muktamar-34

Muktamar-34: Muktamar NU Itu Bukan Pemilihan Presiden (5)

Oleh: Mochamad Toha KH Nadirsyah Hosen membuat tulisan dengan judul, “Muktamar NU Bukan Pilpres”. Tulisan Ketua PCI-NU Australia itu tersebar di grup WA warga NU. Menurutnya, Keputusan Munas NU untuk melaksanakan Muktamar ke-34 NU pada Desember 2021 membuat suasananya menjadi hangat. Muncullah nama-nama kandidat yang bertebaran di publik. Bagaimana sebaiknya menyikapinya? Ada dua posisi yang akan ditentukan dalam Muktamar-34, yaitu Rais Am pada level Syuriyah dan Ketua Umum pada level Tanfidziyah. Rais Am adalah pemimpin tertinggi NU. Biasanya diamanahkan kepada ulama sepuh yang ahli fiqh, yang mengayomi dan menjadi teladan sikap dan tutur katanya. Biasanya para ulama sepuh akan rebutan menolak posisi ini, karena sadar sepenuhnya betapa berat menempati maqam ini. Terkenal dialog para kiai sepuh yang saling menolak. Kiai As’ad (KH As’ad Syamsul Arifin) berkata, “Jikalau Malaikat Jibril turun dari langit meminta saya menjadi Rais Am, saya pun akan menolaknya”. Kiai As’ad kemudian mengusulkan Kiai Mahrus (KH Mahrus Aly). Pengasuh Ponpes Lirboyo ini juga menolaknya: “Jangankan Malaikat Jibril, kalaupun Malaikat Izrail turun dan memaksa saya, saya tetap tidak bersedia!” Akhirnya disepakatilah yang terpilih adalah KH Ali Maksum dari Krapyak, yang justru tidak hadir dalam pertemuan. Gus Mus (KH Mustofa Bisri) dari Rembang berkisah bagaimana seharian Gus Mus duduk bersimpuh tidak bergerak di luar kamar Kiai Ali Maksum menunggu kesediaan Sang Kiai. Pada akhirnya Sang Kiai keluar kamar menyetujui penunjukkan itu dengan berurai mata. Gus Mus terkena ‘karma’ peristiwa tersebut. Giliran beliau di Muktamar-33 Jombang yang terpilih oleh 9 Kiai sepuh (AHWA). Namun beda dengan gurunya, beliau malah tetap kukuh menolak, sehingga para ulama mengalihkan amanah itu kepada KH Ma’ruf Amin. Intinya adalah para ulama sepuh dan para Kiai dari jajaran Syuriah yang tahu siapa yang lebih pantas menjadi Rais Am. Akan terasa aneh kalau di luar itu ada yang sibuk dukung sana-sini seolah membenturkan para Kiai sepuh. Rais Am itu bukan sekadar pimpinan para ulama, tapi pemimpin spiritual dan faqih sekaligus. Posisi ini tidak untuk diperebutkan. Sebab, tidak ada kompetisi. Serahkan pada Kiai sepuh untuk menentukan dengan kearifan dan kejernihan para Kiai. Bagaimana dengan posisi Ketum Tanfidziyah? Karena usulan agar posisi ini juga dipilih AHWA telah ditolak di Munas, maka kemungkinan besar akan terjadi pemilihan dan kontestasi para kandidat merebut suara muktamirin. Namun demikian, spiritnya tetap harus sama. Sebagai pelaksana kebijakan para ulama Syuriyah, maka posisi Tanfidziyah tidak berdiri sendiri. Posisi ini adalah kepanjangan tangan para ulama. Posisi ini adalah pelayan ulama sekaligus pelayan umat. Ini juga bukan posisi yang main-main. Untuk itu, meski kelak pemilihannya berdasarkan voting dari suara wilayah dan cabang, tidak boleh ajang Muktamar seolah menjadi gelaran pilpres di mana incumbent berkontestasi dengan penantangnya. “Para kandidat tidak perlu mengerahkan timses atau buzzer di medsos,” ujar Kiai Nadirsyah Hosen. Na’udzubillah. Mau jadi pelayan ulama dan umat saja kok rebutan? Menurutnya, para kandidat juga tidak perlu sahut-sahutan di media. Jangan mau digoreng sana-sini dan diframing macam-macam, seperti layaknya Pilpres. “Marwah Muktamar NU harus dijaga,” tegasnya. Warga Nahdliyin juga jangan mau dibuat polarisasi mendukung kandidat A dan menolak kandidat B. Atau sebaliknya. Kiai Nadirsyah Hosen menyebut, boleh dukung tapi jangan mutung. “Biasanya di NU itu yang kepengen banget malah gak jadi. Adab harus dijaga. Kedepankan maslahat, bukan muslihat. Mari kita buat suasana adem,” lanjutnya. Mari kita menuju Muktamar dengan gembira dan penuh persaudaraan. Siapa tahu kelak Malaikat Jibril dan Izrail pun bergumam: “Tanpa perlu kami turun ke arena Muktamar pun, suasana Muktamar sudah sejuk dan muktamirin memilih yang terbaik.” Insya Allah bi idznillah. Muktamar Sogokan? KH Luthfi Bashori mengatakan, kabar burung hingga sampai ke telinganya, pada Muktamar NU yang bakal digelar di Lampung tahun ini, juga tak lepas dari adanya