Yang Devide Et Impera Presiden Jokowi, Bukan Prabowo

Prabowo Subianto dan Budiman Sudjatmiko

Jakarta, FNNBudiman Sudjatmiko, politisi PDI Perjuangan, telah memutuskan langkah politiknya dengan mendukung Prabowo Subianto di Pilpres 2024 dan rela dipecat oleh PDIP. Terkait dukungan Budiman Sudjatmiko  kepada capres Prabowo Subianto ini, Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, angkat bicara. Hasto mengatakan bahwa tindakan kubu Prabowo Subianto membajak Budiman Sudjatmiko merupakan tindakan politik devide et impera'memecah belah'.

Menanggapi hal tersebut, Rocky Gerung dalam diskusi bersama Hersubeno Arief di kanal You Tube Rocky Gerung Official edisi Seni  (21/8/23) berkomentar, “Yang devide et impera itu justru Presiden Jokowi, karena dia yang membelah partai-partai ini, siapa yang mau dinaikin di belakang, siapa yang disuruh nyupir, kan itu pesan majalah Tempo kan.”

Sebetulnya, lanjut Rocky, PDIP jujur saja. Kalau mau berkelahi dengan Presiden Jokowi, segera lakukan secara habis-habisan, jangan menuduh partai lain yang devide et impera. Devide et impera  adalah satu kekuasaan yang membelah persekutuan-persekutuan politik.

“Ya nggak mungkin Prabowo membelah dengan kemampuan yang terbatas. Yang mampu membelah melakukan devide et impera adalah seseorang yang ada di Puncak. Yang di puncak ya Presiden Jokowi,” tegas Rocky.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa tudingan PDIP salah alamat. Yang menjadi pertanya, mengapa yang ditembak PDIP selalu Prabowo. Ditanya hal itu Rocky menjawab, “Iya, seolah-olah PDIP merasa bahwa cinta Jokowi itu masih bisa balik ke Ganjar. Tidak ada itu. Kan sudah disiapin semacam paket hemat buat PDIP, dan paket hematnya itu ternyata tidak berhasil. Kan Ganjar makin lama makin hemat elektabilitasnya, itu masalahnya.”

Rocky juga mengatakan bahwa perintah-perintah yang diucapkan Jokowi terbaca dalam proses politik, walaupun dalam pidato kenegaraan Presiden Jokowi mengatakan bahwa dirinya tidak cawe-cawe, tidak ikut campur. Jokowi memang selalu mengatakan tidak ikut capmur, tetapi selalu melakukan yang terbalik. Kita selalu membaca otak politik Jokowi yang selalu terbalik. Misalnya, Jokowi mengatakan bahwa dia tidak ikut campur, artinya sedang ikut campur. Kira-kira begitu, kata Rocky.

“Jadi nggak ada gunanya kemarin. Pidato kenegaraan itu harusnya diwujudkan melalui kalimat-kalimat visioner, mengevaluasi keadaan, lalu memprediksikan ke depan. Tapi Jokowi mengambil sensasi dengan mulai curhat-curhat. Akibatnya, tidak ada lagi yang memperhatikan isi pidatonya apa sebetulnya. Yang dibahas orang adalah cawe-cawenya Jokowi, curcolnya Jokowi, sama pagelaran baju adat itu, yang sebetulnya bukan inti dari pidato kenegaraan. Jadi, statementshipnya itu, kenegarawanannya hilang karena dia masuk dalam politik yang dangkal,” ungkap Rocky.

Majalah Tempo edisi terbaru menunjukkan bahwa mereka paham apa yang sebetulnya disembunyikan oleh Jokowi. Menurut Rocky, semua yang menganalisis politik Indonesia dari awal tahu bahwa Jokowi menginginkan terjadinya pembelahan politik supaya bisa dia kendalikan. Nah, PDIP masuk dalam jebakan itu. Lalu PDIP berupaya untuk membela bahwa ini bukan kerjaan Jokowi. Lalu pekerjaan siapa? Jika PDIP mengatakan kerjaan Praboowo, berarti Prabowo di atas Jokowi. Itu hal yang tidak mungkin.

“Jadi, kita mau baca pesannya Hasto ini yang selalu keliru dan memang kemampuan PDIP untuk mengantisipasi bahkan memitigasi kesalahan dia sendiri itu, makin lama makin terbatas. Jadi, ngeyelnya PDIP itu dibaca oleh Jokowi sebagai anak kecil minta permen lagi,” ujar Rocky.

Menurut Rocky, dengan mengatakan Prabowo melakukan politik devide et impera, logikanya Hasto juga melakukan politik devide at impera antara Prabowo dan Jokowi.

“Jadi, dia nggak mampu manuvering lagi, maka dia menyebar isu baru supaya orang merasa bahwa Jokowi sebetulnya ada di dalam genggaman PDIP, tapi gara-gara Prabowo dia lepas dari PDIP. Kan itu sinyal yang mau diucapkan oleh Hasto,” ujar Rocky.

Dalam kondsi ini Prabowo tetap tenang. Mungkin Prabowo merasa bahwa semua kekuatan ada padanya. Jadi, apa pun yang diucapkan Hasto tidak mungkin melepaskan lagi Jokowi dari Gerindra, atau sebaliknya tidak mungkin melepaskan Prabowo dari Jokowi.

“Dari awal kita duga bahwa Jokowi pasti punya taktik yang dia simpan tuh. Dasarnya dendam pada ibu Mega. Kita nggak bisa bilang bahwa Jokowi nggak menyimpan dendam walaupun sudah berkali-kali ya separuh dilecehkanlah. Kan moral dia juga merasa bahwa dirinya juga bukan sekadar petugas partai, dia  dipilih oleh rakyat Indonesia,” ujar Rocky.

Menurut Rocky, hal itu timbul sebagai background psikologi dari Presiden Jokowi. Jadi, kemampuan Jokowi untuk menyimpan taktik terlambat dibaca oleh PDIP. Sekarang, PDIP berupaya untuk menghalangi lagi kimia yang udah terbentuk antara Jokowi dan Gerindra. Kimia di antara mereka sudah menyatu, jadi tidak mungkin lagi dipisahkan.(ida)

299

Related Post