Tidak Ada Abrasi di Pantai Banten Utara

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih 

INFORMASI bahwa SHGB dan SHM di pantai Banten Utara adalah saat lokasi tersebut masih berupa daratan sebelum terjadi abrasi adalah  kebohongan besar, sebuah kebodohan dan ketololan yang nyata.

Kerja satelit bisa mendeteksi dan
membuktikan suatu daerah pantai  pernah terjadi abrasi atau tidak akibat gelombang besarnya yang telah menerjangnya.

Kepemilikan SHGB dan SHM dari laut yang di patok dan saat ini di bongkar adalah surat palsu, tidak akan bisa dibalut dengan rekayasa berbohong lagi.

Informasi dari satelit akan menjadi hakim agung yang jujur, adil dan tidak terbantahkan karena berdasarkan fakta alam yang berbicara.

Informasi yang akurat dari wawancara di TVOne News pada 26 Januari 2025, Dr. Agustan, Ketua Umum Masyarakat Ahli Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) dan peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan H-index 15, dalam menit ke 3 hingga menit ke 8.

Menyampaikan temuannya mengenai kondisi wilayah pagar laut yang memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM). Bahwa berdasarkan analisis citra satelit dan peta yang diterbitkan selama 50 tahun terakhir, di wilayah tersebut tidak pernah terjadi abrasi atau mengalami pengikisan pantai.

Yang terjadi justru proses sedimentasi,  artinya diarea tersebut mengalami penumpukan sedimen (sedimentasi), yang menyebabkan perluasan daratan.

Temuan ini sejalan dengan kondisi alam setempat, di mana area tersebut tidak pernah terjadi gelombang laut yang besar yang berakibat terjadi abrasi, sehingga proses sedimentasi lebih dominan daripada abrasi.

Penemuan ini menegaskan pentingnya penggunaan teknologi penginderaan jauh dalam memantau dan memahami dinamika wilayah pesisir. Dengan data historis yang akurat, menutup semua  rekayasa niat jahat yang akan merugikan negara karena pematokan laut sedang terjadi di seluruh wilayah pantai di Nusantara.

Sekalian seandainya terjadi abrasi sertifikat SHGB dan SHM dari tanah daratan   kemudian karena proses alam terendam air laut, maka tanah tersebut disebut sebagai tanah musnah otomatis hak yg melekat di atasnya batal demi hukum, untuk pengelolaan lingkungan pesisir yang berkelanjutan.

Rekayasa penerbitan SHGB dan SHM dengan lanjutan mematok laut sangat fatal, terlalu ceroboh apalagi melibatkan oknum pejabat bahkan pejabat terkait dengan bidangnya hanya untuk memenuhi keinginan perampokan kedaulatan negara baik di darat dan lautan. (*)

207

Related Post