olahraga
Bola Voli antara Zhu Ting dan Aprilia Manganang (Bagian 2 - habis)
Sebuah kisah yang mengingatkan saya pada yang terjadi di negeri ini, saat ini. Kita semua pasti tahu standar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin negeri. Oleh Rahmi Aries Nova Jakarta, FNN - MENGAPA saya langsung membandingkan sosok Aprilia Manganang dengan Zhu Ting, pemain terbaik dunia? Karena sesungguhnya kita semua tahu sejak awal kemunculan Aprilia 'berbeda'. Kalau saya lihat bukan hanya dari segi postur, tapi cara berjalan, bahkan suara. Karena sekeras apa pun program latihan bola voli yang digelutinya sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP) dipastikan tidak akan mengubah perawakan feminin khas perempuan menjadi maskulin. Zhu Ting contohnya. Ia juga berasal dari desa dan dan seperti Aprilia dipaksa bekerja keras sejak kecil. Akan tetapi, hingga saat ini, di usianya 27 ia tetap gemulai, meski statusnya pemain terbaik dunia. Anehnya, meski banyak yang meragukan gender Aprilia, tetapi kabarnya PBVSI (Persatuan Bola Voli Seluruh Indonesia) sebagai induk cabang olahraga selalu mensahkan status Aprilia sesuai dengan data kependudukan yang dimiliki. Bahkan, memberi karpet merah bagi Aprilia ke tim nasional dan diamini oleh KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) dan KOI (Komite Olimpiade Indonesia). Padahal, seharusnya jika klub tidak bisa melakukan tes menyeluruh, PBVSI lah yang harusnya melakukannya. Kalau perlu mengirim Aprilia tes ke luar negeri, yang peralatannya lebih canggih. Yang saya ingat PBVSI di masa lalu sangat menghindari memakai pemain yang 'meragukan'. Bahkan, untuk pemain wanita yang ternyata ada 'kromosom' laki-lakinya kala itu (era 90an), PBVSI memilih tidak memanggilnya ke tim nasional, tetapi yang bersangkutan tetap bisa bermain di kejuaraan antar klub. Saya juga tak mau menyalahkan siapa pun, terlebih menyalahkan Aprilia, karena semuanya sudah terjadi. Bahkan, saya makin mengerti bahwa ini memang fenomena yang tengah terjadi di negeri ini. Semua mau yang serba instan, hanya mencari kemenangan, urusan fair play tidak penting lagi. Tidak ada cross check, mencari tahu secara detail dan akurat. Aprilia yang secara kasat mata terlihat seperti laki-laki dan akhirnya terbukti memang laki-laki tetap dipuja sebagai pemain perempuan andalan. Diundang talk show di televisi, dicitrakan sebagai pemain idola yang luar biasa. Sebuah kisah yang mengingatkan saya pada yang terjadi di negeri ini, saat ini. Kita semua pasti tahu standar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin negeri. Ada kualitas dan kapasitas yang harus dimiliki dan dipunyai, yang mengacu pada pemimpin-pemimpin terdahulu atau pemimpin negara lain. Akan tetapi, sepertinya kebanyakan kita justru menikmati kepemimpinan di luar alias di bawah standar. Pura-pura tidak melihat, mengingkari realitas. Partai-partai politik, lembaga-lembaga negara, terlebih oligarki memilih memakai kaca mata kuda melihat kejadian demi kejadian di luar nalar bernegara. Mereka tak peduli, yang penting tetap digaji dan difasilitasi di semua lini. Entah sampai kapan mereka akan membutakan matanya, menutup hatinya. Akan tetapi, saya yakin seperti kisah Aprilia, semua akan ada akhirnya, habis masanya. Semoga pada akhirnya semua sadar, karena semua belum terlambat. Semoga!** Penulis, wartawan senior FNN.co.id.
Bola Voli antara Zhu Ting dan Aprilia Manganang (Bagian 1)
Beruntung Andika menyebut Aprilia masih boleh terus berkarier di TNI, dan mengaku lolosnya Aprilia lewat jalur khusus/jalur prestasi kala itu karena tidak melewati proses pemeriksaan medis yang lengkap. Ia merasa ikut bertanggung jawab atas kejadian ini. Aprilia akan mensahkan statusnya sebagai laki-laki lewat pengadilan dan akan mengganti namanya dengan nama baru. By Rahmi Aries Nova Jakarta, FNN - ZHU Ting adalah pebola voli terbaik dan termahal di dunia saat ini. Kapten Timnas China tersebut kerap diundang dalam acara-acara resmi kenegaraan dan diajak berdialog langsung oleh Presiden Xi Jinping. Suatu yang tidak pernah ia bayangkan, mengingat awalnya ia hanya gadis kecil dari desa terpencil Dhancheng, Zhoukou, di Provinsi Henan. "Susah menjelaskan di mana desa saya karena sepertinya tidak ada di peta," ungkap pemain kelahiran 29 November 1994 dalam wawancara dengan Kantor Berita Xinhua. Di usia 13, Zhu Ting yang tinggi badannya sudah 170 cm dikirim oleh guru olahraganya ke Henan Province Sports School, sekolah khusus olahraga di ibu kota provinsi itu. Awalnya, ia bingung harus memilih cabang apa. Sempat ingin bergabung dengan tim bola basket, tetapi ditolak. Menurut pelatih basket, badannya terlalu kurus tidak cocok dengan basket yang kerap ber body contact. Pilihan berikutnya cabang atletik. Akan tetapi, ia juga gagal saat tes lari. Akhirnya, pemandu bakat di sekolah tersebut mengarahkannya ke cabang bola voli. Betul saja, meski tak punya 'darah' olahraga, tidak ada