Muktamar-34: Muktamar NU Itu Bukan Pemilihan Presiden (5)
Oleh: Mochamad Toha
KH Nadirsyah Hosen membuat tulisan dengan judul, “Muktamar NU Bukan Pilpres”. Tulisan Ketua PCI-NU Australia itu tersebar di grup WA warga NU.
Menurutnya, Keputusan Munas NU untuk melaksanakan Muktamar ke-34 NU pada Desember 2021 membuat suasananya menjadi hangat. Muncullah nama-nama kandidat yang bertebaran di publik.
Bagaimana sebaiknya menyikapinya? Ada dua posisi yang akan ditentukan dalam Muktamar-34, yaitu Rais Am pada level Syuriyah dan Ketua Umum pada level Tanfidziyah.
Rais Am adalah pemimpin tertinggi NU. Biasanya diamanahkan kepada ulama sepuh yang ahli fiqh, yang mengayomi dan menjadi teladan sikap dan tutur katanya.
Biasanya para ulama sepuh akan rebutan menolak posisi ini, karena sadar sepenuhnya betapa berat menempati maqam ini. Terkenal dialog para kiai sepuh yang saling menolak.
Kiai As’ad (KH As’ad Syamsul Arifin) berkata, “Jikalau Malaikat Jibril turun dari langit meminta saya menjadi Rais Am, saya pun akan menolaknya”.
Kiai As’ad kemudian mengusulkan Kiai Mahrus (KH Mahrus Aly). Pengasuh Ponpes Lirboyo ini juga menolaknya: “Jangankan Malaikat Jibril, kalaupun Malaikat Izrail turun dan memaksa saya, saya tetap tidak bersedia!”
Akhirnya disepakatilah yang terpilih adalah KH Ali Maksum dari Krapyak, yang justru tidak hadir dalam pertemuan.
Gus Mus (KH Mustofa Bisri) dari Rembang berkisah bagaimana seharian Gus Mus duduk bersimpuh tidak bergerak di luar kamar Kiai Ali Maksum menunggu kesediaan Sang Kiai.
Pada akhirnya Sang Kiai keluar kamar menyetujui penunjukkan itu dengan berurai mata. Gus Mus terkena ‘karma’ peristiwa tersebut. Giliran beliau di Muktamar-33 Jombang yang terpilih oleh 9 Kiai sepuh (AHWA).
Namun beda dengan gurunya, beliau malah tetap kukuh menolak, sehingga para ulama mengalihkan amanah itu kepada KH Ma’ruf Amin.
Intinya adalah para ulama sepuh dan para Kiai dari jajaran Syuriah yang tahu siapa yang lebih pantas menjadi Rais Am. Akan terasa aneh kalau di luar itu ada yang sibuk dukung sana-sini seolah membenturkan para Kiai sepuh.
Rais Am itu bukan sekadar pimpinan para ulama, tapi pemimpin spiritual dan faqih sekaligus. Posisi ini tidak untuk diperebutkan. Sebab, tidak ada kompetisi. Serahkan pada Kiai sepuh untuk menentukan dengan kearifan dan kejernihan para Kiai.
Bagaimana dengan posisi Ketum Tanfidziyah? Karena usulan agar posisi ini juga dipilih AHWA telah ditolak di Munas, maka kemungkinan besar akan terjadi pemilihan dan kontestasi para kandidat merebut suara muktamirin.
Namun demikian, spiritnya tetap harus sama. Sebagai pelaksana kebijakan para ulama Syuriyah, maka posisi Tanfidziyah tidak berdiri sendiri. Posisi ini adalah kepanjangan tangan para ulama. Posisi ini adalah pelayan ulama sekaligus pelayan umat. Ini juga bukan posisi yang main-main.
Untuk itu, meski kelak pemilihannya berdasarkan voting dari suara wilayah dan cabang, tidak boleh ajang Muktamar seolah menjadi gelaran pilpres di mana incumbent berkontestasi dengan penantangnya.
“Para kandidat tidak perlu mengerahkan timses atau buzzer di medsos,” ujar Kiai Nadirsyah Hosen. Na’udzubillah. Mau jadi pelayan ulama dan umat saja kok rebutan?
