INTERNASIONAL

Reziki Wartawan Politik Meliput Olahraga (Bag. Pertama)

by Emron Pangkapi Jakarta FNN – Jum’at 907/08). Tahun 1981 saya bekerja sebagai wartawan pada Harian Pelita Jakarta. Bidang tugas peliputan adalah Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam). Meliput bidang olahraga adalah benar-benar barang garapan baru bagi saya. Pada akhir 1981, ada pesta olahraga Sea Games di Manila Filipina. Pesta Olahraga negara-megara anggota ASEAN. Harian Pelita menugaskan wartawan olahraga Ahmad Istiqom untuk meliput kegiatan Sea Games di Manila. Tiga hari sebelum pembukaan Sea Games, Istiqom ternyata berhalangan. Istiqom tidak bisa berangkat. Maka harus dicari wartawan pengganti. Sebab seluruh proses administrasi dengan OC Sea Games Manila sudah rapi dan selesai. Tidak ada wartawan olahraga yang siap berangkat. Bahkan sebagian rekan di Harian Pelita, paspor pun belum punya. Redaktur Olahraga Budiman Tos menawarkan saya yang wartawan politik, untuk dua minggu menjadi wartawan olahraga. Pendek kisah, berangkatlah saya ke Manila bersama rombongan SIWO PWI. Ketika itu SIWO PWI dipimpin Sondang Meliala. Menurut Istiqom, ikut rombongan SIWO "aman semua". Tiba di Manila, kami tinggal di Silahis Hotel. Proses administratif semua di tempat ini. Markas wartawan di Press Room Rezal Memorium Stadium. Ada ruangan Indonesia. Tidak terlalu luas dan masih kering dengan fasilitas yang layak untuk wartawan. Zaman itu kirim berita masih menggunakan telex dan sambungan telepon internasional. Belum ada faksimile, modem, email maupun WhatsApp (WA). Telepon di Press Room masih berebut. Di bussiness centre belum ada wartel. Pokoknya semua penuh persaingan. Bahkan jatah makan pun masih rebutan. Di hari pembukaan Sea Games, kami di tribun wartawan Rezal Memorial Stadium di tengah kota Manila. Acara pembukaan sangat meriah. Berbagai atraksi dan parade kontingen gegap gempita. Marching Band Angkatan Laut Filipina membawakan lagu lagu hits, antara lain aransemen lagu Suzana yang lagi ngetop. Upacara diawali Laporan Ketua OC/President Olympiade Filipina Bongbong Marcos. Dilanjutkan dengan sambutan Gubernur Metro Manila Emelda Marcos, dan pembukaan Sea Games oleh Prsiden Ferdinand Marcos. Di tribun juga ada putri presiden, Emee Marcos, yang cantik berkacamata hitam. Terlihat jelas dari tribun wartawan. Saya ingat semua ketua delegasi 'diperkenalkan" oleh Presiden Marcos. Delegasi Indonesia dipimpin Ketua KONI Pusat Sri Sultan Hamengkubuwono IX (mantan Wapres RI). Sejumlah pejabat RI juga hadir, antara lain Menpora Abdul Gafur. Sebagai pendatang baru di rombongan SIWO PWI, saya merasa tersisih. Hampir tidak punya teman. Teman teman wartawan olahraga itu "terkesan ekslusif". Bersaing keras, menyembunyikan info kegiatan. Saya merasa seperti "diplonco". Teruntang-anting. Agak keteteran dan sering ketinggalan info. Hanya satu dua wartawan yang berkenaan mengajak saya jalan bersama. Sekali sekali saya ikut Adhi Wargono, dan Indri. Maklum wartawan olahraga umumnya para senior. Mereka memandang saya sebagai "anak bawang" dengan sebelah mata. Saya sering salah lokasi venues, bahkan pernah tertinggal bis dari lapangan. Akibatnya laporan Sea Games saya tidak terlalu sempurna. Untunglah redaktur Olahraga Harian Pelita bisa maklumi. Akhirnya, saya lebih banyak mendampingi petenis nasional Suzana, yang kebetulan atlet asal daerah Babel. Saya juga kerepotan mengejar jatah SIWO. Titipan "memo" dari Istiqom untuk wartawan kordinator cabor Nurman Chaniago, baru bertemu dua tahun kemudian. Sedih