Muktamar-34: Perlu Pembenahan Total di PBNU (1)
Oleh: Mochamad Toha
Gelaran Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) pada 23-25 Desember 2021 di Lampung bakal menarik. Dipastikan akan terjadi perebutan kursi Ketua Umum PBNU antara yang status quo dengan non status quo.
Sebelumnya, Sabtu hingga Ahad (26/9/21), PBNU menggelar Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta.
Sejumlah kiai sepuh di Jawa Timur, sebelumnya, Senin (20/9/2021), telah mengadakan pertemuan di Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri. Intinya, meminta agar Muktamar ke-34 NU berlangsung pada 2021.
Ada juga sebagian mengusulkan pada 2022, pertimbangannya Covid-19, seperti PWNU DKI Jakarta, PWNU Sumatera Selatan (Sumsel) dan PWNU Kalimantan Utara serta PP Fatayat NU.
Soal waktu, menurut Prof Dr H Rochmat Wahab, MPd, MA, lebih cepat lebih baik. “Harapan para kiai sepuh Jawa Timur, logis,” katanya.
“Kalau molor terus, kredibilitas dan wibawa organisasi ini semakin jatuh. Mundur bukan berarti berkualitas,” lanjut Prof Rochmat Wahab, Kamis (23/9/21).
Soal pandemi Covid-19, kata Prof Rochmat Wahab, kini, kondisinya sudah melandai. Tentu, peserta Muktamar harus taat protokol kesehatan. “Ormas lain bisa melakukan, masak kita tidak bisa,” tegasnya.
“Apalagi faktanya, syahwat politik pengurus NU sekarang semakin vulgar, ini berbahaya bagi NU ke depan,” tambah Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIJ masa bakti 2011-2016 ini.
Prof. Rochmat Wahab kemudian menyebut, banyak hal yang harus segera mendapat koreksi dari perilaku oknum pengurus NU. Diam-diam, katanya, PBNU sekarang ini sudah ‘terbeli’.
Dikatakan, pengurus NU lebih suka bersenang-senang dengan kekuasaan, jabatan. “Akhirnya NU seperti jadi stempel penguasa. Pengurus NU senang ketika Ormas ini mendapat lahan 10 hektar,” ungkapnya.
“Sementara itu kita diam ketika ratusan warga NU dalam ancaman seperti dialami Rocky Gerung. Ini jelas bukan NU yang diinginkan Mbah Hasyim, Mbah Wahab, dan Gus Dur,” jelasnya.
Lahan 10 ha yang dimaksud Prof Rochmat Wahab tersebut tak lain adalah sebagian tanah “sengketa” yang diakui milik PT Sentul City Tbk yang telah dihibahkan oleh Luhut Binsar Panjaitan.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) itu telah menepati janjinya kepada almarhum Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur.
Saat itu, ia mengusulkan untuk membuat sekolah bagi warga NU. Gus Dur setuju dan sangat antusias. Sejak itu, kata Luhut, ia mencari lahan yang pas untuk membangun Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia).
“Dan akhirnya moment yang saya nanti-nantikan itu tiba, saya menepati janji yang saya buat dengan guru saya. Dengan didampingi salah satu putri Almarhum Gus Dur, Mbak Yenny Wahid,” kata Luhut, seperti dikutip dari akun sosial media Facebook, Kamis (21/1/2021).
Menurut Luhut, tanah yang terletak di kawasan Jonggol itu merupakan milik Trenggono Ting, yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Presiden Komisaris PT Sentul City.
Luhut mengaku bahwa selama beberapa waktu saya mencari lahan/tanah yang pas untuk pembangunan Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia ini, sampai kemudian dalam satu kesempatan ia bertemu Trenggono Ting.
“Saat bertemu lagi dengan teman saya bapak Trenggono Ting, pemilik PT Sentul City dan saya mengusulkan kepada beliau supaya menghibahkan tanahnya untuk dijadikan universitas NU,” jelas Luhut.
Luhut ingin pembangunan infrastruktur tersebut tidak hanya membangun pendidikan fisiknya saja, “tetapi juga membangun pendidikan manusia khususnya warga Nahdliyin secara keseluruhan,” ujarnya.
Kembali kepada Prof Rochmat Wahab, kondisi seperti ini berpotensi besar munculnya praktek politik uang. Padahal, ini harusnya kita lawan. Dan, ini sesuai keinginan kita membangun peradaban baru yang menjadi komitmen NU dalam memasuki Abad ke-2 kelahiran NU.
“Sekarang ini momentumnya. Sangat tepat, bagi generasi muda NU (untuk) mengambil-alih estafet kepemimpinan NU ke depan. Bersihkan politik uang dalam segala proses suksesi kepemimpinan NU di semua level,” ujatnya.
Jika kita bisa mewujudkan bersama-sama, maka, ini kontribusi besar bagi terbangunnya NU yang sejalan dengan Khitthah NU. Sekarang, lanjutnya, semua kader NU punya hak mencalonkan dan dicalonkan.
“NU sebagai institusi membangun peradaban tinggi. Butuh kepemimpinan berintegritas, tanpa dibebani dosa masa lalu yang semakin menggurita,” terangnya.
Sekarang, semua kader NU punya hak mencalonkan dan dicalonkan. Saat ini adalah waktu yang tepat melakukan filter atas calon-calon yang akan membangun NU ke depan.
Sekaligus memberikan dukungan kepada kader-kader potensial yang bisa mengakselerasi kemajuan NU di masa-masa yang semakin sulit, di tengah-tengah era disrupsi (perubahan besar-besaran) ini.
Tak kalah penting lagi, Prof Rochmat Wahab juga menyinggung pimpinan PBNU yang suka ‘liar’ mengobral wacana dan membingungkan umat. Ini bisa berakibat fatal, karena masih kacaunya pemahaman atas agama.
Sangat merepotkan nahdliyin dalam menjaga martabat NU. Pimpinan NU itu kalau bicara harus memilih diksi yang tepat dalam mengartikulasikan gagasannya.
“Jangan hanya ingin seperti Gus Dur, tetapi kecerdasan tidak sama dengan Gus Dur. Akibatnya, banyak kalimat yang tidak argumentatif (itu), justru membingungkan umat,” pungkasnya. (Bersambung)
Penulis adalah Wartawan FNN.co.id