Menurutnya, para kandidat juga tidak perlu sahut-sahutan di media. Jangan mau digoreng sana-sini dan diframing macam-macam, seperti layaknya Pilpres. “Marwah Muktamar NU harus dijaga,” tegasnya.
Warga Nahdliyin juga jangan mau dibuat polarisasi mendukung kandidat A dan menolak kandidat B. Atau sebaliknya. Kiai Nadirsyah Hosen menyebut, boleh dukung tapi jangan mutung.
“Biasanya di NU itu yang kepengen banget malah gak jadi. Adab harus dijaga. Kedepankan maslahat, bukan muslihat. Mari kita buat suasana adem,” lanjutnya.
Mari kita menuju Muktamar dengan gembira dan penuh persaudaraan. Siapa tahu kelak Malaikat Jibril dan Izrail pun bergumam: “Tanpa perlu kami turun ke arena Muktamar pun, suasana Muktamar sudah sejuk dan muktamirin memilih yang terbaik.” Insya Allah bi idznillah.
Muktamar Sogokan?
KH Luthfi Bashori mengatakan, kabar burung hingga sampai ke telinganya, pada Muktamar NU yang bakal digelar di Lampung tahun ini, juga tak lepas dari adanya praktek sogok-menyogok, seperti yang terjadi pada muktamar Makassar dan Jombang.
Sejumlah calon Ketua PBNU yang sengaja diviralkan namanya di tengah masyarakat, berusaha akan mempengaruhi atau bahkan sudah ada yang menggelontorkan sejumlah dana kepada calon para peserta muktamar.
“Yaitu, kalangan yang mempunyai hak pilih pada momentum pemilihan ketua umum PBNU ke depan,” ujar Kiai Luthfi Basori, Syuriah MWC NU Singosari, Kabupaten Malang ini.
Masih dalam lingkaran kabar burung, kini ada calon ketua umum yang menjadi sahabat Israel, maka ia pun mendapat dana besar dari Yahudi Israel, yang akan dipergunakannya membiayai pencalonan dirinya, demi mendapatkan jabatan ketua umum PBNU.
Menurut Gus Luthfi, panggilan akrab Kiai Luthfi Basori, ada juga calon ketua umum yang telah menggaet 9 Naga dan konglomerat hitam China untuk membiayai pencalonan dirinya dalam muktamar nanti.
Tak pelak persaingan ‘bos asuh’ ini pun terjadi, hingga isu-isu pun mencuat di kalangan warga nahdliyyin, bahwa calon A kini tengah berseteru dengan calon B, padahal semula mereka itu satu tim, “Tapi karena adanya sumber dana dan kepentingan yang berbeda, maka terjadi persaingan yang tidak sehat,” tegas Kiai Luthfi Bashori dari Malang.
Siapakah pihak yang sangat potensi berdosa ‘memakan’ uang sogokan di muktamar tersebut? Tentunya para calon pemilih yang tidak memiliki sifat amanah dan wara’ dalam mengemban kewajiban berorganisasi.
Calon pemilih yang tidak dapat memilah mana dana yang halal dan mana yang haram. Calon pemilih yang mudah dirayu oleh setan, hingga tidak memiliki rasa takut ancaman siksa akhirat.
Sabda Rasulullah SAW: “Ada tiga perkara, barang siapa ketiganya berada dalam dirinya, ia pasti mendapat pahala dan keimanan yang sempurna, yaitu: akhlak baik yang disandangnya dalam kehidupan bermasyarakat; sifat wara’ (berhati-hati) yang mencegahnya dari hal-hal yang diharamkan Allah SWT; dan sifat penyantun yang membuatnya memaafkan kebodohan orang yang jail terhadap dirinya.” HR. Al-Bazzar melalui Sayyidina Anas RA
Gus Luthfi menjelaskan,wara’ yang dimaksud adalah sifat menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat (hukumnya samar-samar), apalagi terhadap hal-hal yang diharamkan oleh Allah.
Padahal urusan sogok menyogok itu sangat jelas sekali diharamkan dalam syariat, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: "Yang menyogok dan yang disogok itu akan masuk neraka." (HR. Imam Ath-Thabrani). (Selesai)
Penulis Wartawan FNN.co.id