latar belakang olahraga apa pun dari kedua orang tuanya, Zhu Ting langsung melesat dan menjadi pemain yang paling menonjol di Henan. Pada usia 19, ia pun dipanggil ke tim nasional besutan pelatih legendaris Lang Ping. "Saat itu cuma saya pemain yang berasal dari desa. Pemain lain kebanyakan berasal dari kota besar," jelas anak ke 3 dari lima bersaudara ini. Lang Ping sendiri menyebut Zhu Ting yang kala itu tingginya sudah 191 cm masih terlalu kurus. Jadi untuk 'si anak desa' ini ia pun mendatangkan serbuk protein khusus dari Amerika Serikat. Hasilnya Zhu Ting bukan cuma makin berisi, tetapi saat meraih emas di Olimpiade Rio de Janeiro, Brazil, menjadi pemain tertinggi kedua dalam timnya, 198 cm, setelah Yuan Xinyue yang 201 cm. Seperti Zhu Ting, Aprilia Manganang pun lahir di desa. Tepatnya, di Kecamatan Tahuna, yang juga ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, pada 27 April 1992. Ia juga mulai berlatih bola voli sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP). Saat SMA sempat pindah ke cabang bola basket tapi kemudian kembali lagi menekuni bola voli dan bergabung dengan klub Pro Liga, mengikuti jejak sang kakak Amasya Manganang, dan berikutnya juga dipanggil ke tim nasional. Manganang bersaudara bahkan tampil bersama membela tim nasional saat Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games pada 2018 lalu. Beda dengan Zhu Ting yang saat bergabung dengan tim nasional tidak berotot, Aprilia sejak muncul di pentas bola voli nasional pada 2011 bukan cuma tomboy, tapi juga kekar dan berotot layaknya laki-laki. Saat itu banyak yang mempertanyakan status gender Aprilia. Begitu juga di setiap ajang SEA Games yang ia ikuti. Filipina bahkan sempat melayangkan protes resmi pada penyelenggara SEA Games 2015 Singapura. Kecurigaan panjang yang akhirnya dijawab oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa pada Selasa (9/3). Dalam Konferensi Pers di Markas Besar TNI AD (Mabesad) Andika memastikan bahwa Aprilia, yang sejak 2016 bergabung dengan Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad) dan kini berpangkat Sersan Dua, berjenis kelamin laki-laki. Menurut KSAD, Serda Aprilia Manganang memiliki kelainan pada sistem reproduksi. Kelainan tersebut bernama hipospadias. “Anak ini termasuk dalam kasus Hipospadias serius sehingga paramedis, yang membantu kelahirannya, dan orang tuanya menilai secara fisik, bahwa dia perempuan,” jelas Andika. Dan identitas itu ia pakai hingga 28 tahun, sebelum akhirnya ia menjalani serangkaian tes di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) sejak Februari lalu, dan ia dinyatakan bukan perempuan. Kalau saat lahir 'kelainan' Aprilia tidak terdeteksi karena faktor kekurangpengetahuan, bagaimana mungkin timnas pun bisa kecolongan? Pemusatan latihan yang mengaku sudah berbasis sports science ternyata bahkan tidak bisa mendalami dan mencari jawaban atas perawakan Aprilia yang secara kasat mata amat berbeda dengan kebanyakan perempuan. Ini pasti bukan kesalahan Aprilia, tapi kelalaian PB PBVSI, penanggung jawab tim nasional, Pelatnas (Pemusatan Latihan Nasional) dan otoritas olahraga di Indonesia. Mengapa tidak melakukan tes yang menyeluruh saat seleksi? Kalau timnas bola voli China bahkan bisa menambah tinggi badan Zhu Ting hingga 7 cm (sports engineering), timnas bola voli kita bahkan tidak bisa mendeteksi dengan benar jenis kelamin Aprilia. Akibatnya, pada saat Zhu Ting masih akan terus berburu dan menambah gelarnya, di Olimpiade Tokyo, Kejuaraan Dunia, dan event-event lain Aprilia justru terancam bakal kehilangan gelar-gelar yang pernah ia raih. Ia harus mengembalikan gelar-gelar MVP yang pernah diraihnya secara pribadi dan medali yang ia raih bersama tim. Medali Perunggu SEA Games 2015, perak SEA Games 2017 dan gelar-gelar juara Pro Liga bersama Jakarta Electric PLN (2015, 2016, 2017), Jakarta PGN Popsivo (2019). Beruntung Andika menyebut Aprilia masih boleh terus berkarier di TNI, dan mengaku lolosnya Aprilia lewat jalur khusus/jalur prestasi kala itu karena tidak melewati proses pemeriksaan medis yang lengkap. Ia merasa ikut bertanggung jawab atas kejadian ini. Aprilia akan mensahkan statusnya sebagai laki-laki lewat pengadilan dan akan mengganti namanya dengan nama baru. (Bersambung) ** Penulis, wartawan senior FNN.co.id
Pertama di Dunia Timnas Digerebek Polisi
