Tidak Puas dengan Putusan MKMK, Rakyat Siap Memutuskan Lewat Parlemen Jalanan

Jimly Asshiddiqie, Ketua MKMK

Jakarta, FNN - Sampai saat ini, masih banyak masyarakat yang menyampaikan sumpah serapah dan cacian terhadap hasil keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, karena bagi orang awam keputusan tadi malam itu cukup membingungkan. Bagaimana memahami seseorang yang dicopot jabatannya sebagai ketua Mahkamah Konstitusi dan tidak boleh berperkara, tetapi tidak dipecat. Kejadian juga memuncul satu kesadaran baru bahwa mau tidak mau sepertinya kita mesti bersiap bahwa kita akan punya wakil presiden yang namanya Gibran. Asumsinya, proses menjadi cawapres saja curang, apalagi proses pilpresnya. Tetapi, kita tidak boleh putus asa karena banyak skenario Jokowi yang akhirnya berantakan.  

Demikian pengantar diskusi antara Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, bersama Rocky Gerung dalam kanal You Tube Rocky Gerung Official edisi Rabu (8/11/23). Menanggapi keputusan MKMK, Rocky mengatakan bahwa dari awal Jokowi sudah cawe-cawe dalam pemilu. Tetapi, walaupun dilakukan secara sistematis, dipastikan bahwa seluruh ambisi Jokowi tidak akan terwujud. Jokowi seperti membeli karcis terusan, yang dimulai dari perpanjangan kekuasaan tiga periode yang gagal. Namun, Jokowi masih berusaha untuk memastikan bahwa kekuasaannya tidak akan berakhir.

“Tetapi, kita selalu melihat bahwa bangsa ini selalu punya simpanan moral dan itu yang diekspresikan justru oleh anak muda. Mereka sudah tidak tahan lagi dengan sikap Jokowi yang memperlihatkan bahwa dia seperti orang yang rakus dan buas. Itu yang menjadi dasar untuk membuat tagar #KamiMuak,” ujar Rocky.

Kemarin, saat Rocky memberikan kuliah di Universitas Indonesia, berbicara dengan BEM UI, dan beberapa anak mahasiswa, mereka menyayangkan kenapa orang semacam Jimly Asshiddiqie tidak bisa lurus untuk melihat bahwa masalah ini bukan sekadar soal teguran prosedural, tapi ini teguran eksistensial, teguran terhadap batin rakyat yang dirusak oleh persekongkolan keluarga Jokowi dengan ketua Mahkamah Konstitusi. Memang itu tidak ada di dalam aturan-aturan baru, tapi sinyal selalu menunjukkan ada variabel yang tak terlihat, yang hanya bisa dilihat dengan hati.

Salah satu anggota Majelis Kehormatan, Bintan  Saragih, menunjukkan dengan lurus bahwa kalau Jimly adalah seorang akademisi maka dia tidak boleh terganggu oleh kepentingan politik. Bintan Saragih mengatakan bahwa dia akademisi, 35 tahun mengajar di Universitas Indonesia di Fakultas Hukum dan Ilmu Politik,  dia mengambil konsekuensi bahwa seorang akademisi tidak boleh terganggu oleh pertimbangan politik. Bintan meminta supaya Mahkamah Konstitusi dipecat, bukan mundur dari jabatannya sebagai hakim ketua, tapi dipecat sebagai hakim.

Rocky juga menerangkan bahwa yang bermasalah adalah nurani, moral, dan integritas dari hakim yang kebetulan dia memimpin Mahkamah Konstitusi sebagai ketua. Jadi yang bermasalah adalah nuraninya, manusianya. Karena itu, tidak ada yang namanya pelanggaran etik dari ketua Mahkamah Konstitusi. Pelanggaran etik terjadi dari hakim yang tidak paham tentang political justice.

“Karena itu, mestinya Jimly putusannya adalah memberhentikan, memecat hakim itu, walaupun proses administrasinya panjang dan yang akan mengeluarkan surat pemecatan iparnya sendiri yang seorang presiden. Itu tidak ada soal. Yang penting orang melihat kejujuran, ketekunan, dan kelurusan pikiran dan hati,” ujar Rocky.

Bagi masyarakat, soal dipecat atau tidaknya hanya salah satu pintu masuk, tetapi yang diharapkan adalah Gibran dibatalkan. Dengan putusan kemarin, artinya Gibran akan tetap bisa melengang menuju Pilpres. Kemudian orang bertanya, untuk apa Pilpres kalau seperti ini.

“Itu yang biasa disebut di dalam logika hukum causa assendi-nya adalah Gibran, causa cognoscendi-nya adalah ketua Mahkamah Konstitusi. Jadi, menghilangkan causa cognoscendi, yaitu Ketua Mahkamah Konstitusi, tidak membatalkan causa assendi-nya. Itu konyolnya di situ. Apalagi kalau kita pakai berbagai macam teori tentang legitimasi. Jadi, Jimly itu mendua sebetulnya, itu yang disayangkan,” ungkap Rocky.

“Padahal, keadaan  politik kita ini seperti kanker stadium empat, tetapi Jimly kasih panadol, itu kan gila. Jadi, buat apa Jimly ada di situ sebagai akademisi kalau dia tidak bisa memaksimalkan tugas dari akademisi, yaitu menghasilkan keputusan yang semakin matang berdasarkan nalar. Ini tidak ada nalarnya ini. Bagaimana mungkin sakit kanker diobati dengan parasetamol. Itu gila,” ungkap Rocky.

Jadi, lanjut Rocky, yang dihilangkan adalah sakit kepalanya publik, tetapi penyebab sakit kepalanya adalah cawe-cawe Jokowi yang dari awal menghendaki dinasti itu tetap berkuasa. Mestinya cawe-cawe Jokowi itulah yang dibatalkan. Cawe-cawe terakhir Jokowi adalah menjadikan Gibran sebagai cawapres. Mustinya Jimly paham itu.

Apakah situasi ini memungkinkan terjadinya konsolidasi kekuatan sipil bersama oposisi melawan Jokowi dan keluarganya atau mereka memboikot begitu saja, tidak ikut pemilu, tapi Gibran tetap lolos.

Menjawab pertanyaan ini, Rocky mengatakan bahwa hal itu yang sekarang sedang diuji. Partai-partai mulai memproses hak angket, karena memang itu prosedur. Tetapi, Jokowi juga merasa bahwa kalian parlemen tidak akan berani karena dia pegang kunci para ketua partai terutama. Tetapi, yang rakyat inginkan adalah jalan supaya kita bisa menyelesaikan soal kemacetan konstitusional ini.

“Jadi, kalau itu enggak dilakukan jalan legal formal, saya kira akan ada kemarahan publik. Itu bisa dilakukan dengan people power. Jadi, kalau tidak bisa diselesaikan dengan jalan politik legal, akan ada penyelesaian di jalan-jalan,” jelas Rocky.(ida)

509

Related Post