saya. Untunglah ada Calon Ketum PSSI Syarnubi Said (Krama Yudha) dan Sespri beliau Syaiful Anwar Husein. Pak Syarnubi Said manajer Timnas, sedang kampanye untuk menjadi Calon Ketum PSSI. Maka dapatlah saya "sangu" dana transportasi lokal dari Pak Syarnubi. Belakangan Syaiful Anwar Husein jadi sahabat saya hingga akhir hayatnya. Di tengah kerepotan liputan olahraga itu, saya ke KBRI Manila. Nasib baik menghampiri saya. Bisa berkrnalan dengan Prof. Ilyas Ismail, penduduk Filipina asal Aceh yang menjadi staf lokal di KBRI. Beliau adalah guru besar di Philippines University. Banyak buku-buku karangannya, terutama tentang Islam dan perbandingan agama. Berdiskusi saya dengan Pak Ilyas Ismail, membuat saya merasa mendapat tantangan baru. Apalagi waktu itu pemerintah Filipina masih menghadapi pemberontakan MNLF (Front Pembebasan Nasional Moro) pimpinan Nur Misuari. Sebagai wartawan politik, cerita soal MNLF ini bahan liputan yang menarik. (bersambung). Penulis adalah Wartawan Senior dan Politisi PPP.

RUU HIP, PDIP-Jokowi Pecah Kongsi?

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Tak ada angin tak ada hujan, PDIP tiba-tiba menyatakan menolak usulan pemerintah Amerika Serikat (AS) memindahkan ibukota Palestina ke Abu Dis. “PDIP tidak setuju dengan usulan tersebut karena justru hadir sebagai bentuk ketidakadilan baru,” ujar Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam rilis yang disebar ke media Kamis (18/6). Sikap partai, lanjut Hasto, konsisten dengan apa yang diperjuangkan Bung Karno memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Sesuai spirit Dasa Sila Bandung. Pernyataan Hasto yang terkesan ujug-ujug, sekonyong-konyong itu tentu membuat kita sejenak bingung. Ada apa ini? Bukankah isu pemindahan ibukota Palestina ke Abu Dis —sebuah desa dekat Yerusalem Timur ini — merupakan isu yang sudah cukup lama? Usulan itu muncul bersamaan dengan keputusan Israel memindahkan ibukotanya dari Tel Aviv ke Yerusalem. Dari tracking media, Presiden Jokowi pada tanggal 17 Desember 2017 sudah menyerukan agar negara-negara anggota organisasi konferensi Islam (OKI) menolak dan mengecam keputusan Presiden Trump mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Jadi isu itu sudah heboh lebih dari dua tahun lalu. Yang menjadi isu utama pemindahan ibukota Israel. Bukan usulan Abu Dis menjadi ibukota masa depan Palestina. Abu Dis hanya isu kembangan. Mengalihkan tuntutan rakyat Palestina bahwa Yerusalem adalah ibukota sah Palestina. Ya semacam gula-gula dari AS dan sekutunya, termasuk Arab Saudi, bagi rakyat Palestina. Dari sisi media, rilis Hasto itu sesungguhnya tidak layak berita. Karena tidak aktual. Dari teknis media tidak ada newspeg nya. Tidak ada cantolan berita. Bahasa mudahnya, ya masuk kategori berita yang ujug-ujug tadi. Kalau mau aktual, harusnya PDIP memilih isu keputusan Donald Trump memberlakukan UU Hak Asasi Manusia Etnis Uighur. UU itu baru disetujui Trump pada tanggal 7 Juni 2020. Itu baru keren. Baru gagah. Pasti liputannya lumayan besar, dan akan mendapat banyak dukungan. Melalui UU itu pemerintah AS diberikan kewenangan untuk mendeteksi pejabat China yang bertanggung jawab atas "penahanan paksa, penyiksaan, dan kekerasan" terhadap kaum Uighur dan minoritas lainnya. Kelihatannya berita yang muncul sekonyong-konyong itu erat kaitannya dengan kontroversi RUU Haluan Idiologi Pancasila (HIP). RUU usulan PDIP itu sekarang ini ditolak oleh warga sak-Indonesia. Termasuk Presiden Jokowi! Isu Palestina dipilih, walau tidak aktual tapi relatif