Masyarakat yang sudah sangat penat dengan kondisi setahun belakangan, makin kesal karena untuk menonton timnasnya berlaga di televisi pun tidak bisa. Citra polisi juga makin hancur karena dianggap 'mengharamkan' sepak bola, tetapi membiarkan narkoba dan miras merajalela. by Rahmi Aries Nova Jakarta, FNN - LUAR biasa tingkah polah polisi di negeri ini. Rabu (3/3) malam mereka menghentikan uji coba Tim Nasional PSSI, dan tak lama setelah itu mereka juga mengumumkan arwah syuhada Laskar FPI sebagai tersangka. Makin tak bernalar. Sejatinya uji coba Timnas yang dipersiapkan pelatih asal Korea Shin Tae-yong adalah uji coba biasa yang menjadi bagian persiapan timnya menghadapi SEA Games di Hanoi, Vietnam, 21 November-2 Desember mendatang. Jadi kategorinya adalah latihan, tapi kali ini dengan mengundang tim dari luar. Perlukah? Sangat perlu, karena setelah satu bulan berlatih Shin Tae-yong perlu melihat perkembangan pemainnya, dan itu hanya bisa dilihat lewat penampilan mereka dalam game. Lawan yang dipilih pun cuma klub lokal yang basecamp-nya pun tak terlalu jauh dari Jakarta, PS Tira Persikabo. Game uji coba juga dilakukan di tempat timnas berlatih Stadion Madya, Senayan. Pastinya, selain tidak terbuka untuk umum juga mengusung protokol kesehatan meski status Jakarta bukan lagi wilayah zona merah. Jadi aneh juga kalau latihan uji coba tersebut tiba-tiba dibatalkan dengan alasan tidak ada izin dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri). Apakah latihan juga perlu izin dari Trunojoyo? Menurut Kapolsek Metro Tanah Abang, AKBP Singgih Hermawan kepada media, izin laga belum dikeluarkan Mabes Polri sampai satu jam sebelum kick-off. Menurut keterangannya, pihak panitia baru meminta izin kepada Kepolisian tepat di hari uji coba (siang). Hal tersebut menyebabkan izin belum bisa diproses tepat waktu sehingga laga uji coba harus batal digelar. "Rencana sparring timnas U23 dan Tira Persikabo hari ini tidak kami izinkan karena belum ada izinnya," tegas Singgih. Ia juga melihat kedua tim sudah datang ke area Stadion Madya dan menunggu di area parkir. Sungguh bentuk arogansi yang kebablasan. Tidak memikirkan kepentingan nasional, dan di luar nalar. Ini kejadian langka dan mungkin pertama kali di dunia. Kalaupun uji coba latihan butuh surat izin (harusnya sih tidak perlu wong cuma latihan game), Mabes PolrI di era komunikasi yang canggih seperti sekarang dalam hitungan menit juga bisa mengeluarkannya. Padahal, saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo memaparkan konsep “Presisi" kepolisian masa depan. Presisi adalah singkatan dari prediktif, responsibilitas, transparansi, berkeadilan. Menurut Listyo, pendekatan ini bisa membuat pelayanan lebih terintegrasi, modern, mudah, dan cepat. Konsep ini tertuang dalam makalahnya yang berjudul "Transformasi Polri yang Presisi". Akan tetapi, faktanya Polri bukan cuma tidak bisa cepat mengeluarkan izin, namun juga tidak bisa memprediksi dampak dari 'penggrebekan' mereka ke markas timnas. Pelatih dan pemain bisa patah arang. Masyarakat yang sudah sangat penat dengan kondisi setahun belakangan, makin kesal karena untuk menonton timnasnya berlaga di televisi pun tidak bisa. Citra polisi juga makin hancur karena dianggap 'mengharamkan' sepakbola, tetapi membiarkan narkoba dan miras merajalela. Parahnya lagi, dua jam setelah membatalkan uji coba Timas, Polri juga mengumumkan bahwa arwah enam syuhada korban penembakan KM 50 jadi tersangka. Luar biasa...** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Setelah Kerumunan Jokowi, Penahanan Habib Rizieq Menjadi Tidak Sah
by Asyari Usman Medan, FNN - Setidaknya ada dua laporan tentang kerumunan Jokowi di Maumere, NTT, yang tidak diterbitkan tanda terima laporannya oleh Bareskrim Polri. Tidak jelas penolakannya, tetapi jelas tidak ada pertanda akan dilanjutkan. Yang pertama adalah laporan pengaduan dari Koalisi Masyarakat Anti Ketidakadilan (KMAK) yang mereka sampaikan pada 25 Februari 2021. Yang kedua, pengaduan yang dibawa oleh Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Islam (GPI) pada 26 Februari 2021. Kurnia dari KMKA menyatakan mereka sangat kecewa. Sedangkan Ferrry Dermawan dari GPI mengatakan dari pihak Bareskrim hanya ada pernyataan untuk diajukan pengaduan itu secara resmi kembali. Intinya, Bareskrim menolak laporan itu. Meskipun mereka tidak menggunakan kata “menolak”. Petugas Bareskrim hanya bisa berbasa-basi saja ketika tidak mau menerbitkan tanda terima laporan kepada kedua pelapor. Kalau Kepolisian RI tidak memproses laporan masyarakat tentang kerumunan Presiden Jokowi di Maumere, NTT, maka dampaknya akan sangat serius. Polisi bisa mengatakan apa saja tentang penolakan itu. Tetapi, penolakan ini berdampak besar terhadap kasus-kasus kerumunan yang telah diproses maupun yang kemungkinan akan terjadi besok-lusa. Kasus kerumunan ‘high profile’ yang bertautan dengan pembunuhan 6 anggota FPI dan penahanan Habib Rzieq Syihab (HRS), sekarang kehilangan dasar hukum setelah kerumunan Jokowi tidak diproses. Penahanan HRS menjadi tidak sah setelah ada ‘juris prudensi’ yang tercipta di Maumere. Polisi wajib menghentikan kasus HRS yang berangkat dari kerumunan Petamburan dan Megamendung. Sirna sudah landasan hukum untuk melanjutkan perkara ini. Apa pun ‘pretext’ (alasan) yang dikarang-karang oleh Istana dan Kepolisian tentang kerumunan Jokowi di Maumere tidak dapat diterima. Pihak Istana mengatakan kerumunan Jokowi itu spontanitas. Tetapi, pihak pelapor mengatakan bahwa kemurunan