praktek sogok-menyogok, seperti yang terjadi pada muktamar Makassar dan Jombang. Sejumlah calon Ketua PBNU yang sengaja diviralkan namanya di tengah masyarakat, berusaha akan mempengaruhi atau bahkan sudah ada yang menggelontorkan sejumlah dana kepada calon para peserta muktamar. “Yaitu, kalangan yang mempunyai hak pilih pada momentum pemilihan ketua umum PBNU ke depan,” ujar Kiai Luthfi Basori, Syuriah MWC NU Singosari, Kabupaten Malang ini. Masih dalam lingkaran kabar burung, kini ada calon ketua umum yang menjadi sahabat Israel, maka ia pun mendapat dana besar dari Yahudi Israel, yang akan dipergunakannya membiayai pencalonan dirinya, demi mendapatkan jabatan ketua umum PBNU. Menurut Gus Luthfi, panggilan akrab Kiai Luthfi Basori, ada juga calon ketua umum yang telah menggaet 9 Naga dan konglomerat hitam China untuk membiayai pencalonan dirinya dalam muktamar nanti. Tak pelak persaingan ‘bos asuh’ ini pun terjadi, hingga isu-isu pun mencuat di kalangan warga nahdliyyin, bahwa calon A kini tengah berseteru dengan calon B, padahal semula mereka itu satu tim, “Tapi karena adanya sumber dana dan kepentingan yang berbeda, maka terjadi persaingan yang tidak sehat,” tegas Kiai Luthfi Bashori dari Malang. Siapakah pihak yang sangat potensi berdosa ‘memakan’ uang sogokan di muktamar tersebut? Tentunya para calon pemilih yang tidak memiliki sifat amanah dan wara’ dalam mengemban kewajiban berorganisasi. Calon pemilih yang tidak dapat memilah mana dana yang halal dan mana yang haram. Calon pemilih yang mudah dirayu oleh setan, hingga tidak memiliki rasa takut ancaman siksa akhirat. Sabda Rasulullah SAW: “Ada tiga perkara, barang siapa ketiganya berada dalam dirinya, ia pasti mendapat pahala dan keimanan yang sempurna, yaitu: akhlak baik yang disandangnya dalam kehidupan bermasyarakat; sifat wara’ (berhati-hati) yang mencegahnya dari hal-hal yang diharamkan Allah SWT; dan sifat penyantun yang membuatnya memaafkan kebodohan orang yang jail terhadap dirinya.” HR. Al-Bazzar melalui Sayyidina Anas RA Gus Luthfi menjelaskan,wara’ yang dimaksud adalah sifat menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat (hukumnya samar-samar), apalagi terhadap hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Padahal urusan sogok menyogok itu sangat jelas sekali diharamkan dalam syariat, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: "Yang menyogok dan yang disogok itu akan masuk neraka." (HR. Imam Ath-Thabrani). (Selesai) Penulis Wartawan FNN.co.id

Muktamar-34: Yahya Staquf Mulai “Diserang” Soal ke Israel (4)

Oleh: Mochamad Toha Usai melaporkan persiapan Muktamar ke-34 NU, 23-25 Desember 2021, di Lampung dan mengundang Presiden Joko Widodo untuk membuka gelaran itu, Ketum PBNU Said Aqil Sirodj, tiba-tiba menyinggung soal Israel. Said Aqil menyebut Israel tak layak dikunjungi karena menjajah Palestina. Ucapan Said Aqil yang tiba-tiba itu memantik pertanyaan apakah ini untuk menyinggung Yahya Staquf yang pernah mengunjungi Israel. Kepada wartawan, Rabu (6/10/2021), Said Aqil mengungkap, NU sempat ditawari untuk berkunjung ke Israel dua tahun lalu. Namun, tawaran itu ditolaknya atas alasan Israel yang tidak mau mengakui Palestina. “Masalah kemandirian bahwa kita sama-sama NU dan presiden juga sama berpendapat menjaga kemandirian jangan sampai kita terpengaruh oleh kepentingan luar,” kata Said Aqil. “Sikap Indonesia terhadap Palestina tetap jelas, keberpihakan ke Palestina. Selama Israel tidak mengakui negara Palestina, maka Indonesia tidak akan mengakui negara Israel secara politik,” lanjut Said Aqil. “Ibu Retno (Menteri Luar Negeri) pun seperti itu, selalu mengatakan seperti itu,” ungkap Said Aqil kepada wartawan seusai bertemu Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Rabu (6/10/2021). Ia mengaku, dulu pendapatnya juga begitu waktu dua tahun yang lalu, NU ditawari berkunjung ke Israel, “Saya tolak selama Israel belum mengakui Palestina, tidak akan pernah, kalau sudah saling mengakui ayo,” ujarnya. Dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi, Said Aqil melaporkan soal hasil Munas dan Konbes NU yang menyepakati Muktamar NU akan digelar pada Desember 2021. Jokowi