Ulama Sebut Kiai As'ad Ali Penuhi Kriteria Ketum PBNU

Oleh: Mochamad Toha

DENGAN adanya kegaduhan yang dipicu oleh dua kandidat Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf dan Said Aqil Siradj, maka para sesepuh NU mulai memikirkan calon alternatif.

“Dan dari sekian nama yang memenuhi kriteria ideal adalah KH Dr. As'ad Said Ali,” ujar KH Malik Madani, guru besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta yang juga mantan Katib Am PBNU hasil Muktamar Makassar.

Kiai As'ad adalah sosok pemimpin yang telah terbukti rela berkorban untuk menghidupi NU, bukan mencari hidup dan kebesaran dari NU. “Orang yang seperti beliaulah yang layak kita dukung untuk memimpin NU ke depan. Mari kita berikhtiar lahir batin untuk itu,” seru Kiai Malik.

Kiai Malik menyitir, jika kita mengingat dawuh KH Sholahudin Wahid alias Gus Sholah bahwa "berikan manfaat ke NU jangan ambil manfaat ke NU", maka ia releven dengan kiprah Kiai As'ad Ali yang selama ini telah memberi manfaat yang besar pada NU khususnya soal penggkaderan.

“Jika kita teringat dawuh KH Muhammad Tholchah Hasan, pengurus NU itu harus melayani umat, bukan mengusai umat, maka sosok Kiai As'ad Said Ali masuk di dalamnya,” tegas Kiai Malik Madani.

Menurutnya, yang dihindarinya adalah SAS yang kebetulan alumni PMII dan Yahya yang kebetulan alumni HMI. “Kita menolak keduanya bukan karena latar belakang organisasi kemahasiswaannya semasa di bangku kuliah, melainkan karena perilaku dan manuver politiknya sebagai orang NU. Kita butuh figur seperti Kiai As'ad!” ungkap Kiai Malik Madani.

Dukungan untuk Kiai As’ad Ali memang terus mengalir dari daerah. Seperti dukungan Nahdliyin akar rumput di sejumlah daerah agar Kiai As’ad Said maju sebagai Ketum dalam Muktamar ke-34 NU di Lampung pada 23-25 Desember 2021.

Salah satunya datang dari Ketua Pengurus Cabang Nahdatul Ulama (PCNU) Kabupaten Barru Sulawesi Selatan, Irham Djalil.

Menurutnya, konsep kemandirian Kiai Asad patut diperhitungkan. Irham  berharap, Kiai As’ad Ali bisa membuat NU menjadi organisasi yang benar-benar mandiri dan maju.  

Konsep yang diusung Kiai As’ad Ali konsep kemandirian NU. Sesungguhnya itu yang dicari-cari warga NU sekarang ini, baik di NU kultural maupun NU struktural. “Kita ini berharap sebenarnya ada kemandirian NU," ujar Irham, seperti dilansir Republika.co.id, Senin (13 Dec 2021 16:37 WIB).

Irham yakin Kiai As’ad Ali akan membuat organisasi NU menjadi lebih baik lagi ke depannya. Dengan konsep kemandirian yang diusung Kiai As’ad Ali, kata dia, warga nahdliyin tidak perlu lagi untuk meminta bantuan dana kepada pihak-pihak lain.  

“Jadi, kalau ke mana-mana itu gak perlu tenteng proposal minta-minta. Itu adalah bagian dari kemandirian. NU ini tidak perlu ada kekuatan luar yang bisa mempengaruhi NU,” ucap Irham. 

"Saya lihat ini kalau Kiai As’ad Ali usungannya seperti itu ya ini sangat luar biasa. Dan ini saya kira (hal ini) harus diapresiasi oleh warga NU maupun NU struktural,” imbuhnya.  

Irham memang menyayangkan nama Kiai As’ad Ali yang baru saja diusung belakangan ini untuk maju sebagai calon alternatif Ketum PBNU. Kendati demikian, menurut dia, tidak ada kata terlambat demi kemandirian NU di masa mendatang.  

"Tapi, meskipun agak terlambat start-nya, kalau Nahdlyin ini, khususnya struktural ini mau menggunakan nurani, tidak ada kata terlambat. Karena ini kan belum juga Muktamar," kata Irham.  

Menurutnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa sekarang ini ada dua kubu yang akan maju pada Muktamar ke-34 di Lampung, yaitu kubu KH Said Aqil Siradj dan KH Yahya Cholil Staquf. Karena itu, dia khawatir pada Muktamar nanti akan terjadi kekacauan.  

Jika nanti terjadi kekacauan, Kiai As’ad Ali bisa menjadi alternatif untuk memimpin NU ke depan.