Maumere sudah ada sebelum Jokowi tiba. Pelapor menganggap ada pembiaran oleh petugas. Fakta lain adalah bahwa Jokowi melakukan bagi-bagi hadiah kepada warga yang menyambut. Kalau pihak Istana mengatakan Jokowi, ketika muncul dari atap mobil, langsung berteriak agar pekerumun memakai masker, di Petamburan dan Megamendung pun telah dilakukan imbauan serupa. Bahkan sebagian besar pekerumun memakai masker waktu itu. Jadi, kerumuna Jokowi dan kerumunan HRS tidak berbeda sama sekali. Bedanya adalah Jokowi seorang presiden yang bisa melakukan apa saja, sedangkan HRS hanya orang biasa yang tidak punya kekuasaan. Dampak serius lainnya dari penolakan Polisi untuk memproses pengaduan kerumunan Jokowi adalah kesulitan untuk menegakkan protokol kesehatan (prokes) di masa mendatang. Instansi-instansi yang berwenang untuk urusan ini akan kehilangan wibawa untuk membubarkan kerumunan. Polisi tidak bisa lagi menggunakan pasal apa pun tentang kerumunan. Pelanggaran prokes, khususnya kerumunan, menjadi tidak bisa lagi diproses oleh Kepolisian jika itu terjadi di waktu-waktu mendatang ini. Orang akan dengan enteng mengatakan, “Presiden saja boleh buat kerumunan tanpa ada sanksi hukum apa pun”. Beberapa hari lalu, saya sarankan agar Pak Jokowi berbesar hati mengakui kesalahan di Maumere. Meminta maaf secara terbuka, dan membayar denda 100 juta. Kalau Pak Jokowi berkenan menempuh cara ini –dan masih bisa dilakukan sebelum berlarut-larut— hampir pasti beliau akan dilihat sebagai Presiden yang rendah hati. Presiden yang bertanggung jawab. Presiden yang “leading by example”. Memimpin dengan keteladanan. Sebaliknya, jika Pak Jokowi arogan, merasa bisa melakukan apa saja, maka sikap seperti ini akan mengukuhkan labelisasi otoriter, sewenang-wenang, tebang pilih, tajam ke bawah, dlsb. The choice is yours, Pak. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Ketika Segalanya Dipolitisir
by Shamsi Ali Doha FNN - Seringkali kita dengarkan istilah poltisasi agama. Tentu yang dimaksud adalah penggunaan atau pelabelan agama untuk kepentingan-kepentingan politik. Dengan kata lain agama dijadikan obyek demi meraih kepentingan politik. Agama diserert-seret, dibawa-bawa untuk hal-ihwal yang berkaitan dengan politik semata. Ternyata dalam dunia, dimana politik menjadi penentu dominan dalam kehidupan publik, bukan hanya agama yang dipolitisir. Tetapi hampir segala aspek kehidupan publik yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa diwarnai oleh terpaan angin politik. Dari soalbudaya, pendidikan, bahkan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari rasa politik alias politisasi. Orang-orang mendukung atau menentang sesuatu bukan karena memang hal itu baik atau sebaliknya tidak baik. Tetapi karena secara politik tidak sejalan dengan rasanya (kepentingannya). Bertentangan dengan keinginan dan kepentingan politik sesaat. Bentuk busana didukung, bahkan dipakai bukan karena “murni” (genuine) suka atau senang dengan busana itu. Tetapi karena busana itu pada saat tertentu mendukung kepentingan politiknya. Lihatlah larisnya baju-baju koko dan peci di musim-musim politik. Atau wanita-wanita politisi yang selama ini dengan terbuka menentang “syariah” ikut memakai jilbab di musim-musim politik. Bahkan istilah-istilah syariah seperti halal dan wakaf juga menjadi laris ketika hal itu dapat mendukung kepentingan atau imej politik tertentu. Padahal secara umum syariah oleh orang-orang yang sama dianggap berbahaya, bahkan anti Pancasila, anti UUD dan anti NKRI. Kini kecenderungan itu merambah ke ranah konsep karakter orang atau sekelompok orang. Seseorang dengan mudah dianggap intoleran hanya karena yang bersangkutan tidak sejalan dengan posisi pilitiknya. Demikian sebaliknya. Betapa prilaku kasar dan intoleransi seseorang atau sekolompok orang dipertontonkan tanpa malu. Tetapi tetap saja dibiarkan, bahkan seolah dipelihara dan dilindungi. Akibatnya konsep toleransi terasa aneh. Toleransi yang pernah saya sebut dengan toleransi memihak. Toleransi yang dipasung untuk mendukung kepentingan politik tertentu. Politisasi Radikalisme dan Moderasi Kini yang juga mengkhawatirkan adalah politisasi kata radikal dan intoleransi. Juga sebaliknya dengan kata moderat. Seseorang akan mudah dilabeli dengan kata radikal hanya karena berseberangan secara kepentingan politik. Sebaliknya seseorang atau sekolompok orang dengan enteng dilabeli moderat karena sejalan secara kepentingan politik. Masalahnya kemudian label radikal dan intoleransi ini tidak berakhir pada tataran persepsi atau wacana semata. Tetapi boleh jadi membawa kepada perangkap keamanan atau ancaman stabilitasi negara. Pada akhirnya orang yang dipaksakan untuk diposisikan sebagai posisi radikal dan intoleransi itu dianggap membahayakan negara atau pemerintah. Saya kembali teringat peristiwa 9/11 di Amerika Serikat. Dimana saat itu kata radikal atau ekstrim menjadi kata yang paling populer