sempat bertanya ke Said Aqil mengenai pelaksanaan Muktamar NU yang berpotensi melibatkan banyak orang. Ia menegaskan, pelaksanaan Muktamar NU harus mendapatkan izin dari Satgas Covid-19. Said Aqil mengaku diminta lagi menjadi Ketum PBNU oleh sejumlah kiai. Meski begitu, dia mempersilakan kader-kader NU lain untuk berkompetisi. “Pokoknya silakan kompetisi kader-kader NU yang mau maju, silakan maju beberapa kiai sepuh antara lain Tuan Guru Turmudzi Lombok, Kiai Hasan Cirebon, Kiai Muhtadi Banten meminta kepada saya agar maju lagi, kiai-kiai sepuh dan beberapa teman,” ujar Said Aqil. Meski belum secara resmi mendeklarasikan diri untuk maju menjadi Ketum PBNU, Said Aqil menyatakan siap jika banyak diminta oleh sejumlah pihak. Sebagai kader, Said Aqil mengatakan harus selalu siap. “Kalau banyak permintaan ya saya siap dong, yang namanya kader kalau sudah banyak permintaan, siap. Walaupun sampai sekarang saya belum declare secara resmi, tapi permintaan sudah sangat banyak,” ujarnya. Yahya Staquf yang juga calon kuat Ketum PBNU pernah menghadiri acara di Israel. Dia menjadi pembicara di forum American Jewish Committee (AJC) Global Forum di Israel yang dihadiri 2.400 orang. Dia kemudian memberi kuliah umum di The Truman Institute di Israel pada Rabu (13/6/2018). Setelah itu, Yahya Staquf juga bertemu dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Yahya Staquf mengungkap, sedang melakukan upaya memperkuat gerakan perdamaian lewat kunjungannya itu. “Upaya saya ini mengajak atau memperkuat gerakan perdamaian di tingkat akar rumput di masyarakat menjadi konsensus sosial. Semua orang mau perdamaian,” kata Yahya Staquf, Kamis (21/6/2018). Ketika menjadi pembicara dalam forum American Jewish Committee (AJC) di Israel, Yahya Staquf berbicara soal jalan rahmah atau kasih sayang dengan mengajak dunia memilih jalan tersebut. Menurutnya, kalau ini menjadi konsensus sosial, aspirasi fundamental dari seluruh masyarakat, “maka kita harapkan ini akan menjadi penentu dari perilaku pemerintahnya dalam pergaulan internasional,” tuturnya. Yahya Staquf juga bicara dalam sesi lain dengan jumlah peserta yang lebih sedikit. Menurutnya, dalam kunjungannya ke Israel tersebu intinya adalah mengajak orang mengubah pola pikir. Ia juga katakan kepada teman-teman Yahudi di sana, bukan hanya mindset umat Islam yang harus berubah, mindset Yahudi harus berubah, mindset pemerintah Israel juga harus berubah. “Jika tidak berubah, tidak akan ada gunanya,” tutur Yahya Staquf. Apakah pernyataan Said Aqil yang menyial kunjungan ke Israel itu ditujukan pada Yahya Staquf, hanya Said Aqil yang tahu, selain Allah dan Malaikat. Diakui Ketua PWNU DKI Jakarta Syamsul Maarif, saat ini calon kuat Ketum PBNU adalah Said Aqil Sirodj dan Yahya Cholil Staquf. “Ada dua calon yang sudah menguat, satu Kiai Said Aqil Sirodj sebagai incumbent,” katanya. “Kalau Yahya Staquf itu memang sudah declare, tetapi kalau Kiai Said siap maju karena diminta oleh banyak wilayah. Dia dianggap membawa NU lebih bagus, terutama di dunia pendidikan,” lanjutnya, Jumat (1/10/2021). Lawatan Yahya Staquf yang saat itu menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) memicu kontroversi. Setidaknya dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri MUI Muhyiddin Junaidi mengatakan, lawatan Anggota Wantimpres Yahya Staquf ke Israel ketika itu melanggar etika diplomasi, konstitusi, dan aspek hubungan sosial keagamaan. Yahya Staquf datang ke Israel untuk menghadiri konferensi tahunan Forum Global AJC (Komite Yahudi Amerika) yang digelar di Yerusalem selama 10-13 Juni 2018. Itulah kali pertama Forum Global AJC yang dilakukan di luar Amerika sejak lembaga advokasi Yahudi ini berdiri 112 tahun lalu. Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pernah menghadiri acara serupa yang dilangsungkan pada 2002 di Ibu Kota Washington DC, Amerika Serikat. Dari sisi konstitusi dan politik internasional, lanjut Muhyidddin, Indonesia memiliki sikap tegas, yakni tidak mengakui kedaulatan Israel sampai Israel mengakui kemerdekaan Palestina. Bahkan salah satu hasil Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Konferensi Islam (OKI) mengenai Yerusalem yang digelar di Jakarta pada 2016, adalah memboikot barang-barang dari Israel. Apalagi, Muhyiddin menegaskan, Israel adalah satu-satunya negara yang tidak mau tunduk terhadap resolusi yang dikeluarkan Majelis Umum dan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). "Jadi kami melihat kunjungan ini sangat merusak citra Indonesia di dunia internasional. Karena, kunjungan itu justru merusak hubungan bilateral Indonesia dengan Palestina, dan hubungan Indonesia dengan negara Arab lainnya," tandasnya. Ditambah, kunjungan Yahya Staquf itu terjadi saat pasukan Israel gencar membunuhi demonstran Palestina di sepanjang perbatasan Jalur Gaza – Israel, yang menewaskan 139 orang tewas dan 10 ribu lainnya cedera. Muhyiddin menegaskan sebagai anggota Wantimpres, Yahya Staquf mesti memahami dirinya tidak bisa memenuhi undangan ke Israel. Atau berpikir dengan sekali kunjungan bisa menyelesaikan konflik Israel – Palestina. Tiga negara berpenduduk mayoritas muslim – Mesir, Yordania, dan Turki – yang telah membina hubungan diplomatik dengan Israel saja sampai saat ini belum mampu mewujudkan negara Palestina merdeka dan berdaulat dengan ibu kotanya di Yerusalem Timur. Maukah warga Nahdliyin nantinya dipimpin Yahya Staquf yang mengakui negara Israel? Semua tergantung utusan Nahdliyin. (Bersambung) Penulis adalah Wartawan FNN.co.id

Muktamar-34: Secara Etika, Muhaimin Masih “Bermasalah” (3)

Oleh: Mochamad Toha Seperti yang sempat disinggung dalam tulisan sebelumnya, Calon Ketum PBNU terkuat menjadi Ketum PBNU diantaranya adalah Abdul Muhaimin Iskandar, Yahya Cholil Staquf, dan Said Aqil Siradj. Mereka memang mempunyai kekuatan dari sisi finansial, kekuasaan, dan jabatan. Tetapi, belum memenuhi atau setidaknya belum memiliki konsep yang jelas bagaimana menata arah NU agar kembali ke khittahnya. Said Aqil Siradj alias SAS sudah jelas kiprahnya selama jadi Ketum PBNU. Berbagai manuver politik telah mewarnai saat memimpin warga Nahdliyin. SAS lebih banyak diam meski melihat rakyat tergencet ekonominya. Dia tampak lebih bangga saat NU menerima “hibah” lahan 10 ha di daerah Jonggol yang sebenarnya status hukumnya masih belum jelas, dan sedang “bermasalah” dengan rakyat terkait PT Sentul City Tbk. Siapapun yang terpilih menjadi Ketum PBNU diantara Ketum DPP PKB dan Katib Aam PBNU, SAS masih berpeluang menjadi Rois Syuriah PBNU. Baik Muhaimin atau Yahya yang terpilih, SAS bisa jadi Rois Syuriah. Bagaimana peluang Muhaimin alias Imin dan Yahya? Menurut informasi dari beberapa PWNU, sepertinya dalam hal ini Imin yang paling siap untuk mengkondisikan PWNU dan PCNU. Karena Imin mengerahkan seluruh pengurus PKB Kabupaten/Kota seluruh Indonesia untuk melakukan pendekatan kepada pengurus PWNU/PCNU di seluruh Indonesia. Sedekar mengingat saja, Muktamar ke-33 NU di Jombang, dinilai sebagian ulama, style atau gayanya sudah seperti Muktamarnya PKB. Karena ketua panitianya Saifullah Yusuf yang saat itu menjabat Wagub Jatim. “Muktamar NU di Jombang adalah Muktamar NU yang paling buruk/parah sepanjang digelarnya Muktamar NU. Di sanalah terjadinya money politic, premanisme, dan lain-lain,” kata seorang ulama NU. Sebelumnya, Ketua Panitia Pengarah Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (NU) KH Ahmad Ishomuddin menyampaikan Muktamar ke-34 NU bakal diselenggarakan pada 23-25 Desember 2021 di Lampung. Kesepakatan itu diputuskan Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah pada Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama yang menghasilkan 9 kesepakatan, salah satunya soal jadwal Muktamar NU Lampung. Dia menyebut forum itu juga menyepakati, untuk pemilihan Ketum PBNU dilakukan melalui pemungutan suara one man one vote, sedangkan untuk Rais Aam PBNU dilakukan secara perwakilan (ahlul halli wal aqdi). “Persis seperti Muktamar Ke-33 NU di Jombang,” kata Kiai Ishomuddin dalam konferensi pers secara virtual di Gedung PBNU, Jakarta, Ahad (26/9/2021). Yang juga perlu jadi pertimbangan lainnya sebelum menentukan pilihan diantara Imin dan Yahya adalah apakah mereka clean and clear selama menjabat di organisasi politik atau keagamaan. Ini bisa dilihat dari jejak digital Imin dan Yahya. Untuk lebih