lebih aman. Keuntungan lain bisa dikait-kaitkan dengan Bung Karno yang rumusan Pancasilanya coba dimasukkan kembali dalam RUU HIP. Sementara isu Uighur, walau aktual jelas langsung menyinggung Cina. Bohir yang sedang membiayai berbagai infrastruktur di Indonesia. Banyak kepentingan politik di negara tirai bambu itu. Juga kepentingan oligarki yang didominasi para taipan. Tujuan dan target politik yang ingin dicapai sudah bisa diduga. Tidak terlalu sulit membacanya. Pertama, PDIP ingin mengajuk hati rakyat, khususnya umat Islam. PDIP bukan musuh umat Islam. Justru mendukung sepenuhnya sikap umat Islam dan para pegiat HAM. Sikap AS harus dikecam. Harus dilawan. Jadi musuh bersama. Kedua, memulihkan kerusakan politik yang sudah terjadi.Tidak benar bahwa PDIP anti agama. Tidak benar PDIP mendukung kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI). Beberapa hari sebelumnya Ahad (14/6) Hasto juga membuat rilis. PDIP setuju mencantumkan TAP MPRS No XXV tahun 1966 Tentang Larangan PKI, dan menghapus pasal yang memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Hanya saja PDIP masih mencoba menawar. Partainya, kata Hasto, menyetujui penambahan klausul larangan terhadap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila seperti marxisme- komunisme, kapitalisme-liberalisme, radikalisme serta bentuk khilafahisme. Coba perhatikan frasa kata radikalisme dan khilafahisme. Frasa itu dimasukkan berbarengan dan sejajar dengan marxisme-komunisme. Selama ini umat Islam merasa radikalisme-khilafahisme merupakan frasa yang digunakan pemerintah dan khususnya PDIP untuk memojokkan. Membuat umat Islam seakan-akan anti Pancasila. Pasti banyak yang belum lupa ketika memperingati Pekan Pancasila bersamaan dengan peringatan hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2017 muncul slogan “Saya Pancasila, Saya Indonesia.” Slogan ini diperkenalkan oleh Presiden Indonesia Joko Widodo dalam status di akun Instagram-nya pada 26 Mei 2017. Tagar #SayaPancasilaSayaIndonesia bergema dimana-mana. Kampanye ini dirancang oleh Badan Ekonomi Kreatif. Sekarang yang terjadi malah terbalik. Melalui RUU HIP justru PDIP yang mendegradasi Pancasila. Dari sumber segala sumber hukum, diturunkan derajatnya hanya sekelas UU. Ikut buang badan Kontroversi RUU HIP ini benar-benar membuat PDIP babak belur. Dalam Bahasa Rocky Gerung “Banteng sedang kejeblos gorong-gorong.” Bukan hanya parpol pendukung pemerintah yang balik badan menarik dukungan. Pemerintah melalui Menkopolhukam Mahfud MD mengembalikan RUU itu ke DPR. Presiden Jokowi malah melangkah lebih jauh. Dia bertindak cepat, bertemu sejumlah senior purnawirawan TNI di Istana Bogor, Jumat (19/6). Para purnawiran TNI-Polri dipimpin mantan Wapres Try Sutrisno menolak RUU HIP. Tidak dicantumkannya TAP MPRS tentang larangan PKI membuat tanduk para senior TNI langsung berdiri. PDIP dinilai sudah nekad menabrak The biggest taboo. Isu PKI ini benar-benar tidak boleh dilanggar. Kepada para purnawirawan, Jokowi menegaskan "Ini (RUU HIP) 100 persen adalah inisiatif dari DPR, jadi pemerintah tidak ikut campur sama sekali," ujarnya dikutip dari rilis Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden. Pemerintah juga dengan tegas menutup pintu terhadap komunisme. “Pemerintah tidak pernah ragu,” tegasnya. Langkah politik dan pernyataan Jokowi ini merupakan pukulan telak dan beruntun bagi PDIP. Kalau melihat gaya politik Jokowi, ada kemungkinan Jokowi juga akan segera bertemu dengan Ormas-ormas keagamaan dan elemen penting penentang RUU HIP. Meredam