Terjebak pada Cukrik Demokrasi Meninggalkan Demokrasi Pancasila
Oleh Prihandoyo Kuswanto - Ketua Pusat Study Kajian Rumah Pancasila
CUKRIK adalah sejenis minuman keras klas kampung ,hasil dari oplosan beberapa minuman keras bahkan agar cepat melayang penggemar cukrik mencampur dengan spirtus dan bodrex,atau rohebnol dan pil koplo sejenisnya sudah barang tentu cukrik merupakan racun yang mematikan. Sudah begitu banyak orang-orang bodoh itu meminumnya dan banyak nyawa tak terselamatkan akibat menenggaknya.
Demokrasi yang sedang dijalankan di negeri ini ibarat Cukrik, juga bukan demokrasi yang benar sebab demokrasi dioplos dengan amplop, sembako, intimidasi, serangan fajar, kaos, dan secara masif blantik-blantik cukrik demokrasi terus melakukan rekayasa mulai dari mendatangkan konsultan politik diramu dengan jajak pendapat dan yang lebih canggih menggunakan media darling ditambah lagi dengan buser -buser yang bertugas melakukan fitnah-fitnah.
Demokrasi semakin banyak macam oplosannya akan memabukkan dan lama untuk menjadi sadar dan akan siuman. Sudah terlambat bisa terkubur karena over dosis atau sadar menjadi linglung. Itulah gambaran Cukrik Demokrasi. Mudah- mudahan kita sebagai bangsa cepat siuman dari mabok panjang ini.
Sejak reformasi bangsa dan negara ini selalu dirundung dengan persoalan-persoalan yang sangat mencekam, hilangnya kesetiakawanan sosial antar warga bangsa, hilangnya rasa persaudaraan antar-warga bangsa, hilangnya rasa kebersamaan senasib dan sepenangungan sebagai warga bangsa, dan hampir punahnya “gotong royong “ sebagai karakter bangsa Indonesia.
Karut marut persoalan ketatanegaraan tidak adanya saling percaya akibat dari merajalelanya korupsi di semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara, persoalan demokrasi tanpa nilai yang menjurus pada pupusnya jati diri bangsa persoalan lembaga hukum yang semakin hari semakin terbuka ketidak beresannya, persoalan politik yang tidak lagi berdasarkan etika.
Perdebatan di layar TV yang setiap hari memberi pelajaran kecongkakan dan jauh dari sopan santun yang pada gilirannya merembes pada akar rumput memicu pertikaian yang memporak porandakan persatuan.
Cukrik Demokrasi adalah demokrasi kalah dan menang, demokrasi kalkulator, cenderung berdasar pada demokrasi liberal, tanpa sungkan dan tanpa risih. Partai –partai didirikan tidak lain bak perusahaan keluarga yang penuh dengan oligarki kekuasaan yang berujung pada dinasti kekuasaan.
Masih segar ingatan kita salah satu agenda reformasi adalah berantas KKN seakar-akar nya, tapi kemudian KKN menjadi sangat masif menjadi oligarkhy dan melahirkan lolitik dinasti, tanpa sungkan dan risih lagi, telanjang bulat. Bisa kita saksikan kepengurusan pertai politik bak perusahaan keluarga juga pada perebutan kepala daerah yang melahirkan dinasti kekuasaan di daerah-daerah, bahkan ada kepala daerah yang kekayaannya sampai triliunan. Koruptor tidak lagi menjadi sebuah ketabuan atau aib, bahkan orang menjadi tersangka korupsi masih dilantik jadi kepala daerah bahkan juga ada yang dilantik menjadi anggota DPR.
Dalam Cukrik Demokrasi memang membutuhkan biaya yang luar biasa besarnya sebab semakin banyak oplosannya maka untuk menarik rakyat diberi amplop yang diberikan sembako yang diberikan rakyat hanya bisa pasrah.
Model Cukrik Demokrasi ini tentu akan berdampak langsung pada biaya politik sistem politik. Dengan model Cukrik Demokrasi membutuhkan piranti-piranti yang menguras biaya. Tentu sudah terbukti berapa banyak kepala daerah yang tersandung korupsi untuk membiayai beban politik.
Rusaknya mental, rusaknya tata nilai telah merasuk ke semua lini, dari urusan olahraga ,sampai daging sapi, dari urusan Cukrik Demokrasi, demokrasi kalah menang, demokrasi kuat-kuatan yang kuat yang menang maka konflik di akar rumput sering terjadi pada saat diadakan Pilkada.
Yang aneh justru demokrasi Pancasila adalah permusyawaratan perwakilan demokrasi yang bermartabat .diganti dengan demokrasi liberal yang tanpa nilai dan berderajat rendah. (*)