berdampingan dengan kata “terror”. Sehingga peperangan apa yang disebut “terror” ketika itu tidak bisa dilepaskan dari peperangan kepada “kaum radikal”. Belakangan opini tersebut semakin tergiring menuju kepada satu kelompok. Yaitu orang-orang Islam yang tidak setuju dengan kebijakan global Amerika dan sekutunya di berbagai belahan dunia, khususnya di Timur Tengah. Tetapi oleh pihak-pihak tertentu penggiringan opini semakin mengarah kepada Umat Islam. Pada akhirnya apa yang disebut sebagai peperangan kepada “terror” atau “war on terror” dimaknai sebagai peperangan kepada Umat Islam. Inilah sesungguhnya dikemudian hari yang diterjemahkan oleh Donald Trump dalam sebuah kebijakan “Muslim Ban” atau pelarangan orang Islam untuk masuk Amerika. Dimulai dari tujuh negara. Tetapi tujuannya mengarah kepada pelarangan secara totalitàs kepada orang Islam untuk masuk Amerika. Pada sisi lain, sejak Bush hingga Trump, ada pihak-pihak tertentu yang kemudian dilabeli “Muslim moderate”. Pelabelan itu bukan berdasar pada substansi moderasi itu sendiri. Karena beberapa pihak yang dianggap moderate justeru secara ideologi cukup kontras dengan nilai-nilai moderasi. Di zaman GW Bush misalnya, Saudi Arabia dijuluki sebagai negara/bangsa yang moderate. Saya masih ingat bagaimana Pangeran Bandar Bin Sultan, Dubes Saudi untuk AS ketika itu begitu akrab dengan Presiden Bush. Padahal dari sekian yang dituduh sebagai pelaku serangan 9/11 mayoritasnya berkebangsaan Saudi Arabia. Yang ingin saya sampaikan disini adalah bahwa ternyata penilaian radikal, intoleran dan/atau moderat itu banyak dan ditentukan oleh kepentingan, termasuk kepentingan politik ketika itu. Dan pada akhirnya nilai itu terasa kehilangan esensinya. Hari-hari ini isu radikal kembali ramai dibicarakan. Prof. Dr. Din Syamsuddin MA, tokoh nasional dan internasional, mantan Ketua Umum Muhammadiyah dua periode, Presiden Kehormatan Agama-Agama Dunia untuk perdamaian (World Religion for Peace) dan seabrek posisi nasional maupun internasional konon dilaporkan oleh apa yang disebut Getakan Anti Radikalisme (GAR) alumni ITB. Saya pribadi sangat terkejut dan kecewa. Karena saya yakin, siapa saja yang memiliki logika sehat akan melihat Pak Din Syamsudin tidak saja sebagai tokoh nasional dan internasional yang moderat. Tetapi juga beliau berada di jalan perjuangan untuk membangun Moderasi (advancing moderation) dan perdamaian dunia (world peace). Pak Din Syamsudin sendiri pernah menjadi Utusan Khusus Presiden Joko Widodo untuk Perdamaian dan Dialog antar Agama dan Peradaban. Hanya saja beliau meninggalkan posisi itu karena ada sesuatu yang tidak sejalan dengan visi beliau sebagai tokoh agama dan perdamaian. Apakah begitu mudah kemudian seorang Din Syamsuddin dituduh sebagai radikal hanya karena tidak setuju atau tidak sejalan dengan keadaan atau kebijakan politik yang ada? Begitu mudah mengingkari perjalanan panjang dan bersejarah beliau dalam membangun moderasi dan perdamaian? Disinilah urgensinya untuk kita saling mengingatkan. Kiranya masanya perlu menghentikan politisasi istilah radikalisme atau moderasi. Selain hanya menambah keresahan dalam masyarakat, juga akan semakin mempertajam kecenderungan karakter “we vs them” (kami lawan mereka). Kecenderungan memecah belah atau “divide at empire” ini pastinya hanya akan semakin melemahkan Umat dan bangsa itu sendiri. Karena sesungguhnya Umat dan tokoh-tokohnyalah, termasuk pak Din Syamsudin, yang menjadi tulang punggung ketahanan bangsa. Karenanya serangan kepada tokoh-tokoh agama seperti pak Din Syamsudin ini adalah bagian dari upaya pelemahan Umat dan bangsa. Kecurigaan-kecurigaan itu boleh saja terbangun. Salah satunya, jangan-jangan memang ada “hidden power” yang bermain dan bertepuk di balik layar. Semoga tidak! Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation.
Jokowi dan PBSI, Please Deh Jangan Norak
By Rahmi Aries Nova Jakarta, FNN - KETUA Umum Persatuan Bulutangkis Indonesia (PBSI) Agung Firman Sampurna tiba-tiba menyatakan niatnya menggelar turnamen bulutangkis bertajuk Piala Presiden. Ide tersebut muncul seusai ia menghadap Presiden Jokowi di Istana beberapa waktu lalu. Dalihnya, di cabang lain, seperti sepakbola dan tinju punya turnamen Piala Presiden, mengapa di bulutangkis tidak? "Bulutangkis sangat layak memiliki ajang sekelas Piala Presiden. Sebab, bulutangkis merupakan olahraga kebanggaan Indonesia serta yang paling banyak menyumbangkan prestasi di gelaran internasional. Sepakbola dan tinju punya Piala Presiden, sedangkan bulutangkis yang merupakan olahraga dengan prestasi internasional bertahun-tahun tidak punya Piala Presiden,” kata Agung dalam laman resmi PBSI, Jumat (5/2). Pernyataan Agung sungguh menggelikan, kalau tidak boleh disebut mengecewakan. Nggak nyambung, kalo istilah anak sekarang. Apa hubungannya prestasi di gelaran internasional dengan Piala Presiden? Yang nyambung itu kalau prestasi diganjar bonus dari