gejolak, dan --meminjam istilah anggota DPR dari PDIP Aria Bima-- buang badan. Banteng moncong putih itu benar-benar ditinggalkan sendirian oleh sekutunya. Yang lebih menyedihkan kini “Petugas Partai” yang ditempatkannya sebagai presiden juga memilih posisi berseberangan. Inilah untuk pertamakalinya Jokowi menyatakan secara terbuka menentang sikap dan pilihan politik PDIP. Sebaliknya PDIP tampaknya juga sudah tampaknya mulai gerah dengan Jokowi. Bila kita cermati dari empat poin rilis Hasto soal Palestina, detil-detil poinnya merupakan sindiran halus kepada Presiden Jokowi. Hasto menggunakan pintu masuk isu Palestina untuk megembalikan ingatan publik saat Indonesia dipimpin oleh Presiden Soekarno dan kaitannya dengan Pancasila. Saat itu Indonesia dengan semangat politik yang bebas aktif, berperan besar dalam berbagai gerakan menentang imperialisme dan mewujudkan perdamaian dunia. Saat dunia mengalami krisis, muncul ketegangan di berbagai belahan dunia, maka seharusnya Indonesia mengambil peran. Sebuah peran yang pernah dimainkan oleh Bung Karno. Sayangnya dalam penilaian Hasto, saat ini energi bangsa lebih banyak terkuras ke dalam. Penuh hiruk pikuk siapa dapat apa. Semangat outward looking sebagaimana pernah digelorakan dan diperankan Bung Karno harus dikembalikan. Indonesia harus kembali mengambil tanggung jawab tersebut. “Sebab di tengah berbagai sikap dan tindakan elite yang terlalu melihat ke dalam, energi bangsa terkuras dan melupakan tanggung jawab Indonesia bagi dunia,” tegas Hasto. Kritik atau tepatnya otokritik Hasto sangat pas menggambarkan posisi Indonesia di bawah Jokowi. Situasi politik dalam negeri hiruk pikuk dengan isu-isu yang memecah belah bangsa. Contoh terbaru adalah kontroversi RUU HIP. Peran Indonesia dalam kancah internasional benar-benar mundur ke belakang. Boro-boro menjadi pemimpin dunia. Presiden Jokowi bahkan tercatat lima kali berturut-turut tidak hadir dalam Sidang Majelis Umum Dewan Keamanan PBB. Apakah krisis politik akibat RUU HIP ini akan menjadi langkah awal yang nyata pecah kongsi PDIP-Jokowi? End Penulis Wartawan Senior

Hentikan Perbudakan ABK di Kapal China

by Jamaludin Suryohadikusumo Jakarta FNN – Sabtu (13/06). China merupakan pasar kerja terbesar sektor perikanan dan pelayaran. China merupakan industri perikanan terbesar di dunia. Memiliki ribuan jumlah kapal ikan dan menjadikan China sebagai negara penghasil ikan nomor satu di dunia. Tidak dapat dipungkiri bahwa hampir mayoritas dari kapal perikanan asal China menggunakan Anak Buah Kapal (ABK) yang berasal dari Indonesia. Tiap tahun diperkirakan puluhan ribu ABK Indonesia berangkat kerja di kapal ikan China,. Mereka berangkat melalui mining agency di Jakarta ataupun di daerah. Dengan kata lain, China hasil perikananya banyak ditopang oleh tenaga kerja dari Indonesia. Untuk itu, Pemerintah Indonesia jangan hanya menyalahkan maning agency jika terjadi kasus ABK yang bekerja di kapal China. Pemerintah harus melakukan introspeksi apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada warganya? Kalau Tenaga Kerja Asing (TKA) China dilindungi pemerintah Indonesia. Mestinya TKI kita juga diberikan jaminan pelindungan oleh pemerintah China. Namun peran ini harusnya dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Bukan oleh swasta. Pemerintah harus menghapus berbagai aturan yang tumpang tindih mengenai penempatan ABK kapal. Kebijakan yang mengakibatkan ABK jadi korban. Jika tidak segera dilakukan perbaikan terhadap kebijakan yang tumpang tindih ini, maka