jelasnya, kita lihat satu per satu saja. Supaya lebih teliti dan cermat lagi. Bagaimana Imin bisa meraih jabatannya sebagai Ketum PKB. Imin memperoleh jabatan Ketum PKB dengan jalan “tidak terpuji”, yakni memunculkan konflik terlebih dahulu di internal parpol. Hingga menjelang wafatnya KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Imin sebenarnya masih “bermasalah” dengan keluarga Presiden RI ke-4 tersebut terkait konflik internal di PKB yang dibidani Gus Dur. Jejak digital banyak mencatat konflik tersebut. DetikNews pada Selasa, 8 April 2014, menulis, “Konflik dengan Muhaimin Terjadi Sampai Gus Dur Wafat”. Pihak keluarga menyebut, konflik antara Gus Dur dengan Imin itu benar-benar terjadi. Bahkan perseteruan itu berlangsung hingga Gus Dur wafat. Konflik itu ada sampai Gus Dur wafat. “Itu pernyataan (kubu Imin) direkayasa, diada-ada, keji, baik kepada Gus Dur, keluarga dan Gusdurian,” kata pengacara keluarga Gus Dur, Pasang Haro Rajagukguk, saat menggelar jumpa pers di Jalan Kuningan Timur No 12, Jakarta Selatan, Selasa (8/4/2014). Pasang Haro membeberkan rentetan konflik tersebut. Konflik pertama, saa Muktamar di Parung, Jabar, Imin membuat muktamar tandingan di Ancol dengan kepengurusan sendiri. Setelah itu, terjadi saling menggugat, sampai akhirnya Mahkamah Agung membatalkan kedua muktamar dan dikembalikan kepada hasil muktamar Surabaya pada 2005. “Tapi, kenyataannya Imin tidak melibatkan Gus Dur bahkan disingkirkan dan ditekan,” ungkap Pasang Haro. Pada saat putusan PTUN, muncullah pernyataan dari kelompok Imin bahwa Gus Dur meninggalkan PKB. “Itu menyakitkan. Setelah itu (Gus Dur) terjatuh dan pingsan di kamar mandi, sampai masuk rumah sakit berkali-kali,” ujar Pasang Haro. Pada pemilu 2009, kubu Imin memanfaatkan kebesaran dan ketokohan Gus Dur dengan memajang simbol Gus Dur di baliho. Saat itu Gus Dur menggugat dan dilupakan. Pada 2014, kata Pasang Haro, keluarga Gus Dur sudah mengultimatum PKB Imin untuk tidak memasang apapun tentang Gus Dur seperti foto dan suara. Tapi, pihak Imin tetap menggunakan simbol-simbol Gus Dur dalam setiap kampanye PKB. Istri alhamhum Gus Dur Ibu Sinta Nuriyah dan keluarga melalui pengacaranya pun melaporkan Imin ke Bawaslu. “Inti instruksi Gus Dur itu, Imin dan jajaran supaya tidak menggunakan atribut Gus Dur tanpa izinnya,” tegas Pasang Haro. Jadi, itulah “masalah” sebenarnya yang masih menyertai Imin hingga kini. Imin masih “berkonflik” dengan keluarga Gus Dur. Jadi, raihan jabatannya itu diperoleh melalui konflik internal PKB. Tak hanya itu. Terkait dengan korupsi yang melibatkan anggota PKB, Imin juga diperiksa KPK sebagai saksi kasus dugaan suap proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Tujuannya untuk melengkapi berkas penyidikan dengan tersangka Direktur dan Komisaris PT Sharleen Raya (JECO Group), Hong Arta John Alfred. Dia datang untuk memenuhi panggilan sebagai saksi dari Hong Artha. “Mestinya diagendakan besok tapi karena besok saya ada acara, saya minta maju dan alhamdulillah selesai semuanya sudah saya beri penjelasan ya selesai,” katanya usai diperiksa KPK, dilansirVIVAnews, Rabu (29/1/2021). Dikonfirmasi materi pemeriksaan, Imin enggan membeberkannya. Ia cuma membantah pernah menerima uang suap dalam proyek tersebut. “Tidak benar,” kata Wakil Ketua DPR itu. Upaya KPK memanggil dan memeriksa Imin berkaitan dengan permohonan Justice Collaborator yang diajukan mantan politikus PKB Musa Zainuddin pada Juli 2019. Musa menganggap dirinya bukanlah pelaku utama dalam kasus korupsi proyek infrastruktur di Kementerian PUPR. Ia mengaku hanya menjalankan perintah partai. Sebelumnya, KPK menolak permohonan JC yang diajukan Musa Zainuddin. Menurut KPK, Musa belum memenuhi syarat menjadi saksi pelaku yang bekerja sama untuk membongkar kasus hukum. Meski demikian, KPK mempersilakan bila Musa ingin kembali mengajukan JC. Pihak lembaga antirasuah itu mengatakan Musa mesti membuka peran pihak lain dengan lebih terang. Musa dihukum 9 tahun penjara karena terbukti menerima suap Rp 7 miliar untuk meloloskan proyek infrastruktur Kementerian PUPR di Maluku dan Maluku Utara tahun anggaran 2016. Uang itu berasal