presiden. Atau seperti China dan Korea Selatan yang atlet peraih emas Olimpiadenya dijamin hidupnya sampai tua alias pensiun seumur hidup. Tidak seperti di Indonesia, memberikan pensiun untuk peraih emas Olimpiade yang cuma segelintir saja tidak bisa. Parahnya lagi Agung atau Jokowi sepertinya tidak paham kalau kalender BWF (Federasi Bulutangkis Dunia) juga amat padat. Begitu juga kejuaraan di regional Asia, bahkan nasional. Kalau maksud Agung ingin memasukkan Piala Presiden ke dalam kalender BWF (internasional) rasanya tidak mungkin. Karena saat ini saja BWF sudah cukup pusing untuk menjadwal ulang turnamen-turnamen yang batal karena Covid-19. Jangan lupa PBSI membutuhkan perjuangan puluhan tahun untuk menggolkan Piala Sudirman, Kejuaraan Beregu Campuran, menjadi ajang kejuaraan beregu resmi BWF, selain Piala Thomas dan Uber. Agung seolah-olah juga tidak tahu kalau pergelaran Piala Presiden di cabang sepakbola pada 2015 adalah karena 'kecelakaan'. Kala itu pemerintah ingin menutup malu setelah PSSI terkena sanksi FIFA karena ulah Menpora Imam Nahrawi yang kini di bui. Untuk mengganti liga yang tidak boleh bergulir, dihelatlah Piala Presiden. Jadi, Piala Presiden adalah turnamen untuk mengisi waktu yang kosong karena tidak ada liga, dan berikutnya dijadikan turnamen pra-musim jelang liga yang pelaksanaannya kerap tertunda. Suatu hal yang tidak terjadi di bulutangkis karena turnamen sudah sangat padat dan kewajiban PBSI mengirim pemain sebanyak mungkin ke turnamen-turnamen tersebut sepanjang tahun. Intinya, Piala Presiden bukanlah suatu yang penting yang harus digulirkan di cabang bulutangkis. Harusnya, Jokowi bukan menantang Agung untuk membuat Piala Presiden, tetapi menantangnya berani pasang target berapa medali emas yang harus diraih di Olimpiade Tokyo mendatang? Atau lebih hebat lagi kalau Jokowi berani menjanjikan bahwa seluruh dana pembinaan cabang yang prestasinya internasional semua ditanggung full oleh pemerintah terutama bulutangkis. Jadi, Agung yang Ketua Badan Pengawas Keuangan (BPK) tak perlu repot-repot 'menginjak' BUMN untuk mau menjadi sponsor PBSI. Pembinaan kita juga akan bisa menyaingi China dan meraih makin banyak gelar di masa mendatang. Melahirkan Susi Susanti dan Taufik Hidayat baru lebih penting ketimbang menggelar Piala Presiden. Jangan dibalik yaaa..! Please deh, jangan norak dengan gagasan Piala Presiden untuk bulutangkis! ** Penulis adalah wartawan Senior FNN.co.id.
Liga Indonesia, Bak Jeruk Makan Jeruk
By Rahmi Aries Nova Jakarta, FNN - MESKI amat sangat terlambat, akhirnya, PSSI memutuskan membatalkan Musim Kompetisi 2020/2021 bagi Liga 1 yang baru berjalan 3 pertandingan (hingga pekan ke-2 Maret) dan Liga 2 yang belum sempat digelar. Kepastian pembatalan itu dihasilkan lewat Rapat Exco PSSI, Rabu (20/1) lalu. Terlalu jauh kalau membandingkan Liga Indonesia dengan liga-liga di belahan Eropa yang meski dihentikan karena pandemi Covid-19, tetapi kemudian dilanjutkan kembali dengan tanpa penonton dan pengawasan protokol kesehatan yang ketat. Kenyataannya, liga tetangga, Malaysia pun dapat menyelesaikan kompetisinya Desember 2020 lalu dan kini tengah bersiap memulai musim baru. Bandingkan dengan PSSI yang belum mengumumkan apakah musim ini bisa menggelar liga atau kembali menjadikan musim ini tanpa ada juara. Pada musim lalu, salah satu faktor penyebab gagalnya liga dilanjutkan adalah karena Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan alias Iwan Bule tidak berhasil 'melobi' Kapolri Idham Azis. Apakah musim ini, di saat Kapolri sudah berganti, kejadian serupa terulang lagi? Kalau Idham Azis memang tak memberi ruang gerak bagi Iwan Bule untuk bernegosiasi, apakah hal serupa juga akan dilakukan Listyo Sigit Prabowo, yang dilantik sebagai Kapolri akhir Januari lalu? Direktur Operasional PT Liga Indonesia Baru (LIB), yang ditunjuk sebagai operator liga, Sudjarno menyatakan, masih menunggu izin resmi dari Polri untuk Liga 1 2021. Sampai saat ini, pihaknya baru sebatas mendengar pernyataan dari kepolisian. "Alhamdulillah sudah ada pernyataan dari kepolisian. Semoga izin resmi dari Mabes Polri bisa lebih cepat," kata Sudjarno, Kamis (4/1). Sekali lagi baru pernyataan, belum terwujud dalam selembar surat resmi. Sudah menjadi rahasia umum kalau mendapat surat izin dari kepolisian untuk menggelar pertandingan sepakbola bukan suatu yang 'gratis'. Seorang pengurus klub mengaku harus menyiapkan budget Rp 200 juta sampai Rp 400 juta untuk mendapatkan 'izin' bertanding selain juga lobi yang kuat. Bisa dibayangkan nilainya kalau ini adalah ajang semusim penuh yang akan menggelar hingga ratusan pertandingan. Apa mungkin bisa 'gratisan'? Bagaimana mungkin Iwan Bule yang mantan Kapolda Metro Jaya tidak bisa menembus institusi yang membesarkannya? Atau, apakah ini drama 'Jeruk Makan Jeruk' ala Kepolisian Republik Indonesia? Wallahu alam... Penulis, wartawan senior FNN.co.id
Enak Jamanku To?