sebenarnya pemerintah sudah ikut menyumbang kondisi keberadaan ABK yang tidak terlindungi selama ini. Upaya perlindungan harus dilakukan secara komprehensif dari hulu ke hilir. Target akhirnya untuk memastikan perlindungan kepada ABK, baik sebelum penempatan maupun ketika bekerja. Bahkan hingga purna penempatan kelak. Apa gunanya melakukan perlindungan di dalam negeri, jika pemerintah tidak bisa negosiasikan aturan perlindungan tersebut ke negara penempatan. Hingga kini, sudah ada beberapa perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh Indonesia dan China. Penandatanganan nota kesepahaman bersama atau Memorandum of Understanding (MoU) tersebut dilaksanakan di Great Hall of The People, Kamis 26 Maret 2015 lalu. Penandatangan MoU ini disaksikan pula oleh Presiden Joko Widodo dan Presiden China Xi Jinping. Terdapat delapan MoU kerja sama Indonesia dengan China yang telah ditandatangani oleh kedua negara. Kasus perbudakan yang terjadi di kapal China yang mencuat beberapa waktu lalu jangan sampai terulang kembali. Kausu ini harus dijadikan sebagai momentum pemerintah untuk meningkatkan bargaining tenaga kerja Indonesia. Upaya ke arah itu bisa dilakukan melalui saluran-saluran diplomasi. Untuk meningkatkan perlindungan warga Negara. Jika pemerintah mau melindungi TKA China yang datang ke Indonesia. Bahkan ada kecenderungan pemerintah pasang badan untuk mereka TKA China. Apakah ada pejabat China yang mau pasang badan untuk memberikan perlindungan kepada TKI kita di China? Pemerintah harus membangun sistem perlindungan TKI. Paling kurang melakukan negoisasi ulang dengan pemerintah China. Tujuannya, agar warga negara yang bekerja di China, khususnya di kapal ikan mendapatkan jaminan perlindungan hukum ketika bekerja di sana. Pemerintah harus membangun MoU sebagai payung kerjasama yang mencakup aspek perlindungan menyeluruh terhadap hal-hal ABK kapal ikan. Yang menjadi dasar MOU antara Mining Agency User (ownership). Penulis adalah Ketua Bidang Buruh dan Pekerja MPN Pemuda Pancasila

Disunited States of America

By Asyari Usman Jakarta FNN - Sabtu (06/06). Slogan Donald Trump terinjak-injak di tengah gelombang penjarahan di seluruh pelosok United States of America (USA). “Make America Great Again” kini terancam menjadi “Make America Grain Again” (alias Membuat Amerika Menjadi Tepung Kembali). Persis. Amerika Serikat (AS) menjadi tepung. Gara-gara perlakuan kejam terhadap George Floyd (GF). Warga kulit hitam ini mati di tangan seorang polisi kulit putih yang menangkapnya. Rekaman video peristiwa ‘injak batang leher’ itu sangat dahsyat kekuatannya. Menyulut amuk massa yang luar biasa besar. Di seluruh Amerika. Selama berhari-hari. Disertai dendam penjarahan (looting). Suasana saat ini sama seperti ketika pejuang hak sipil kulit hitam, Marthin Luther King Jr (MLKJ) terbunuh pada 1968. Bedanya, pada waktu itu, bentrokan yang terjadi adalah antara warga kulit hitam dan orang kulit putih. Sedangkan bentrokan yang terjadi hari ini adalah antara warga kulit hitam plus warga kulit putih lawan polisi dan tentara. Bahkan, kata Martin Luther King III, anak MLKJ, dalam unjukrasa 2020 ini lebih banyak orang kulit putih yang turun ke jalan ketimbang orang kulit hitam. Tetapi, bagaimama pun juga, aksi ptotes kematian Floyd pastilah akan mengusik kembali hubungan rasial di AS. Dan bisa-bisa terjadi proses ‘rewind’ 1968. Meskipun ‘equality of rights’ (persamaan hak) dan ‘equality before the law’ (persamaan di mata hukum) di AS boleh dikatakan sudah terbangun kokoh. Rasisme