TNI dan Kerancuan Politik Negara (1)
Karena itu MPR harus mencakup wakil-wakil rakyat yang dipilih, DPR, wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam masyarakat. Dengan kata lain, MPR harus merupakan wadah multi-unsur, bukan lembaga bi-kameral.
Oleh: Ir. Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila
PRESIDEN Joko Widodo menegaskan kepada prajurit Tentara Nasional Indonesi (TNI) agar mendukung kebijakan Politik Negara dan tidak melakukan politik praktis.
Rupanya ada kegusaran presiden terhadap TNI. Bukankah di dalam UUD amandemen sudah ada pasal yang mendudukkan presiden sebagai penguasa tertinggi di TNI?
Tetapi, tidak seperti biasanya, Presiden seperti ngegas di Rapat Pimpinan TNI dan Polri di Jakarta, Selasa 1 Maret 2022.
Pesan Presiden kepada jajaran TNI dan Polri jangan mengundang penceramah radikal, harus menguasai teknologi digital, tidak ikut berdebat soal perpindahan Ibu Kota Negara (IKN), dan disiplin tinggi karena di TNI Polri tak ada demokrasi.
UUD Amandemen Pasal 10: “Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara”. Bukankah dengan kekuasaan tersebut Presiden mempunyai kekuasaan penuh?
Presiden juga menegaskan: Politik TNI adalah politik negara. TNI berpijak pada kebijakan negara. Semua yang dilakukan negara adalah untuk rakyat, kata Presiden Jokowi saat memberikan pengarahan pada pembukaan Rapat Pimpinan (Rapim) TNI 2022, di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur.
Menurut Kepala Negara, rantai komando di tubuh TNI hanya satu. Tegak lurus, loyalitas dan ketaatan hanya kepada Presiden sebagai Panglima Tertinggi TNI.
Sejak amandemen UUD 1945 memang tidak ada kejelasan terhadap Presiden sebagai Kepala Negara. Indonesia adalah negara hukum. Fungsi Presiden sebagai Kepala Negara tidak ada satu pasal pun di dalam batang tubuh UUD hasil amandemen!
Tentu ini menjadi tanda tanya besar: apakah ini sebuah keteledoran para pengamandemen? Tentu saja ini akan berbuntut panjang jika ada yang mempersoalkan, sebab fungsi Presiden dalam penguasaan TNI adalah sebagai Kepala Negara.
Maka politik yang dijalankan adalah politik negara. Lagi-lagi kita bertanya-tanya apakah politik negara itu? Apa dan bagaimana keterukurannya?
Apakah TNI bisa membedakan mana politik negara dan mana yang bukan? Amandemen UUD 1945 tanpa disadari juga memporak porandakan Politik Negara.
Politik Negara di dalam UUD 1945 naskah asli sangat jelas dan terukur dan dituangkan oleh MPR di dalam GBHN, dan Presiden pun harus menjalankan politik negara yang tertuang di dalam GBHN. Maka jika Presiden menyimpang dari GBHN, Presiden bisa dimakzulkan (diturunkan).
Oleh karena Presiden adalah Mandataris MPR, maka di dalam menjalankan pemerintahannya, Presiden tidak boleh menjalankan politiknya sendiri maupun politik kelompoknya. GBHN adalah politik negara yang sangat terinci dan terukur, sehingga TNI akan berpedoman kepada GBHN dalam menjalankan tugasnya.
Jelas tugasnya menjalankan dan mengamankan politik Negara, sebab GBHN adalah sebuah keputusan Negara yang disusun oleh seluruh elemen bangsa.
Menjadi sebuah pertanyaan besar sekarang ini: apakah politik negara itu? Apakah realisasi janji-janji politik Presiden adalah politik Negara?
Apakah keputusan pembangunan infrastruktur dengan model B to B yang dilakukan BUMN Indonesia dengan BUMN Negara asing adalah poltik negara?
Apakah pertarungan politik di DPR dengan saling menelanjangi soal Freeport adalah politik negara?
Apakah keputusan Menteri ESDM dengan memberi ijin Freeport untuk eksport konsentrat (walau itu melanggar UU Minerba) adalah keputusan negara?
Dan, apakah pungutan ‘dana ketahanan energi’ di dalam penjualan per liter BBM adalah juga politik Negara?
Di mana sebenarnya politik negara itu?
