Tegakkan Kedaulatan NKRI di Laut Natuna Utara!

Oleh Marwan Batubara (IRESS, Deklarator KAMI)

Pada awal Desember 2021 rakyat tersentak berita Reuters perihal protes dan permintaan China agar Indonesia menghentikan eksplorasi migas di Laut Natuna Utara, LNU (1/12/2021). Reuters mengungkap pula protes China atas latihan perang bersama TNI-AD dan milter Amerika Serikat (AS), bertajuk Garuda Shield XV, yang digelar 1-14 Agustus 2021. Karena nota diplomatik tertutup, kita tidak paham bagaimana reaksi pemerintah atas protes China ini.

China memprotes Indonesia mengeksplorasi migas di LNU (oleh kontraktor Premier Oil) karena China mengklaim LNU masuk wilayah Laut China Selatan (LCS). Klaim sepihak ini didasarkan pada penetapan garis batas LCS berupa “sembilan garis putus-putus”, yang menyatakan lapangan Migas Tuna di LNU masuk teritori China. Sedangkan “sembilan garis putus-putus” ditetapkan atas dasar wilayah laut tersebut merupakan “traditional fishing ground” bagi nelayan China. Jika dibiarkan, klaim sepihak China ini akan mencaplok sekitar 83.000 km2 wilayah yurisdiksi Indonesia (30% luas perairan Natuna), termasuk Blok migas Natuna Timur (NT) yang menyimpan sekitar 46 triliun cubic feet (TCF) gas.

Beberapa narasumber Reuters menyebutkan bahwa protes China telah terjadi beberapa kali sejak awal tahun 2021. Jika belakangan protes China atas latihan militer TNI-AD dengan militer AS juga terungkap, maka artinya protes tersebut juga terjadi sebelumnya, yakni sekitar bulan Agustus/September 2021, berdekatan dengan saat latihan bersama digelar. Kedua protes China ini, yang terjadi sejak awal 2021 hingga Agustus/September 2021, perlu kita rangkai dan analisis dengan insiden “kapal riset” China yang terjadi bulan-bulan berikutnya.

Pada bulan September-Oktober 2021, terjadi insiden masuknya kapal riset Hai Yang Di Zhi 10, dikawal oleh Kapal Coast Guard Cina dengan nomor lambung CCG 4303 dan 4 kapal perang ke wilayah LNU. Tujuan utama kapal-kapal China ini melakukan survei laut, guna pemetaan potensi migas di wilayah LNU. Secara provokatif kegiatan ini, tepatnya terjadi sejak 30/8/2021 hingga 20/10/2021, dikawal oleh kapal-kapal penajaga pantai dan perang.

Aktivitas riset kapal China di ZEE (Zone Ekonomi Ekslusif) Indonesia ini jelas *ilegal* karena dilakukan tanpa izin. China telah melanggar kedaulatan RI sesuai Pasal 56 ayat 1, 240, 244 dan 246 UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea, Konvensi PBB tentang Hukum Laut) Tahun 1982. China juga telah melanggar Pasal 7 UU No.5/1983 tentang ZEEI, yang mengatur tentang kegiatan penelitian ilmiah di ZEE. Kegiatan China ini juga berpangkal pada klaim sepihak yang menyatakan wilayah LNU sebagai teritori China.

Merujuk ke belakang, sebenarnya klaim sepihak enam garis putus-putus telah dibatalkan putusan arbitrase internasional saat Indonesia menggugat masuknya kapal China ke wilayah LNU pada 2016. Itu sebabnya, saat kapal nelayan dan Coast Guard China memasuki LNU pada 19-24 Desemeber 2019 lalu, Indonesia menyatakan tidak akan pernah mengakui klaim “sembilan garis putus-putus” dan tidak ada negosiasi dengan China. Bahkan Presiden Jokowi menegaskan tak ada kompromi dalam mempertahankan kedaulatan (4/1/2020).

Namun, pada insiden terakhir, Agustus-Oktober 2021, masuknya kapal survei bersama 4 kapal perang China ke wilayah LNU, Pemerintah RI gagal bersikap terhormat dan berdaulat. Reaksi maksimal hanya muncul dari Menko Marves Luhut B. Panjaitan (LBP). Kata LBP (saat berkunjung ke Catholic University, AS): “Semua dokumen, semua hukum internasional telah tersedia – kami hanya menghormatinya. Kami berdiskusi dengan mitra kontak kami di China, kami setuju untuk tidak setuju di beberapa area, tetapi saya pikir kami mampu mengelola sejauh ini. Kami tidak merasa memiliki masalah dengan China” (11/10/2021).

