Sebelum People Power, Saldi Isra dan Siapapun yang Merasa Tidak Cocok dengan Suasana Berkonstitusi di MK, Keluar Saja
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan atas pengujian Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terkait dengan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Gugatan ini diajukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Partai Bulan Bintang (PBB).
Pengamat politik Rocky Gerung bereaksi keras atas putusan tersebut. "Ternyata MK memotong sendiri pilar demokrasi hingga berantakanlah pengertian kita tentang constitutionalism, express denialism, imperatif demokrasi. Jadi kekacauan itu justru menggerakkan. Karena memang penanda dari jatuhnya rezim adalah kekacauan di bidang yang paling dasar, yaitu para penjaga konstitusi," katanya kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Jumat, 8 Juli 2022. Berikut petikan lengkapnya:
Kita lihat yang terjadi pada hari Kamis, keputusan di Mahkamah Konstitusi adalah musibah buat bangsa. Menurut Anda?
Ya, ini catatan pertama bahwa pernah di dalam sistem demokrasi, ada lembaga yang tugasnya menjamin demokrasi, justru memberangus. Itu namanya Mahkamah Konstitusi. Dan catatan ini yang akan kita pakai untuk mempersoalkan mereka yang ada di dalam. Kan tetap ada tokoh-tokoh semacam Saldi Isra, yang berkali-kali membuat disenting opinion. Sekarang sudah di tingkat tertinggi disenting opinion apalagi yang musti diucapkan. Dia musti langsung bikin desain bahwa dia itu tidak bisa lagi berkonsensus dengan mahkamah konyol ini, MK. Maka dia musti keluar. Akhirnya, pertanggungjawaban moral dari hakim yang nuraninya terganggu ya dia keluar, bukan sudah mengatakan ya nanti saya ada punya disenting opinion. Enggak. Dia musti lakukan disent saja, yaitu perlawanan. Dan ini bukan konsen lagi, bukan konsensus bersama dengan hasil keputusan yang di dalamnya ada disenting opinion, tapi dia harus disensus sekaligus. Jadi keluar dari konsensus bahwa dia adalah bagian dari Mahkamah Konstitusi. Nah, itu baru ada kecerahan dan kemungkinan orang menganggap, oke teman-teman muda di situ atau beberapa hakim masih punya pengetahuan tentang demokrasi. Itu intinya.
Kita dorong sekarang, sebelum terjadi peoples power, atau yang biasa disebut sebagai gerakan rakyat di jalan, sebaiknya Saldi Isra itu atau siapapun yang merasa bahwa tidak cocok dengan suasana berkonstitusi di Mahkamah Konstitusi ya keluar dari situ. Itu aja saja jalan keluarnya. Kecuali mereka masih di situ lalu rakyat merasa oke kalau begitu gempur saja sekalian Mahkamah Konstitusi. Karena pilar yang ada di depan situ menunjukkan Mahkamah Konstitusi di seluruh dunia selalu ditunjukkan dengan pilar-pilar Yunani itu. Fungsi pilar itu untuk menegakkan keadilan. Harus kokoh Mahkamah Konstitusi. Ternyata MK memotong sendiri pilar-pilar itu hingga berantakanlah pengertian kita tentang constitutionalism, express denialism, imperatif demokrasi. Jadi kacau dan kekacauan itu justru menggerakkan. Karena memang penanda dari jatuhnya rezim adalah kekacauan di bidang yang paling dasar, yaitu para penjaga konstitusi.
Bayangkan betapa publik tidak frustrasi kalau kemarin selalu alasan ditolak adalah legal standing. Selalu begitu alasannya. Tetapi, ternyata ketika kita melihat bahwa PBB partai politik peserta pemilu walaupun ia tidak masuk parlemen, tapi tetap saja itu, dan diakui oleh Mahkamah Konstitusi bahwa mereka punya legal standing, tapi problemnya itu kembali lagi dijagain lagi bawah ini open legal policy. Dan kalau open legal policy itu bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi balikin saja ke DPR lagi ke legislative review. Kalau begitu kita sudah bisa duga bahwa tidak ada gunanya PKS melakukan gugatan itu walaupun dia sudah kompromi menurunkan bukan nol persen tetapi 7-9 persen.
Itulah konyolnya Mahkamah Konstitusi. Dia terima legal standing, tetapi dalil untuk mempersoalkan materi yang dimintakan judicial review itu dia tolak. Kan tolak saja nanti di situ legal standingnya oke dapat, berarti materinya boleh diucapkan. Bahwa nanti diputuskan ya soal lain. Tetapi kan kita nggak punya kemampuan untuk mendalilkan di depan situ, karena kita sudah antisipasi ini soal open legal policy. Justru itu yang kita mau persoalkan. Kenapa open legal policy nggak bisa dipersoalkan. Kan itu satu paket pikiran saja kan? Oh itu nanti musti ada formulasi. Iya nggak ada soal. Nanti kita sewa orang untuk bikin formulasi. Tapi, substansi dari persoalan kita, open legal policy membatalkan demokrasi, open legal policy bertentangan dengan konstitusi. Kan itu dalil kita. Jadi, mahkamah ini betul-betul konyol dan dungu sebetulnya. Karena hanya takut saja kalau argumen di dalam persidangan. Jadi, seolah-olah template apapun yang masuk di situ hanya masuk dua kamar itu. Lokasinya cuma dua, legal standingnya tidak diakui atau diakui tapi akan diarahkan bahwa ini bukan kewenangan mahkamah. Lalu kita bertanya kewenangan mahkamah kalau terjadi krisis konstitusional apa? Jadi, nanti kalau ada impeacment pada presiden, mahkamah akan bilang, enggak, itu nggak bisa. Memang kalian punya legal standing buat impeact DPR, tapi itu bukan kewenangan kami. Karena ini ada pertimbangan macam-macam. Jadi, terlihat bahwa nggak ada argumen yang utuh. Maka, kita anggap bahwa mahkamah konstitusi sedang bukan sekadar mengkhianati, tapi melecehkan. Dan dia sedang membunuh demokrasi saja. Apa boleh buat. Itu yang terjadi kan? Kan yang minta partai politik yang mewakili kedaulatan rakyat, bukan program rakyat yang kita serahkan pada DPR, tapi kepentingan kita untuk memastikan demokrasi itu berlangsung bersih. Karena itu kita dalilkan macam-macam. Partai sudah masuk, individu sudah masuk, lembaga negara sudah masuk, tapi ya apalagi jalan keluarnya selain tabrakan di jalan.
