkan peradaban manusia seperti jaman jahiliyah, saat manusia belum mengenal dan mengakui keberadaan Sang Pencipta sejati.

Betapa pun kesombongan dan keangkuhan manusia pada sesamanya. Sejarah menjelaskan bahwa ada kekuasaan Tuhan yang jauh di atas kekuasaan manusia. Tatkala manusia sudah berlebihan dan melampaui batas. Maka cepat atau lambat akan berlaku hukum dan  azab Sang Ilahi. Kekuasaan dan kebesaran Tuhan akan mewujud pada kekuatan alam dan juga pada orang-orang yang teguh dan istiqomah di jalan kebenaran.

Rakyat Indonesia sudah selayaknya belajar pada sejarahnya sendiri. Betapa perjuangan itu sangat perih. Membutuhkan lebih dari sekadar kerja keras, tujuan kebaikan-kebaikan itu mestilah ditebus dengan pengorbanan. Belajar dari pengorbanan para syuhada dan pahlawan.

Menjadi keinsyafan bagi semua pihak, bahwasanya berjuang menegakkan amar maruf nahi munkar itu seperti menggenggam bara api. Semakin digenggam, semakin dahsyat panasnya dan membakar. Ketulusan dan keikhlasan pejuang itu dituangkan dalam cucuran keringat, darah, dan jiwa mereka. Tak terbantahkan lagi, kemerdekaan Indonesia dan upaya mempertahankan NKRI selalu disusun dan dirangkai oleh semangat pengorbanan.

Kini, usai lampau seruan jihad para ulama ditambah pidato Bung Karno yang penuh agitasi dan propaganda atau orasi Bung Tomo yang membakar revolusi dalam mengusir penjajah, Indonesia tak cukup lagi hanya dengan sekadar kata-kata untuk menyelamatkan negara dan bangsa ini. Rakyat tak boleh lagi larut pada syair "Kuasanya Kerongkongan" dari Pramoedya Ananta Toer dan "Dari Lidah Berawal Kemerdekaan" oleh A.D. Donggo.

Gerakan menyelamatkan Indonesia dari cengkeraman oligarki serta sekulerisasi dan liberalisasi oleh kapitalisme barat maupun komunis, tidak cukup hanya dihadapi dengan cuitan dan chating-an di media sosial. Turun ke jalan secara massif dan massal mutlak dibutuhkan. Seperti "kita harus turun ke jalan, robohkan setan yang berdiri mengangkang" lirik Bongkar Iwan Fals yang sudah mulai sendu suaranya.

Seperti kata para sufi, Al Quran adalah kalam Illahi yang Agung. Kitabnya bak cerita sejarah yang begitu puitis dan sarat keindahan sastra tak tertandingi. Tapi  wahyu itu bukan sekadar guratan kata-kata. Ia mengandung makna kebenaran yang hakiki, penuh hikmah dan menunggu tindakan nyata untuk mewujudkannya. Bukan sekadar kata-kata. (*)

242

Related Post