“NU ini organisasi besar yang sudah bertahun-tahun mengkader. Kalau buntu kiri dan buntu kanan, harus ada alternatif dan alternatif itu bukan ban serep,” jelas Irham.  

Dia pun mengaku senang jika banyak kader NU yang akan maju sebagai calon Ketum PBNU pada Muktamar tahun ini. Menurut dia, hal itu akan menunjukkan bahwa NU tidak pernah kekurangan kader pemimpin.  

“Saya senang kalau misalnya banyak kader-kader NU yang tampil bersiap-siap untuk memegang estafet kepemimpinan. Itu berarti kalau NU itu tidak kekurangan kader,” lanjutnya.

“Oleh karena itu, tidak ada kata tadah cari kiri-kanan, harus sudah siap dari awal. Saya kira Kiai As’ad ini yang bisa menangkap peluang ini,” jelas Irham. 

Dalam Muktamar ke-33 NU di Jombang, Kiai As’ad Ali yang saat itu masih menjabat Waketum PBNU menjadi penantang Ketum Said Aqil Siradj. Kiai As’ad tak asing lagi sebagai tokoh nasional yang sempat pula disebut-sebut akan menjabat sebagai Kepala BIN.

Kiai As’ad Ali adalah lulusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Pria kelahiran Kudus pada 19 Desember 1949 itu sebelumnya adalah santri Ponpes Al Munawwir, Krapyak, Jogjakarta.

Setelah lulus dari UGM, As’ad Ali diminta oleh tokoh NU Subhan ZE untuk berkiprah di Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN). Dengan bekal ilmu hubungan internasional dan pesantren, As’ad Ali kemudian ditugaskan di negara-negara Timur Tengah.

Pada 1999 semasa Presiden ke-4 RI Abdurahman Wahid, As’ad kemudian didaulat untuk menjadi Wakil Kepala BIN. Sejak saat itu sampai dengan 9 tahun kemudian As’ad bertahan sebagai WakaBIN.

Kiprah Kiai As’ad Ali dalam organisasi otonom NU juga cukup banyak. Pria kelahiran Kudus ini tercatat pernah aktif di IPNU, PMII, dan GP Ansor.

Tak hanya itu, As’ad pun menulis beberapa buku yang antara lain adalah Negara Pancasila (2009), Pergolakan di Jantung Tradisi (2009), dan Ideologi Pasca Reformasi (2010).

Latar belakang pengalaman dan intelektual itu membuat Kiai As’ad meraih gelar Doktor Honoris Causa dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.

Kiai As’ad Ali mengaku, pernah diragukan ke-NU-annya ketika ia diangkat sebagai Wakil Ketua Umum PBNU pada 2010-2015. Uniknya, orang yang menganggapnya bukan kader NU itu salah satu pengurus teras PBNU.

“Saya datangi. Saya tanya lebih lama siapa mondoknya antara saya dengan sampean,” ungkap Kiai As’ad Ali. Tak pelak, pengurus PBNU yang merasa paling NU itu gelagapan. Ternyata justifikasi NU dan bukan NU itu sangat politis.

Sejak peristiwa itu, keraguan terhadap ke-NU-an Kiai As’ad Ali mulai reda. Apalagi, ia menjabat sebagai wakil ketua umum PBNU karena diminta KHA Sahal Mahfudz yang saat itu terpilih sebagai Rais Aam.

Kiai As’ad Ali sendiri merasa menjadi NU sejak lahir karena orang tua dan keluarganya memang NU tulen. Bahkan, sebelum masuk struktur PBNU, ia disebut-sebut banyak membantu NU terutama dari segi pendanaan.

Ia malang melintang di dunia intelijen sekitar kurang 36 tahun. Karena itu mudah dipahami jika banyak pihak menilai bahwa tokoh NU yang lahir 19 Desember 1949 itu merupakan salah satu tokoh BIN terbaik di negeri ini.

Di NU, Kiai As’ad Ali identik dengan kaderisasi, terutama Pendidikan Kader Penggerak Nahdhaltul Ulama (PKPNU). Namun, ia mengklarifikasi. Menurut dia, PKPNU berawal dari keputusan pleno PBNU di Jogjakarta.

Tapi, program pengkaderan itu tak jalan karena tak ada yang menangani terutama karena faktor dana. Maklum, untuk kegiatan itu butuh Rp 300 juta pada gelombang pertama. Akhirnya Kiai As’ad terjun langsung.

Tidak salah jika memang sebagian sesepuh NU seperti Kiai Malik Madani juga mendukung Kiai As’ad Ali maju sebagai calon Ketum PBNU.

Penulis Wartawan FNN.co.id

 

 

648

Related Post