Tapi saya berharap orang nggak kemudian putus asa, karena kalau tidak salah, ini catatan saya sekitar 31 yang sudah ditolak. Tapi mungkin yang akan ada orang jadi frustasi. Saran saya jangan frustasi, ajukan saja sebanyak-banyaknya. Nanti lama-lama hakim Mahkamah Konstitusi yang yang frustrasi sendiri.
Ya semua orang akhirnya harus lakukan itu, yang disebut sebagai protes massal. Jadi, kita akan lanjutkan itu, bukan untuk mengganggu, tapi untuk memberitahu bahwa kekonyolan itu harus dihentikan. Itu yang sering saya sebut Mahkamah Konstitusi mengalami konstipasi. Dia nggak bisa mencerna lalu dia marah-marah saja. Oh pergi ke sana cari dokter lain, enggak. Ini dokternya cuma Anda tapi Anda sendiri nggak bisa mencerna sebagai dokter pencernaan demokrasi. Anda enggak bisa mencerna. Jadi, kita membayangkan satu keadaan di dalam sidang itu. Jadi menolak itu sudah jadi keputusan pertama sebelum diperiksa kasusnya. Lalu basa basi. Ini nebis in idem, ini sudah pernah segala macam. Jadi, nggak ada semacam terobosan hukum. Padahal Mahkamah Konstitusi harus bikin terobosan supaya konstitusi itu enggak macet, supaya demokrasi lumer dan terobosan itu yang sering dia nggak paham bahwa dia diberi hak untuk membuat terobosan dengan istilah judicial activism. Jadi, dia nggak tahu. Jadi bagaimana kita mau andalkan mahkamah itu kalau dia sendiri nggak tahu fungsi primer dia adalah melakukan judicial activism. Delik itu yang mustinya dia bocorkan pada publik bahwa ini bahaya kalau PT 20%. Maka coba kalian bikin seminar dan pada akhirnya orang tua mahkamah mengundang sebetulnya. Kita lakukan judicial review. Kan itu etikanya. Tentu kita tahu bahwa mahkamah itu tidak dipilih oleh kedaulatan rakyat, tapi oleh kepentingan partai-partai di DPR dan kepentingan Presiden, dan kepentingan Mahkamah Agung.
Itu baru satu kasus presidensial threshold. Kemarin kita menyodorkan dua orang. Kita berharap juga Gelora, misalnya, melalui pintu masuk yang berbeda. Dan saya kira ini juga nggak kalah seriusnya karena ini berkaitan dengan tiket kadaluwarsa yang dipersoalkan. Nah ini ditolak juga gitu. Jadi orang mau masuk pintu manalagi? Menurut saya gampang saja, logika yang diajukan Gelora itu sebenarnya nggak usah memakai pertimbangan hukum, pakai pertimbangan akal sehat saja. Bagaimana mungkin, Anda beli tiket pada lima tahun yang lalu dan digunakan dan dianggap valid lima tahun kemudian. Susu bubuk saja paling usinya cuma satu tahun. Ini pilih orang bisa sampai lima tahun masih dianggap nggak kadaluwarsa itu barang. Tidak meracuni orang?
Ya MK memang mempertimbangkan dengan bagus sebetulnya, kalau susu ada kadaluwarsa ojo kesusu, tetapi dengkul Mahkamah Konstitusi enggak pernah kadaluwarsa. Karena itu mereka ke dengkul saja. Jadi kritik semacam ini untuk memperlihatkan kalau jalan keluar buntu, semua pintu ditutup, lalu bagaimana kita masuk rumah kita? Ya kita bongkar genteng atau kita dobrak. Jadi, itu intinya kan? Jadi kalau nanti ada gerakan massa mengepung Mahkamah Konstitusi dasar etisnya ada, karena kalian menutup semua pintu. Jadi kalian tipu-tipu saja kan para hakim Mahkamah Konstitusi. Dia nginip dari atas, ini ada yang mau masuk tapi dia tutup. Jadi kecurangan itu sebetulnya yang dibayangkan akan meledak menjadi kekerasan. Dan kalau jadi kekerasan KUHP sudah siapin. Ini makin lama negeri ini sebetulnya mengarah pada otoritarianisme atau sudah dalam sistem otoriter. Walaupun nanti ya Anda kan belum ditangkap. Ya, tapi kita nggak mungkin lagi untuk lega meminta pertanggungjawaban mahkamah terhadap penyelewengan konstitusi. Ke mana kita mau cari akal bahwa negeri ini masih demokrasi, ya dengan demonstrasi. Jadi, sudah, itu akan dilanggar. Mahasiswa pasti akan mengabaikan semua sanksi pidana, buruh juga akan lakukan hal yang sama. Jadi siap-siap bahwa akan ada mobilisasi dan mahkamah konstitusi ya silakan berlindung. Nggak ada yang peduli karena dianggap yang berlindung di Mahkamah Konstitusi adalah maling-maling konstitusi, rampok rampok konstitusi. (ida/sws)