Antara Kaesang, Raffi, dan Nirwan Bakrie

Apakah mereka bisa seikhlas Nirwan Dermawan Bakrie, sosok yang sudah 40 tahun (sejak awal 1980) jatuh bangun di sepakbola? Tanpa ambisi politik, tidak ingin jadi Ketua Umum PSSI, jadi gubernur, bupati apalagi menteri.

Oleh Rahmi Aries Nova

Jakarta, FNN - FENOMENA baru terjadi di Liga 2. Kasta kedua dalam gelaran Liga Indonesia tiba-tiba diminati orang-orang kaya di negeri ini. Motifnya tentu masih jadi misteri, tapi tidak ada salahnya 'sajiannya' kita nikmati.

Liga 2 yang sebelumnya hanya liga pelengkap, musim ini (kalau jadi bergulir), tampaknya bakal menggeliat. Hal tersebut berkat kehadiran pesohor Raffi Ahmad, putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, dan trah Thohir (kakak adik Garibaldi dan Erick, serta putra Erick, Aga). Kehadiran mereka akan membuat Liga 2 lebih bergengsi dan pasti lebih 'aman'.

Siapa yang berani menghentikan 'mainan' anak presiden kan? Tak akan ada lagi pertandingan yang tidak boleh digelar. Izin dari kepolisian pasti bakal lancar tanpa hambatan.

Soal motif, kepada media semua sih menjawabnya seragam. Terpanggil membenahi sepakbola, suka dan cinta sepakbola...bla...bla...bla.

Soal rencana juga begitu (seragam), akan membangun stadion, membangun akademi sepakbola, membawa timnya lolos ke Liga 1 dan menyumbang pemain untuk tim nasional. Klise.

Tapi di luar itu, baik Raffi, Kaesang, juga trah Thohir pasti punya motif tersembunyi. Bisa motif politik atau ekonomi atau gabungan keduanya. Sah-sah saja.

Simak saja candaan Kaesang saat ditanya mengapa ia membeli 40 persen saham Persis Solo, alias jadi pemilik dengan share terbesar. "Kalau dijawabnya bercanda kenapa saya ambil Persis, mungkin saya ingin menjadi suksesor pak Ketum (Mochamad Iriawan)" canda Kaesang sambil tersenyum, seperti dikutip BolaSport.com.

Yup, syarat jadi Ketua Umum PSSI memang harus berkecimpung di klub. Bisa jadi Kaesang tidak sedang bercanda (berkaca dari sang bapak), karena menjadi Ketua Umum PSSI sarat gengsi dan pijakan yang pas untuk melangkah lebih tinggi.

Sebut saja dua mantan Ketua Umum PSSI yang kini menjadi Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi dan La Nyalla Mahmud Mattalitti yang kini mentereng sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kaesang juga makin pede karena diback-up Erick yang mantan pemilik Klub Italia Inter Milan dan Menteri BUMN. Simbiosis mutualisme yang sempurna.

Kabarnya, kolaborasi keluarga Jokowi dan Thohir menguasai tiga klub di Liga 1 dan Liga 2, yaitu Persis Solo, Dewa (eks Martapura FC) dan 'mungkin' Tim Bhayangkara Solo FC yang sekarang bermarkas di Stadion Manahan.

Pada waktu yang hampir bersamaan Raffi, artis yang dekat dengan Jokowi, juga mengakuisisi Cilegon United hingga klub tersebut berganti nama menjadi RANS Cilegon FC. RANS adalah perusahaan milik Raffi yang utamanya bergerak di bidang content creator. RANS Entertainment yang didirikan Raffi bersama sang istri Nagita Slavina sejak 2015 memiliki lebih dari 20 juta subscriber di kanal YouTube mereka, menghasilkan lebih dari 2000 video dengan hampir 3 miliar viewer.