masih ada. Baik di lingkungan birokrasi, lingkungan pendidikan, maupun lingkungan bisnis. Begitu juga di bidang olahraga. Banyak yang berpendapat bahwa di era Presiden Donald Trump ini, rasisme merasa mendapatkan siraman pupuk. Misalnya, di tengah pembicaraan tentang rasisme di AS sedang ramai saat ini, suara Trump tidak terdengar sama sekali. Sudah banyak perusahaan besar, manajer senior, atlet, politisi, dlsb, mencela keras rasisme. Namun, Trump masih membisu. Padahal, dia sendiri dulu sering mengeluarkan ucapan yang bernada rasisme. Itu semua belum dia ‘delete’. Presiden memang menjanjikan bahwa keadilan akan ditegakkan dalam kasus Floyd. Tetapi, tidak ada kecaman dia terhadap peristiwa kekerasan ‘putih-hitam’ yang menunjukkan bahwa rasisme di AS masih belum padam. Mungkin, itulah sebabnya dalam beberapa hari ini unjukrasa publik terarah ke Trump. Banyak orang yang menginginkan dia lengser. Tetapi, Trump juga punya pendukung yang kuat. Boleh jadi dia merasa rakyat AS masih setia kepadanya. Inilah yang masih perlu dilihat setelah hurahara kematian Floyd mereda. Dalam situasi rumit seperti sekarang ini, biasanya presiden AS mana pun akan tampil mengutuk rasisme. Loud and clear. Keras dan lantang. Entah apa yang membuat Trump ‘mengurung’ diri dari perdebatan luas tentang hubungan rasial yang sedikit-banyak sedang terganggu saat ini. Barangkali saja, Trump tidak menghiraukan dampak jangka panjang peristiwa ini. Presiden seharusnyalah melihat bahwa kematian Floyd bisa memantik perpecahan yang signifikan. Konsekuensi Floyd tidak hanya “Make America Grain Again” tetapi bisa juga mendorong United States of America (USA) ke sisi Disunited States of America (DSA). Tentu bukan ‘union of states’-nya yang bubar, melainkan pengkotak-kotakan rasialnya yang mengeras lagi. Wallahu a’lam. Penulis Adalah Wartawan Senior

Lumayan, Bisa Menonton Cara Kerja Akal Sehat di Amerika

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Penjarahan dan tindak kekerasan yang melanda seluruh pelosok Amerika Serikat. Tentu saja bukan akal sehat. Semua ini tidak dapat dijustifikasi. Tetapi, ada “akal sehat” lain dalam rangkaian aksi protes yang disulut oleh kematian George Floyd di tangan seorang polisi kulit putih. “Akal sehat” itulah yang tidak ada di negeri seperti Indonesia. Yaitu, reaksi yang seragam dari warga yang berbeda pilihan politik terhadap kesewenangan negara. Kesewenangan aparat hukum. Kasus penyiksaan dan kematian George Floyd membawa semua orang, tanpa kecuali, berkumpul di satu front –yaitu, front anti kesewenangan. Sebagaimana di sini, di Amerika pun ada “cebong” dan “kampret”. Katakanlah saat ini pendukung Donald Trump dan Partai Republik ada di posisi “cebong” dan pendukung Demokrat di posisi “kampret”. Tetapi, ketika kesewenangan dan ‘abuse of power’ dilakukan oleh aparatur negara, cebong dan kampret Amerika menjadi bipartisan. Rakyat menjadi satu suara. Mereka, dengan “akal sehat” aslinya –“akal sehat” nuraninya-- turun ke jalan. Cebong dan kampret Amerika sama-sama unjukrasa. Mereka menyampaikan pesan bahwa kesewenangan tidak punya tempat di Amerika. Tidak punya tempat di kubu cebong maupun di kubu kampret. Kemarin, ada yang bertanya di grup: siapa elit yang berhasil menghimpun kekuatan sipil di AS. Saya jawab singkat: di AS atau Eropa, demo besar berhari-hari bisa terjadi tanpa ada pimpinannya. Tanpa ada koordinator. Dan tanpa biaya. Kok bisa? Karena setiap orang dipimpin oleh akal sehat masing-masing. Kesewengan terhadap siapa pun akan dijadikan musuh