Upaya Penundaan Pemilu dan Rezim Fatigue

Jakarta, FNN – Sepertinya, upaya penundaan pemilu tak pernah berhenti dilakukan oleh rezim Jokowi. Setelah berbagai upaya penundaan pemilu melalui fasilitas normal tak berhasil dilakukan, kini persiapan-persiapan penundaan pemilu di antaranya dilakukan dengan upaya untuk mengkriminalisasi seseorang, membentuk koalisi besar yang diragukan keseriusannya, juga berganti-ganti mengendorse calon presiden. Kondisi-kondisi ini memungkinkan terjadinya badai di menit-menit terakhir pendaratan.

“Kalau badai hanya untuk rezim, kita justru bergembira karena kelihatannya rezim ini hanya bisa disapu oleh badai opini publik. Opini publik bisa tumbuh menjadi kekuatan sosial alternatif, kalau ada yang memimpin, menjadi semacam kontrol people power yang terkendali,” ujar Rocky Gerung dalam sebuah diskusi di Kanal You Tube Rocky Gerung Official edisi Kamis (13/4/23).

Menurut Rocky, upaya penundaan pemilu melalui fasilitas yang normal sudah tidak mungkin lagi dilakukan oleh rezim. Kalau rezim mencoba-coba menunda pemilu melalui lembaga-lembaga peradilan tidak bisa juga. Sepertinya sekarang masih diupayakan melalui sistem MPR. Oleh karena itu, nego antara beberapa tokoh elit dengan beberapa pakar kenegaraan tercium sedang berlangsung.

Dalam diskusi yang dipandu oleh Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, itu Rocky juga mengatakan bahwa rezim sekarang tidak punya kemampuan lagi mengendalikan chaos yang dia rencanakan  atau chaos untuk menunda pemilu. Karena apa pun yang ditetapkan menjadi alasannya, orang tidak akan percaya.

“Jadi, kelihatannya negara atau Presiden Jokowi kehilangan kemampuan untuk mengendalikan keadaan dan itu artinya dimungkinkan untuk bahkan mempercepat Pemilu sebetulnya,” ungkap Rocky.

Memang, tiba-tiba terjadi hal-hal yang tidak terduga seperti kasusnya 349 T dengan segala perdebatannya, kemudian sekarang juga muncul kekacauan di KPK yang tampaknya susah dikendalikan karena tetap terjadi ‘pertarungan’ yang nyata. Kondisi ini menggambarkan situasi di Indonesia saat ini.

“Jadi, bagian ini yang kita sering katakan bahwa awal dari pembusukan politik adalah yang disebut pembangkangan dari dalam,” ujarRocky.

Rocky mencontohkan bahwa di dalam KPK ada pembangkangan, terbukti bahwa ada yang membangkang pada Firli. Di dalam kabinet juga ada pembangkangan. Bagaimanapun, Mahfud juga membangkang sebetulnya, tapi masih pembangkangan yang lemah lembut, masih ada taktik. Demikian juga di dalam koalisi-koalisi, yang juga ada pembangkangan.

“Jadi, kelihatannya kerusakan institusi itu atau kerapuhan institusi itu yang akan mematahkan. Jadi, demokrasi bisa patah justru dari dalam,” tegas Rocky.

Protes dari luar juga sudah mulai terlihat, yaitu tekanan dari Amerika Serikat melalui empat senatornya. Itu hal yang serius. Jadi, menurut Rokcy, kelihatannya keretakan itu tidak bisa lagi sekedar ditempel menggunakan aibon.

“Jadi memang sudah ada yang disebut rezim fatigue, kelelahan-kelelahan rezim. Nah, itu harus dilakukan radikal break dan (sekarang) ini sedang menuju pada titik kulminasi itu,” kata Rocky.(sof)

563

Related Post