What's In a Name? Tapi Nama Jangan Dikorting
Oleh Ridwan Saidi - Budayawan
Saat jaman Orde Lama ada anjuran bagi WNI Tionghoa untuk ganti nama, seniman panggung dan film Tan Tjeng Bok, juga econom Kwik Kian Gie tidak ganti nama. Juga beberapa orang bekend yang lain.
Tan Tjeng Bok humoris. Ia kelahiran Jakarta Buay, Cengkareng, yang kini dikenal dengan Rawa BuayA. Buay bahasa Tagalog. Mungkin migran Philipine rayonisasinya di Buay.
Apalah artinya nama, kata Shakespeare. Di Jakarta ganti nama mesti sedekahan bubur merah bubur putih. Kalau korting nama? Tergantung konteksnya. Dalam keresmian administrasi negara nama seseorang harus disebut lengkap. Seperti untuk dokumen resmi nama, dan kalau diperlukan bin, harus disebut lengkap.
Nitisemito, Mangunsarkoro, Sastroamijoyo lazimnya bukan nama yang berdiri sendiri, biasanya ada nama depannya. Mirip family name. Purbotjaroko itu nama yang berdiri sendiri. R. M. Ng Purbotjaroko, begitu mahaguru ini menulis namanya. Kita harus menyebut, atau menulis, nama secara lengkap, dalam event resmi, sebagaimana orang itu menuliskannya.
Fulan bin Fulan sebutan untuk orang yang tidak diketahui namanya. Fulan bin Fulan ungkapan dalam obrolan Betawi, bukan di depan petugas pencatat pernikahan yang sejak diberlakukannya Ordonantie Kawin Bertjatat jaman Belanda sudah melekat mandat pada dirinya sebagai mewakili gemeente, pemerintah. Karena itu menyebut nama subjek mesti lengkap karena menyangkut juga hukum waris, bukan semata hukum munakahat.
Sejak era goa hingga pembentukan peradaban 3000 tahun lalu nenek moyang Indonesia tidak memberi nama pada alat-alat kelamin. Nama-nama yang disebut sementara masyarakat adalah bahasa resapan dari luar. Goa tempat mereka berhuni diberi nama, misal goa Leang-Leang, SulSel, Liang Bo, Jakarta. Tak tertutup kemungkinan sejak era cave life nama untuk orang sudah ada.
Nama itu, administratif dan sosiologis, segalanya. (RSaidi)