bersama. Mereka turun bersama tanpa atribut kelompok. Itulah hakikat akal sehat dalam berbangsa dan bernegara. Berbeda dengan akal sehat cebong di negeri kita ini. Bagi cebong di sini, semua kesewenangan yang dilakukan oleh para penguasa hukum, penguasa politik, penguasa ekonomi-bisnis, dan lain sebagainya, tidak akan pernah dilihat sebagai kesewenangan. Sebaliknya, para cebong akan menyebutnya sebagai “keadilan dan keberhasilan”. Bagi kubu cebong Indonesia, keadilan adalah “penindasan terhadap lawan politik”. Kubu cebong di sini memberikan dukungan dan tepuk tangan gemuruh terhadap kesewenangan aparat negara. Pastilah sikap seperti ini akan melembagakan permusuhan yang sengit. Dan mungkin juga menggoreskan dendam yang dalam. Bisa jadi tidak akan berkesudahan. Apalagi para penguasa sengaja memelihara konflik itu. Jadi, Indonesia memang sedang rusak berat. Akal sehat tidak dihiraukan. Implementasi prinsip demokrasi hari ini disesuaikan dengan kesewenangan para penguasa. Jangan harap Anda akan menyaksikan front bersama rakyat bipartisan yang akan menghasilkan kekuatan dahsyat melawan kesewenangan. Tak mungkin! Selagi kubu cebong belum waras. Tapi, lumayanlah, saat ini Anda bisa menonton cara kerja akal sehat di Amerika Serikat. Penulis adalah Wartawan Senior

Seandainya George Floyd Itu Orang Indonesia

By Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (04/06). Dunia tahu, George Floyd itu orang Amerika. Warga kulit hitam yang terbunuh oleh seorang polisi Amerika. Seluruh dunia menjadi geger. Demo terjadi tidak saja di hampir seluruh Amerika, tetapi juga di sejumlah negara Eropa. Satu nyawa melayang telah menghebohkan dunia. Tidak saja demo, penjarahan dan kerusuhan bahkan marak di sejumlah negara bagian Amerika. Rakyat Amerika marah. Masyarakat dunia juga marah. Mereka marah untuk membela Floyd. Dunia marah untuk melawan kedzaliman dan kesewenang-wenangan aparat negara. Mereka turun ke jalan untuk menuntut keadilan. Melihat fenomena Floyd ini, saya teringat Indonesia. Sebuah negara subur yang rakyatnya nggak pernah makmur. Di negara Pancasila ini harga nyawa tak semahal di Amerika. Banyak pembunuhan yang tidak terungkap. Banyak kematian misterius yang berlalu begitu saja. Penculikan dari satu rezim ke rezim yang lain, lewat begitu saja. Ada 894 petugas KPPS yang meninggal dunia. Seorang dokter coba mengusut, justru mendapat teror. Bahkan dianggap menebar berita bohong. Tragisnya lagi, terancam untuk diperkarakan. Mahasiswa dan demonstran mati. Namun tidak mudah untuk sekedar mengucapkan bela sungkawa. Apalagi sampai mau membela. Baru-baru ini, dua orang petani di Poso, Sulawesi Tengah ditembak mati saat lagi bakerja di kebun. Sebelumnya, ada dua orang yang juga ditembak mati di daerah yang sama. Sampai sekarang belum juga terusut. Padahal dua lagi sudah menyusul, mati ditembak. Nggak jelas juga. Apakah itu peluru resmi, atau selundupan? Baru bisa terungkap jika para pelaku tertangkap. Soal tangkap-menangkap, dinamikanya terkadang rumit. Bergantung siapa pelakunya yang mau ditangkap. Bergantung juga siapa yang mau menangkap. Tak jarang terjadi adu kuat dalam soal tangkap-menangkap. Harun Masiku adalah contoh yang belum bisa hilang dari memori rakyat negeri ini. Rumit sekali untuk menangkap Harus masiku. Coba saja kalau anda yang main suap, pasti gampang ketangkap. Di negeri ini, tampaknya tak semua pelaku pembunuhan bisa terungkap. Apalagi cuma teror seperti yang dialami oleh Prof. Dr. Ni'matul Huda, guru besar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta. Hal