by Basyir Al-Haddad Jakarta FNN – Ahad (06/12). Ketika dihadapkan pada kehidupan politik yang semerawut, masyarakat yang terbelah, hidup yang makin sulit, kita jadi teringat dengan Pak Harto. Lepas dengan semua kekurangan dan kelemahannya, di zaman Orde Baru, semuanya relatif stabil. Pada masa Orde Baru, nggak ada preman, atau ormas berbaju preman yang dipakai oleh penguasa untuk menggebuk lawan-lawan politik, atau kelompok sipil kritis (civil society). Keamanan relatif stabil, karena negara tidak menggunakan jasa preman. Baik preman darat maupun preman udara yang disebut buzzer medsos. Banyaknya preman yang diberi ruang bernarasi atas nama pancasila dan NKRI justru semakin membuat gaduh keadaan. Masa Orde Baru, ketahanan dan kedaulatan pangan betul-betul dijaga. Nasib petani selalu menjadi perhatian serius Presiden. Hampir setiap hari Presiden tanya ke bagian rumah tangganya, berapa harga beras, harga cabe, sampai harga bawang dan harga garam? Semua dikontrol agar petani tidak menjadi korban para tengkulak dan importir. Saat ini, impor kebutuhan pokok ugal-ugalan. Beras, gula, kedelai, bawang, cabe, bahkan garam dan sayuranpun diimpor. Ini tak masalah selama jumlah yang diimpor disesuaikan dengan kebutuhan rakyat setelah menghitung hasil panen petani. Berapa kebutuhan rakyat, lalu dikurangi hasil panen, di situlah penerintah impor. Kalau hasil panen petani sudah mencukupi kebutuhan dalam negeri, kenapa harus impor lagi? Kalau kebutuhan rakyat hanya 1 juta ton, kenapa harus impor sebanyak 150 juta ton? Petani akan mampus. Sebab, hasil panen petani nggak terbeli. Bisa dibeli, tetapi dengan harga sangat murah. Untuk mengembalikan modal saja gak cukup. Ketahanan pangan menjadi masalah ketika impor dijadikan project balas budi terhadap para donatur yang menyumbang logistik saat pemilu. Di situ para timses dan partai pendukung ikut ambil jatah. Korbannya adalah petani, petani dan petani. Soal demokrasi, Pak Harto distigmakan sebagai pemimpin yang otoriter. Menggunakan tentara untuk menjaga stabilitas keamanan dan politik pemerintah. Meski begitu, di zaman Orde Baru, tentara nggak masuk kampus, mengejar mahasiswa hanya sampai di pagar kampus saja. Apalagi polisi. Pak Harto berprinsip bahwa kampus adalah tempat bersemainya generasi penerus bangsa. Sebab di kampus inilah masa depan bangsa akan ditentukan. Kalau kampus sudah rusak, maka masa depan bangsa juga pasti akan rusak. Membonsai mahasiswa sama saja merusak benih yang disiapkan untuk masa depan bangsa. Dulu, satu mahasiswa terluka atau ditahan aparat, kampus ramai. Masyarakat sipil hingga dunia internasional bicara. Kematian sejumlah mahasiswa Trisakti berakibat Orde Baru tumbang. Saat ini, entah sudah berapa nyawa mahasiswa jadi korban. Yang terluka, ditahan dan hilang, entah berapa jumlahnya. Hampir 1.000 petugas pemilu yang mati pun sudah dilupakan. Saat ini, rektor dipilih dan ditentukan oleh menteri. Senat hanya mengusulkan sejumlah nama. Siapa yang akan jadi rektor, tangan menteri yang akan memilih. Nggak peduli seorang calon rektor itu mendapat dukungan paling sedikit di senat. Menteri mau, kepilihlah dia. Nah, menteri pasti akan memilih calon yang loyal dan bisa dikendalikan. Siapapun dia. Dan di tangan rektor, para dekan dipilih. Senat fakultas tak punya hak lagi. Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa kampus sangat terkendali. Mahasiswa dan semua sivitas akademika terkendali. Jangan heran kalau ada rektor meminta para mahasiswa baru menandatangani pakta integritas, yang salah satu isinya tentang kesediaan mahasiswa untuk tidak ikut berpolitik. Pers di zaman Orde Baru memang dibatasi. Tetapi tidak ditekan habis, sehingga harus seragam pemberitaannya. Media, terutama media mainstream, sekarang tiarap. Colak colek penguasa, ijin usahanya bisa dicabut. Kasus pajak bisa terungkap. Indonesia menganut politik bebas aktif. Pak Harto masih cukup berwibawa di setiap pertemuan dan panggung global. Indonesia punya identitas dan jati diri di mata dunia internasional. Ini bukti bahwa kedaulatan negara terjaga. Bandingkan dengan sekarang, seperti apa? Rasakan sendiri. Soal pembangunan infrastruktur, ada program repelita. Semua terencana dan terukur sesuai kebutuhan dan kemampuan. Tetap mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. Tidak ugal-ugalan ngutang sana ngutang sini. Kebutuhan masyarakat dan efek pertumbuhan ekonominya di setiap perencanaan pembangunan. Tidak ngasal dan mengumbar nafsu. Kata temen saya yang pernah jadi menteri, "dua project yang potensi korupsinya paling gede dan relatif tidak ketahuan yaitu di migas dan di pembangunan infrastruktur". Ini yang terjadi sekarang. Korupsi? Jika di zaman Orde Baru korupsi terbatas di elit, sekarang korupsi dilakukan berjama'ah. Alias ramai-ramai dan kompak. Hampir di semua lini. Jika di masa Orde Baru korupsi sembunyi-sembunyi, saat ini korupsi terang-terangan. Nggak ada malu-malunya. Ada anekdot populer, "di masa Orde Baru korupsi hanya terjadi di bawah meja. Saat ini mejanya pun ikut dikorupsi". Anekdot ini seolah mengklarifikasi adanya regulasi yang sengaja disiapkan untuk memperlancar korupsi. KPK dimatikan melalui revisi Undang-undang No 19 Tahun 2019. UU Minerba makin membuka peluang korupsi di dunia tambang. UU Ciptaker memberi ruang bagi korporasi menindas buruh dan menguasai kekayaan negara. Situasi saat ini membuat rakyat dipaksa untuk membandingkan antara masa Orde Baru dengan masa sekarang. Sebagian menganggap di masa Orde Baru kehidupan berbangsa lebih stabil dan tenang. Enak jamanku To? Penulis adalah Pemerhati Indonesia