Jika dihubungkan dengan protes-protes China yang terekspos awal Desember 2021, maka kegiatan kapal survei China ini memperlihatkan adanya eskalasi arogansi. Sesuai waktu insiden, *pertama* China memprotes latihan perang RI-AS, yang digelar di Baturaja (Sumsel), Amborawan (Kaltim), dan Makalisung (Sulut). *Kedua*, Cina memprotes eksplorasi lapangan Migas Tuna, LNU dalam ZEE Indonesia. *Kedua* protes ini ini merupakan intervensi dan arogansi terhadap NKRI, yang diekspresikan dalam bentuk nota diplomatik.

Namun, pada insiden *ketiga*, dengan mengirim kapal survei yang dikawal kapal perang, jelas China telah memperlihatkan peningkatan level ekspresi sikap, dari nota diplomatik menjadi tindakan nyata di lapangan. Hal ini menunjukkan bahwa China merasa mampu mempengaruhi dan mengendalikan Indonesia, atau bisa pula dinilai bahwa sejumlah pemimpin Indonesia berada di bawah kendali China. Sehingga China merasa leluasa dan tidak khawatir mendapat reaksi atau perlawanan guna menjalankan agenda-agenda ekspansifnya.

Harap dicatat, pada insiden survei laut, China datang dengan 4 kapal perang. Survei dilakukan bukan hanya ukuran “hari”, tetapi lebih dari sebulan! Kegiatan berlangsung di depan mata dengan leluasa di wilayah kedaulatan NKRI. Di sisi lain, sikap Pemerintah RI justru tidak jelas. Tak ada sepatah kata pun muncul dari Presiden Jokowi. Reaksi maksimum hanya datang dari Menko LBP, pernyataan saling tahu-menahu, saling menghormati. Apalagi kalau rakyat berharap ada protes keras atau mengirim kapal perang guna mengusir kapal China. No way!

Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi SDA migas umumnya dimulai dengan “desk study” dan survei lokasi. Kegiatan ini akan berlanjut ke tahap eksplorasi. Jika China telah memulai dengan survei laut di LNU, maka langkah logis berikut adalah eksplorasi, pemboran migas di wilayah LNU. Saat China mensurvei LNU, Menko LBP hanya bersikap saling menghormati dan Presiden Jokowi diam, tanpa sedikitpun menunjukkan kedaulatan NKRI. Jika kelak China melakukan eksplorasi, apakah Indonesia siap dan mampu bertindak untuk menggagalkan? Jangan-jangan, seperti kata LBP, pemerintah masih menghormat, atau malah takut protes!

Faktanya Indonesia telah tersandera berbagai program investasi dan utang pada China. Sejumlah oknum pejabat terkesan “bersandiwara”, memilih bersikap “wise” guna menjaga hubungan dengan “mitra datang”. Tapi, mungkin pula ada penyusup jadi agen dan pengkhianat yang mempengaruhi kebijakan pemerintah guna memuluskan agenda ekspansif China. Kekuatan perang pun sangat terbatas. Jika demikian, jatuhnya blok-blok migas, terutama Natuna Timur yang bernilai ekonomis sekitar Rp 6.000 triliun (diuraikan pada tulisan IRESS 29/10/2021) hanya tinggal menunggu waktu.

Dipahami, sengketa perbatasan jarang mengganggu hubungan baik atau menimbulkan perang. Umumnya hal itu terjadi jika masing-masing negara punya dignity dan berdaulat penuh. Namun, jika hubungan bernuansa timpang, atau layaknya “subordinate” yang tak berdaya dan tersandera di hadapan “master”, maka memang perang tidak terjadi, tapi kedaulatan akan terlecehkan dan sebagian wilayah pun dicaplok negara bernafsu ekspansif.

Sengketa LNU telah diputus lembaga PBB, namun China tetap menolak China dengan arogannya. Ekspresi arogansi menunjukkan tren meningkat. Sebaliknya, sikap pemerintah tak jelas dan menunjukkan tren melemah. Jangankan mengirim armada maritim guna mengusir kapal survei China, hanya untuk melawan protes China saat Premier Oil mengeksplorasi lapangan Tuna saja, terkesan pemerintah hanya melawan via “pinjam” tangan Anggota DPR.

Sebelum terlambat, kita menuntut Pemerintah Jokowi bersikap tegas, independen dan berdaulat. Presiden Jokowi harus bersuara memenuhi aspirasi MAYORITAS rakyat Indonesia, bukan segelintir orang, apalagi China. Kebijakan NKRI di LNU bukan untuk dikompromikan atau bahkan didikte China atas alasan apapun, termasuk atas alasan investasi, dukungan utang, mitra dagang, dll. DPR harus segera memanggil pemerintah untuk membuka isi nota protes dan jawaban pemerintah atas protes China selama 2021. Kapan DPR dan Presiden Jokowi siap tegakkan kedaulatan NKRI melawan arogansi China? (sws)

250

Related Post