The Economist: Jokowi Menimbang Langgengkan Kekuasaan Walau Merusak Demokrasi
Jakarta, FNN. Siapa yang bisa melupakan momen itu, delapan tahun yang lalu, ketika seorang mantan penjual furnitur dengan senyum kemenangan naik ke kursi kepresidenan Indonesia?
Joko Widodo, yang dikenal sebagai Jokowi, dibesarkan di kota kecil Solo di Jawa Tengah.
Dia menjadi Wali Kota Solo. Lalu dengan reputasi menyingsingkan lengan bajunya dan memperbaiki masalah membawanya menjadi Gubernur Jakarta, ibu kota negara besar, dan kemudian ke Istana Kepresidenan.
Seorang pria dari rakyat, ia terhubung dengan pemilih di pasar dan gang-gang. Untuk kali pertama, seorang penguasa tidak berasal dari tentara atau elit negara.
Dalam kisah demokratisasi Indonesia, pemilihan Jokowi pada 2014 menandai jeda yang menentukan dari era Suharto, diktator yang rezimnya runtuh pada 1998.
Gerindra, partai terbesar ketiga, mengatakan menentang amandemen. Begitu juga Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP, yang mengusung Jokowi menjadi Presiden.
Tapi bakat Jokowi mengooptasi adalah legenda. Pemimpin Gerindra, jenderal lainnya, Prabowo Subianto, dua kali mencalonkan diri sebagai presiden melawan Jokowi, tetapi sekarang menjadi pembantunya.
Dua pekan lalu Jokowi mengundang bos PDI-P, Megawati Sukarnoputri, ke istananya di Bogor, sebelah barat ibu kota.
Dia tahu betul, baik sebagai mantan Presiden maupun selaku putri Sukarno, proklamator kemerdekaan Indonesia. Dia bukan apa-apa jika bukan bagian dinasti, dan Jokowi dapat menawarkan putrinya, Puan Maharani, ketua parlemen, sebagai wakil presiden.
Norma-norma demokrasi, kata seorang mantan menteri, tergantung pada seutas benang.
Kekuasaan telah mengubah Jokowi. Penjelasan untuk usahanya melanggengkan kekuasaannya termasuk fakta bahwa dia telah berubah, dari bukan siapa-siapa lalu sekarang membangun dinasti sendiri.
Dia sangat ingin melihat putranya, yang mengikuti jejaknya sebagai Wali Kota Solo, menjadi Gubernur Jawa Tengah, sebuah provinsi berpenduduk sekitar 37 juta orang.
Jokowi juga meninggalkan legacy dengan membangun Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, di hutan Kalimantan Timur.
Masa jabatan kedua Jokowi berakhir pada 2024, setelah itu ia harus mundur. Namun antek-antek kuat Jokowi, jika bukan pria itu sendiri, merancang serius upaya memperpanjang kekuasaan --mengubah konstitusi untuk memperpanjang masa jabatannya tiga tahun.
Mengapa, tanya Menteri Luhut Pandjaitan, harus mengeluarkan biaya pemilu yang tidak perlu. Mengapa mengambil risiko kekerasan pemilu?
Selain itu, kata Jenderal era Suharto itu, percakapan rakyat di media sosial menghendaki Jokowi tetap berkuasa. Luhut mengatakan dia dan yang lainnya hanya “berusaha mengakomodasi aspirasi publik berdasar big data".
Pandangan partai-partai politik utama lebih konsekuen: dukungan dua pertiga parlemen diperlukan untuk mengamandemen konstitusi.
Justifikasinya, Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta saat ini macet, tenggelam, dan rawan banjir. Namun, Gubernur Anies Baswedan mengatakan Jakarta sedang memperbaiki masalahnya dengan memotong ekstraksi air tanah dan membangun tanggul laut.
Birokrat dan keluarga membenci gagasan pindah ibu kota.
Pendorong utama proyek IKN adalah elit politik dan pebisnis di sekitar Jokowi memiliki lahan dan kepentingan atas Nusantara.
Berjalan-jalan di taman Istana Bogor, Jokowi mempelajari kualitas Suharto dalam menyelesaikan proyek pembangunan. Jokowi juga terobsesi membangun berbagai infrastruktur --jalan, pelabuhan, pembangkit listrik, dan banyak lagi.
Perbedaannya, kata seorang mantan sekutu, Suharto memiliki tim teknokrat dalam menetapkan prioritas ekonomi; dia kemudian meminta kroni bisnisnya untuk melaksanakan rencana tersebut. Sebaliknya, kroni Jokowi menetapkan prioritas.
Pada akhirnya kronisme, korupsi, dan krisis ekonomi di luar kendali Suharto.
Aroma krisis ekonomi kembali tercium, diperparah oleh perang di Ukraina. Jokowi khawatir kenaikan tajam harga minyak goreng membuat rumah tangga miskin tertekan. Harga bahan bakar, gandum dan bahan makanan lainnya juga naik.
Itu mungkin baru permulaan. Namun Jokowi tampaknya kurang peka terhadap kemarahan kelas menengah atas kemungkinan perebutan kekuasaan.
Risiko atas reaksi ekonomi dan politik sudah jelas. Jika Jokowi tidak hati-hati, pria populer ini mungkin akan berhadapan pada kemarahan rakyat yang tidak puas. []
Sumber:
Diambil utuh dari ecomomist.com, 26 Maret 2022