Raffi mengaku bersama partnernya Rudy Salim, Presiden Direktur Prestige Motocars akan menggelontorkan Rp 300 miliar untuk 'membesarkan' klub milik mereka tersebut. Rans Entertainment dan Prestige Motorcars akan bekerjasama menciptakan arena olahraga berstandar internasional dengan lapangan FIFA Certified berlokasi di Pantai Indah Kapuk 2 Jakarta.

Arena dengan luas 2,7 hektar tersebut rencananya akan menjadi pusat pelatihan berbagai cabang olahraga, bukan hanya sepakbola.

Bagaimana kiprah dan komitmen mereka? Layak kita tunggu. Apakah mereka betul 'ikhlas' terjun ke dunia sepakbola yang penuh dinamika?

Apakah mereka bisa seikhlas Nirwan Dermawan Bakrie, sosok yang sudah 40 tahun (sejak awal 1980) jatuh bangun di sepakbola? Tanpa ambisi politik, tidak ingin jadi Ketua Umum PSSI, jadi gubernur, bupati apalagi menteri.

Tanpa hitungan materi untuk klub, tim nasional, Liga, dan bahkan PSSI. Angka Rp 300 miliar Raffi terbilang kecil kalau dibandingkan dengan yang dikeluarkan Nirwan Bakrie untuk sepakbola nasional.

Pada 1991-1992 Nirwan membangun Stadion Lebak Bulus dengan biaya Rp 100 miliar dengan skema BOT (Built Operate Transfer) 30 tahun dengan Pemda DKI Jakarta. Tapi pada 2012 (baru 20 tahun) sudah dikembalikan kepada Pemda.

Bukannya kecewa dan kapok, justru sebaliknya, Nirwan terus berbuat untuk sepakbola. Pada 2014 demi mendukung pengajuan proposal FIFA Goal Project, PSSI, yang saat itu dipimpin La Nyalla, ia beri hak pengelolaan atas lahan milik Keluarga Bakrie di Sawangan (eks traning center POR Pelita Jaya) seluas 14 hektar selama 20 tahun. Jadilah kawasan itu resmi sebagai National Youth Training Centre (NYTC).

Atas dasar hak pengelolaan itulah, proposal FIFA Goal Project-nya PSSI disetujui FIFA. Kemudian, untuk pertama kalinya dalam sejarah 85 tahun PSSI berdiri, Indonesia akhirnya memperoleh bantuan FIFA Goal Project, berupa lapangan sintetis di NYTC Sawangan seperti yang saat ini terlihat di sana.

Sebelumnya project Primavera, Baretti, juga Uruguay, juga dibiayai 100 persen oleh Nirwan. Ia pun sempat membeli Klub Vise di Belgia dan Brisbane Roar di Australia.

Jatuh bangun yang paling dramatis mungkin terjadi justru saat Nirwan berstatus pemilik klub di Liga Indonesia (yang juga ia besarkan). Meski ia banyak menolong dan menyelamatkan klub-klub yang kolaps dan nyaris bubar, tapi klubnya sendiri, Pelita Jaya, justru tak terselamatkan.

"Nggak ada masalah, ikhlas aja," katanya pada penulis dengan entengnya kala itu.

Tapi, roda memang berputar, jatuh bersama Pelita kini Nirwan justru bangkit bersama Persija.

"Alhamdulillah juara," kata Nirwan seusai Persija mengalahkan Persib 2-1 (agregat 4-1) di Final Leg 2 Piala Menpora, Minggu (25/4).

Roda akan terus berputar, Persija, klub milik Nirwan saat ini, juga klub-klub milik Kaesang dan Raffi akan mengarungi kerasnya kompetisi di masa pandemi ini seusai lebaran nanti.

Semua harus melewati ujian, karena sejatinya 'Sepakbola adalah Sekolah Kehidupan' (Joseph 'Sepp' Blatter, Presiden FIFA 1998-2015). **

Penulis, wartawan senior FNN.co.id.

1117

Related Post