dari Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir. Dari penjara, mantan Anggota Komisi Infrastruktur DPR ini mengirimkan surat permohonan JC ke KPK pada akhir Juli 2019. Dalam surat itu, Musa mengaku bahwa duit yang ia terima tak dinikmati sendiri. Sebagian besar duit itu, kata dia, diserahkan kepada Sekretaris Fraksi PKB kala itu, Jazilul Fawaid sejumlah Rp 6 miliar. Musa menyerahkan uang itu di kompleks rumah dinas anggota DPR kepada Jazilul. Setelah menyerahkan uang pada Jazilul, Musa langsung menelepon Ketua Fraksi PKB Helmy Faishal Zaini. Ia meminta Helmy menyampaikan pesan kepada Imin bahwa uang Rp 6 miliar sudah diserahkan lewat Jazilul. Keterangan ini tak pernah diungkap di persidangan. Ia mengaku memang menutupi peran para koleganya karena menerima instruksi dua petinggi partai. Dua petinggi partai ini mengatakan, Imin berpesan agar kasus itu berhenti di Musa. “Saya diminta berbohong dengan tidak mengungkap peristiwa sebenarnya,” kata Musa. (Bersambung)

Muktamar-34: Refleksi Gerak Organisatoris NU sebagai Jam’iyyah (2)

Oleh: Mochamad Toha KH Agus Solachul Aam Wahib Wahab alias Gus Aam, Ketum KKNU 1926/ NU Khittah 1926. Dhurriyat Hadratush Syech Mbah KH. Wahab Chasbullah ini merefleksi gerak organisatoris NU. Yakni, refleksi gerak organisatoris NU sebagai jam'iyyah yang mengemban misi melayani umat. Sebagaimana diketahui dan dipahami bersama bahwa NU adalah Jam' iyyatu Adlin Wa Amaanin, wa Islahin, dan Wa Ihsaanin. Menurutnya, NU adalah institusi yang bergerak didasarkan pada Pola Pikir, Pola Sikap, dan Perilaku yang berlandaskan kepada Nilai Kebenaran dan Keadilan, memperjuangkan Nilai-Nilai Keagamaan, Sistem Kebangsaan. Sistem Kemasyarakatan yang didasarkan kepada Nilai-Nilai Kebenaran dan Keadilan sesuai Muqadimah Qanun Assasi Hadratus Syech KH Hasyim Asy'ari, Pendiri NU. “Karena itu, setiap gerak organisasi NU wajib didasarkan pada kesadaran dan keinsyafan sebagai jam'iyyah yang mengemban amanah dakwah serta menjunjung tinggi ajaran,” ungkap Gus Aam. Ajaran atau paham ahlussunnah wal jama'ah sekaligus menjadikan Qanun Asasi NU sebagai rujukan aktivitas organisasi, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: Pertama, Sistim Politik yang dibawa oleh NU yaitu Politik Kebangsaan dan Politik Kerakyatan yang mengarah pada tegaknya Kebenaran dan Keadilan dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai NKRI. “Inilah pondasi yang paling penting untuk membangun pilar pergerakan, sebagaimana dicanangkan oleh para pendiri NU,” lanjut Gus Aam. Seiring dengan dinamika politik di Indonesia yang tidak menguntungkan dalam proses demokrasi dan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, ternyata PBNU ikut terjebak dengan dinamika politik praktis dan pragmatis, terseret jauh kedalam kubangan politik praktis yang tidak menentu. Keadaan tersebut sangat merugikan jam'iyyah dan mengaburkan orientasi dakwah dan pelayanan terhadap umat sebagai tujuan utama dan penting yang menjadi bagian dari misi NU. Hal itu diperparah lagi dengan beberapa pernyataan Ketum PBNU KH Said Aqil Siradj yang tidak konsisten, yang justru seringkali membingungkan, mengecewakan, meruntuhkan marwah dan wibawa jam'iyyah. Serta berdampak pada stigma negatif di kalangan masyarakat pada institusi NU yang pada akhirnya menyakiti hati umat Islam dan berimplikasi kepada rapuhnya Ukhuwah Islamiyyah. Kedua, sikap dan kebijakan PBNU yang dibangun dengan sistem politik praktis mengacu pada (Ashabul Qorror) daripada Ashabul Haq Wal Adl itu, akhirnya PBNU mengalami disorientasi gerakan. “Lebih ingin menguasai umat dan bukan melayani umat. Hal demikian, tentulah sangat bertentangan dengan nilai-nilai khittah NU,” ungkap Gus Aam. Ketiga, Kebijakan lainnya yang sangat menyesatkan adalah bahwa khittah NU Mutaghoyyir Conditioning (sesuatu yang dapat berubah-ubah sesuai perkembangan) menyebabkan NU terjebak ke dalam arus pragmatisme dan materialisme. “Padahal Khittah NU itu adalah Tsabit/final yakni hanya berorientasi pada pencapaian ridlo Allah SWT,” lanjut Gus Aam. Akibatnya Gerakan NU dalam menegakkan ashabul haq wal adl (kebenaran dan keadilan) kurang tajam, tidak menggigit. Dan, bahkan bergeser kepada