Jika kita buka UU TNI dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI pasal 7 ayat (1), Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Kalau kita mendalami UU TNI dalam pasal 7 ayat 1 ini maka timbul sebuah pertanyaan besar bagi kita yang mendalami UUD 1945, pertanyaan yang sangat kritis adalah apakah UUD Amandemen masih bisa dikatakan UUD 1945, mengapa? Sebab secara sistematika sudah berbeda dengan UUD 1945 naskah asli terdiri dari Pembukaan, Batang tubuh, Penjelasan, sedang UUD Amandemen telah menghilangkan sistematikanya, juga UUD amandemen telah berubah 300% dari UUD 1945 naskah asli.
Perubahan pasal 1 ayat 2 adalah perubahan terhadap aliran pemikiran Pancasila. Apakah aliran pemikiran itu? Sejak perjuangan para pendiri bangsa telah menyatukan sebuah tekad yang menjadi alat bersama yaitu anti terhadap penjajahan, bahkan di dalam pembukaan UUD 1945 ditulis dengan jelas bahwa penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan maka penjajahan di muka bumi harus dihapuskan.
Penjajahan ada karena adanya imperalisme dan kolonialisme yang bersumber dari kapitalisme liberalisme. Semua ini lahir dari individualisme. Rupanya kita semua tidak memahami apa arti penjajahan itu, maka para pendiri bangsa ini telah merancang negerinya dengan aliran pemikiran anti penjajahan yaitu kolektivisme, kebersamaan, gotongroyong, dan Pancasila sebagai antitesis dari bentuk penjajahan.
Diamandemennya Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 sesunguhnya merubah aliran pemikiran dari kolektivisme, kebersamaan, kekeluargaan, musyawarah mufakat, Pancasila dengan sistem MPR, diubah menjadi individualisme, liberalisme, kapitalisme, kalah menang, banyak-banyakan suara, kuat-kuatan dengan sistem presidensial.
Marilah kita kutib tesis Prof Noto Negoro di dalam Sidang Senat Guru Besar Universitas Gajah Mada dalam sponsor pemberian gelar Doctor Honorriscausa pada Presiden Soekarno …
”Daripada asas politik Negara, bahwa Negara Indonesia “terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia jang berkedaulatan rakjat”, jang ditentukan dalam Pembukaan, udjud pelaksanaannja objektif terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam pasal 1 ajat (1), bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, dan pasal 1 ajat (2), bahwa kedaulatan rakjat dilakukan sepenuhnja oleh Madjelis Permusjawaratan Rakjat.
Adapun tudjuan Negara, tertjantum dalam Pembukaan, jang nasional (“melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah serta memadjukan kesedjahteraan umum dan mentjerdaskan kehidupan bangsa”), pendjelmaannya objektif adalah sebagai di bawah ini. Pertama-tama terkandung djuga dalam pendjelmaan daripada asas kerohanian dan asas politik Negara sebagaimana dimaksudkan di atas, karena kedua asas Negara itu memang dikehendaki untuk mewujudkan atau mentjapai tudjuan Negara.
Lain daripada itu terutama untuk tudjuan Negara jang negatif, jaitu keselamatan bangsa dan Negara atau perdamaian, pendjelmaannja objektif terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam Bab IX tentang kekuasaan kehakiman (pasal 24 dan 25) dan Bab XII tentang Pertahanan Negara (pasal 30) serta kekuasaan Presiden dalam pasal 14 untuk memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, dalam pasal 10 atas Angkatan Perag, dalam pasal 11 untuk menjatakan perang, membuat perdamaian dan perdjandjian dengan Negara lain, dan dalam pasal 12 untuk menjatakan keadaan bahaja…”
NKRI dengan UUD 1945 naskah asli menganut sistem MPR adalah sistem sendiri, bukan sistem Presidensial. Banyak yang tidak mengetahui mengapa pendiri bangsa ini memilih sistem sendiri, bukan sistem Parlementer maupun sistem Presidensial seperti sekarang. Marilah kita buka dokumen BPUPKI, PPKI untuk bisa mengerti mengapa para pendiri bangsa ini memilih sistem sendiri dalam menentukan sistem bernegara…”
Pada notulen rapat tanggal 11-15 Juli 1945 BPUPK dan rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dapat kita ikuti perkembangan pemikiran tentang kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawartan Rakyat sebagai penjelmaaan dari seluruh rakyat Indonesia yang memiliki konfigurasi sosial, ekonomi dan geografis yang amat kompleks.
Karena itu MPR harus mencakup wakil-wakil rakyat yang dipilih, DPR, wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam masyarakat. Dengan kata lain, MPR harus merupakan wadah multi-unsur, bukan lembaga bi-kameral.
Bentuk MPR sebagai majelis permusyawaratan-perwakilan dipandang lebih sesuai dengan corak hidup kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih menjamin pelaksanaan demokrasi politik dan ekonomi untuk terciptanya keadilan sosial. (Bersambung)