Pak Dudung Jangan 'Makar' di PBSI Yaa…
by Rahmi Aries Nova Jakarta FNN - Sabtu (05/12). Pada Jumat (4/12) salah seorang mantan pemain nasional bulutangkis mengunggah fotonya bersama rekan-rekannya sesama mantan pemain nasional dan Pangdam Jaya yang tengah 'naik daun' Mayjen TNI Dudung Abdurachaman. "Terimakasih Pak Panglima @dudung.abdurachman utk main Badminton bareng kita hari ini 🙏🙏🙏 Stay safe, stay healthy & stay happy Pak 🇮🇩🇮🇩🇮🇩" Demikian unggahan yang sayangnya tak bisa saya komentari karena FB saya tengah disuspend. Padahal saya hanya ingin bertanya mengapa Dudung tidak menggunakan masker dalam foto tersebut? Terlihat juga kerumunan melatarbelakangi foto itu, apakah itu tidak menyalahi aturan protokol kesehatan? Fotonya sendiri sangat epic menurut saya, karena pasti kita semua hafal bahwa yang di kiri dan kanan Dudung adalah srikandi-srikandi bulutangkis kebanggaan kita. Kalau dilihat dari banner, istilah keren dari spanduk, yang juga terlihat dalam foto, mereka adalah Komunitas Bulutangkis Indonesia (KBI) yang 'kalah' dalam persaingan pemilihan Ketua Umum PBSI awal November lalu. Mereka gagal meminta Muldoko untuk ikut bersaing, dan terakhir calon yang terpaksa mereka usung pun gagal dalam verifikasi hingga calon dari 'kubu lawan' Ketua BPK Agung Firman Sampurna terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PBSI 2020-2024. Agung sendiri belum mengumumkan susunan pengurus yang akan membantunya nanti. Kabarnya pengumuman pengurus yang semula direncanakan Jumat (4/12), diundur hingga Senin.Yang mengejutkan adalah rumor bakal ditunjuknya Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit sebagai Sekjen PBSI mendatang. Apakah 'bergabungnya' Dudung dengan KBI adalah bagian dari upaya KBI untuk merangsek kembali di PBSI? Dan ditunjuknya Listyo Sigit untuk meredamnya? Entahlah… Karena seperti Dudung yang selalu mencurigai FPI hingga melakukan aksi turun spanduk khusus FPI, saya pun selalu curiga kalau tiba-tiba ada pejabat yang bermain bulutangkis. Karena biasanya mereka ingin jadi ketua… Ha..ha… Penulis wartawan senior FNN.co.id
Catatan Munas PBSI 2020
by Rahmi Aries Nova Chairul Tanjung, "Dahlan Iskan Lebih Pelit dari Saya" Jakarta FNN - Jumat (06/11). Bgitu celoteh Chairul Tanjung saat menyerahkan 'kursi' Ketua Umum Persatuan Bulutangkis Suluruh Indonesia (PBSI) kepada Sutiyoso di Musyawarah Nasional(Munas) dadakan pada 2004 lalu. CT (sebutan Chairul Tanjung) memilih mengakhiri masa jabatannya di PBSI lebih cepat satu tahun dari yang seharusnya. Kabarnya, di tiga tahun ia memimpin PBSI kantongnya 'sobek' karena CT harus mengeluarkan Rp 10 miliar dari kocek pribadinya. Belum lagi telinganya 'gatal' karena hampir tiap saat mendapat kritik, terutama dari Icuk Sugiarto via media. "Saya mungkin kuat, tapi istri saya tidak kuat," ceritanya lagi. Singkat cerita akhirnya dipercepatlah Munas pada tahun itu dengan dua kandidat penggantinya Sutiyoso yang saat itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dan bos Jawa Pos Grup Dahlan Iskan. Kedua kandidat datang ke kongres, tetapi di last minute, Dahlan menyatakan mengundurkan diri dan Bang Yos (sapaan Sutiyoso) pun terpilih secara aklmasi. CT sendiri terlihat lega dan sumringah dengan mundurnya Dahlan Iskan. Penulis sempat bertanya mengapa CT senang Dahlan mundur? "Dahlan Iskan itu lebih pelit dari saya. Bang Yos lebih pas untuk memimpin PBSI," jelasnya sambil tertawa. Dan Bang Yos pun terpilih secara aklamasi. CT mungkin benar, Ketua Umum PBSI tidak boleh pelit. Harus mau keluar uang dari kantong sendiri. Andai tak ingin keluar uang dari koceknya sendiri, berarti harus lihai mencari dana dari sponsor, donatur, atau apapun namanya karena program pembinaan di cabang ini tidak bisa berhenti dan harusnya semakin maju. Untuk itu, butuh dana yang tidak sedikit. Ketua Umum juga tidak boleh tipis kuping, dan anti kritik. Istilah hari ini jangan "baper" dan harus tahan banting pastinya. Meski media saat ini tidak sekejam di era CT, tetapi sebagai cabang favorit pasti PBSI termasuk cabang yang paling disorot media. Itulah dua kriteria minimal yang harus dimiliki kandidat Ketua Umum PBSI 2020-2024 Agung Firman Sampurna. Sejauh ini pengurus PBSI sudah berusaha menjaga 'marwah' organisasi dengan "budaya aklamasinya". Untuk bisa menjadi Ketua Umum PBSI, tak perlu gaduh. Yang terpenting bisa dapat tokoh yang mau berkorban untuk bulutangkis. Kini tinggal kita tunggu apakah Agung Firman yang juga Ketua BPK mampu membuktikan bahwa ia pantas mengemban tugas memimpin cabang paling berprestasi di negeri ini? Atau ia seperti CT yang memilih mundur di tengah jalan karena "pelit" dan "baper", ha..ha..ha… Daftar Ketua Umum PBSI Rochdi Partaatmadja 1951-1952 Sudirman 1952-1963 Sukamto Sayidiman 1963-1965 Padmo Sumasto 1965-1967(2). Sudirman 1967-1981 Ferry Sonneville 1981-1985 Try Soetrisno 1985-1993 Soerjadi 1993-1997 Subagyo Hadi Siswoyo 1997-20019.Chairul Tanjung 2001-2004 Sutiyoso 2004-2008 Djoko Santoso 2008-2012 Gita Wirjawan 2012-2016 Wiranto 2016-2020 ….? 2020-2024 Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.