ashabul qorror. Selain menyebabkan terjadinya disorientasi, keadaan ini juga menimbulkan disharmoni dan disintegrasi di internal NU. “Tiga hal itulah, yang sekarang ini sedang dan terus terjadi dalam tubuh PBNU,” ujar Gus Aam. Dengan demikian untuk menjawab aspirasi jam' iyyatu adlin wa amaanin wa islahin dan wa ihsaanin diperlukan sosok figur yang dapat menjadi panutan dan suri tauladan sebagai simbol Kader NU. Serta memiliki visi kongkrit untuk mengatasi problem NU kini dan masa mendatang. “Dan bertanggung jawab serta kompeten dalam memimpin institusi NU,” lanjut Gus Aam. Hingga saat ini calon yang bakal maju Calon Ketum PBNU terkuat menjadi Ketum PBNU diantaranya adalah Abdul Muhaimin Iskandar, Yahya Cholil Staquf, dan Said Aqil Siradj. Gus Aam mengakui, ketiga Caketum PBNU tersebut memang mempunyai kekuatan dari sisi finansial, kekuasaan, dan jabatan. Tapi, mereka belum memenuhi atau setidaknya belum memiliki konsep yang jelas bagaimana menata arah NU agar kembali ke khittahnya. Oleh karena itu, sebagai salah satu cucu Pendiri, Inisiator, dan Penggerak NU, KH Wahab Chasbullah dan sebagai Ketum KKNU 1926/NU Khittah 1926, Gus Aam sangat berharap semoga di Muktamar NU Desember 2021 ini dapat mengadopsi kriteria Caketum PBNU yang dapat memungkinkan tercapainya tujuan NU, yaitu: Bersih (Clean); tidak pernah punya “dosa” masa lalu, terutama berkaitan dengan kasus-kasus dugaan korupsi yang hingga kini masih menggantung hingga kini. Tujuannya untuk dijadikan “sandera”. Memiliki visi politik yang merekatkan umat, menjadikan NU sebagai ormas yang juga mengayomi seluruh elemen pergerakan Islam, sekaligus terdepan dalam merajut ukhuwah Islamiyyah. Mampu menempatkan relasi kekuasaan dan organisasi, menjaga marwah jam'iyyah, serta mampu mengakselerasi aktivitas politik yang bertujuan pada penegakkan ashabul haq wal adl (Kebenaran dan Keadilan). Harus mempunyai target kinerja yang riil dan kongkrit. Misalnya: Berapa banyak Rumah Sakit yang akan didirikan; Berapa banyak universitas yang akan didirikan; Berapa banyak sekolah-sekolah/pondok pesantren yang akan didirikan; Berapa banyak pasar yang akan didirikan; Berapa banyak Koperasi yang akan didirikan; Berapa banyak Panti Asuhan yang akan didirikan. Harus mempunyai kompetensi dalam me-manage seluruh potensi SDM, SDA, dan Market yang ada di pondok pesantren dan masyarakat. Berilmu dan mengerti, memahami, dan sanggup melaksanakan ajaran atau paham ahlussunnah wal jama'ah, sanggup dan mampu membentengi ahlus sunnah wal jama'ah. Menurut Gus Aam, semua kriteria yang ditetapkan tersebut, intinya adalah dalam rangka merealisasikan visi melayani umat. “Inilah yang seharusnya dilakukan oleh PBNU di bawah kepemimpinan siapapun,” katanya. Karena itu, lanjutnya, setiap Caketum PBNU wajib memiliki kriteria yang sejalan dengan visi dan misi NU yakni menegakkan ajaran Islam menurut paham ahlussunnah wal jama'ah di dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). (Bersambung)

Muktamar-34: Perlu Pembenahan Total di PBNU (1)

Oleh: Mochamad Toha Gelaran Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) pada 23-25 Desember 2021 di Lampung bakal menarik. Dipastikan akan terjadi perebutan kursi Ketua Umum PBNU antara yang status quo dengan non status quo. Sebelumnya, Sabtu hingga Ahad (26/9/21), PBNU menggelar Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta. Sejumlah kiai sepuh di Jawa Timur, sebelumnya, Senin (20/9/2021), telah mengadakan pertemuan di Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri. Intinya, meminta agar Muktamar ke-34 NU berlangsung pada 2021. Ada juga sebagian mengusulkan pada 2022, pertimbangannya Covid-19, seperti PWNU DKI Jakarta, PWNU Sumatera Selatan (Sumsel) dan PWNU Kalimantan Utara serta PP Fatayat NU. Soal waktu, menurut Prof Dr H Rochmat Wahab, MPd, MA, lebih cepat lebih baik. “Harapan para kiai sepuh Jawa Timur, logis,” katanya. “Kalau molor terus, kredibilitas dan wibawa organisasi ini semakin jatuh. Mundur bukan berarti berkualitas,” lanjut Prof Rochmat Wahab, Kamis (23/9/21). Soal pandemi Covid-19, kata Prof Rochmat Wahab, kini, kondisinya sudah melandai. Tentu, peserta Muktamar harus taat protokol kesehatan. “Ormas lain bisa melakukan, masak kita tidak bisa,” tegasnya. “Apalagi faktanya, syahwat politik pengurus NU sekarang semakin vulgar, ini berbahaya bagi NU ke depan,” tambah Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIJ masa bakti 2011-2016 ini. Prof. Rochmat Wahab kemudian menyebut, banyak hal yang harus segera mendapat koreksi dari perilaku oknum pengurus NU. Diam-diam, katanya, PBNU sekarang ini sudah ‘terbeli’. Dikatakan, pengurus NU lebih suka bersenang-senang dengan kekuasaan, jabatan. “Akhirnya NU seperti jadi stempel penguasa. Pengurus NU senang ketika Ormas ini mendapat lahan 10 hektar,” ungkapnya. “Sementara itu kita diam ketika ratusan warga NU dalam ancaman seperti dialami Rocky Gerung. Ini jelas bukan NU yang diinginkan Mbah Hasyim, Mbah Wahab, dan Gus Dur,” jelasnya. Lahan 10 ha yang dimaksud Prof Rochmat Wahab tersebut tak lain adalah sebagian tanah “sengketa” yang diakui milik PT Sentul City Tbk yang telah dihibahkan oleh Luhut Binsar Panjaitan. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) itu telah menepati janjinya kepada almarhum Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Saat itu, ia mengusulkan untuk membuat sekolah bagi warga NU. Gus Dur setuju dan sangat antusias. Sejak itu, kata Luhut, ia mencari lahan yang pas untuk membangun Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia). “Dan akhirnya moment yang saya nanti-nantikan itu tiba, saya menepati janji yang saya buat dengan guru saya. Dengan didampingi salah satu putri Almarhum Gus Dur, Mbak Yenny Wahid,” kata Luhut, seperti dikutip dari akun sosial media Facebook, Kamis (21/1/2021). Menurut Luhut, tanah yang terletak di kawasan Jonggol itu merupakan milik Trenggono Ting, yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Presiden Komisaris PT Sentul City. Luhut mengaku bahwa selama beberapa waktu saya mencari lahan/tanah yang pas untuk pembangunan Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia ini, sampai kemudian dalam satu kesempatan ia bertemu Trenggono Ting. “Saat bertemu lagi dengan teman saya bapak Trenggono Ting, pemilik PT Sentul City dan saya mengusulkan kepada beliau supaya menghibahkan tanahnya untuk dijadikan universitas NU,” jelas Luhut. Luhut ingin pembangunan infrastruktur tersebut tidak hanya membangun pendidikan fisiknya saja, “tetapi juga membangun pendidikan manusia khususnya warga Nahdliyin secara keseluruhan,” ujarnya. Kembali kepada Prof Rochmat Wahab, kondisi seperti ini berpotensi besar munculnya praktek politik uang. Padahal, ini harusnya kita lawan. Dan, ini sesuai keinginan kita membangun peradaban baru yang menjadi komitmen NU dalam memasuki Abad ke-2 kelahiran NU. “Sekarang ini momentumnya. Sangat tepat, bagi generasi muda NU (untuk) mengambil-alih estafet kepemimpinan NU ke depan. Bersihkan politik uang dalam segala proses suksesi kepemimpinan NU di semua level,” ujatnya. Jika kita bisa mewujudkan bersama-sama, maka, ini kontribusi besar bagi terbangunnya NU yang sejalan dengan Khitthah NU. Sekarang, lanjutnya, semua kader NU punya hak mencalonkan dan dicalonkan. “NU sebagai institusi membangun peradaban tinggi. Butuh kepemimpinan berintegritas, tanpa dibebani dosa masa lalu yang semakin menggurita,” terangnya. Sekarang, semua kader NU punya hak mencalonkan dan dicalonkan. Saat ini adalah waktu yang tepat melakukan filter atas calon-calon yang akan membangun NU ke depan. Sekaligus memberikan dukungan kepada kader-kader potensial yang bisa mengakselerasi kemajuan NU di masa-masa yang semakin sulit, di tengah-tengah era disrupsi (perubahan besar-besaran) ini. Tak kalah penting lagi, Prof Rochmat Wahab juga menyinggung pimpinan PBNU yang suka ‘liar’ mengobral wacana dan membingungkan umat. Ini bisa berakibat fatal, karena masih kacaunya pemahaman atas agama. Sangat merepotkan nahdliyin dalam menjaga martabat NU. Pimpinan NU itu kalau bicara harus memilih diksi yang tepat dalam mengartikulasikan gagasannya. “Jangan hanya ingin seperti Gus Dur, tetapi kecerdasan tidak sama dengan Gus Dur. Akibatnya, banyak kalimat yang tidak argumentatif (itu), justru membingungkan umat,” pungkasnya. (Bersambung) Penulis adalah Wartawan FNN.co.id