yang sama dialami empat orang dari kampus UGM yang berencana mengadakan seminar bertajuk "Persoalan Pemberhentian Presiden Di Era Pandemi Ditinjau Dari Sistem Ketatanegaraan". Dari cerita media, teror ini kelihatan sangat Terstruktur Sistematis dan Masip (TSM). Banyak yang menduga, teros di kampus UGM ini dilakukan oleh kelompok yang profesional. Namun siapa saja mereka? Sebaiknya kita tunggu kabar lagi dari aparat kepolisian. Kembali pada soal George Floyd. Dia beruntung, karena dia warga negara Amerika. Setidaknya, banyak yang belain dia. Coba saja, seandainya Floyd itu warga negara Indonesia, pasti lain ceritanya. Tak akan banyak yang peduli. Apalagi sampai turun ke jalan untuk membela. Bukan karena rakyat Indonesia nggak peka dan tak punya rasa kemanusia. Namun lebih karena rakyat yang takut. Banyak sekali peristiwa akhir-akhir ini yang membuat rakyat semakin takut. Paling-paling cuma berani "ngedumel" di medsos. Itupun sambil was-was. Seringkali terjadi para pembongkar kejahatan justru dilaporkan. Ujung-ujungnya malah dijebloskan ke dalam penjara. Tragis nasib mereka yang membongkar kejahatan. Karena memilih aman, banyak orang akhirnya diam melihat kejahatan terjadi di depan mata. Demi menjauh dari risiko. Sambil ngelus-ngelus dodo dan berbisik sendiri. Oh negeriku... Oh..bangsaku... Akibatnya, kedzaliman pun bebas beroperasi tanpa ada rasa takut. Apalagi kalau parlemen juga diam, atau malah ikut ambil bagian. Maka sempurna jadinya. Meminjam istilahnya Prof Din Syamsudin, disinilah kemungkaran terstruktur terjadi. Nasib Floyd beda dengan nasib para mahasiswa, demonstran, buruh dan petani di Indonesia. Kematian Floyd telah ditulis oleh sejarah bangsanya. Bahkan ditulis oleh sejarah dunia. Tak menutup kemungkinan menjadi trigger bagi perubahan sejarah dan peradaban negara Paman Syam itu. Tak mustahil Donald Trump, presiden Amerika pun bisa jatuh karena satu nyawa seorang kulit hitam bernama George Floyd. Melalui tulisan ini saya hanya ingin mengatakan bahwa demokrasi itu bisa tegak dan berarti jika satu suara rakyatnya dihargai. Apalagi satu nyawa. Satu nyawa di negara demokrasi sama harganya dengan nyawa seluruh anak bangsa tersebut. Bangsa yang tidak dapat menghargai nyawa rakyatnya adalah bangsa yang sulit untuk membangun peradabannya. Jika ada suatu bangsa mengaku penganut demokrasi, tapi tak menghargai nyawa manusia, maka bangsa itu adalah bangsa pendusta. Dan demokrasinya adalah demokrasi dusta juga. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Muakanya Ketidakadilan, Amerika Dilanda Demonstrasi Besar

By Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Setelah sekitar satu dekade kebebasan semu, kondisi serupa perbudakan dihidupkan kembali lewat perjanjian Utara-Selatan yang memungkinkan kriminalisasi secara efektif bagi orang kulit hitam. Lelaki kulit hitam yang berdiri disudut jalan bisa ditangkap karena menggelangdang atau karena percobaan perkosaan, jika dituding memandangi wanita kulit putih dengan cara yang salah. Dan sekali dipenjara, tipis sekali peluangnya bisa selamat dari sistem “perbudakan dengan nama lain” (Noam Choamsky) Jakarta FNN – Kamis (04/06). Muak, muak dan muak. Ini benar-benar menjadi kata terpilih yang paling tepat mewakili suasana hati demonstran Amerika sepanjang satu minggu ini, siang dan malam. Black Live Matter, No Justice, no peace, Justice for Floyd, Racism is enough menggema menyatukan demonstran, berkulit hitam dan putih. Benar-benar menarik. Demonstran berkulit hitam dan putih melebur dalam, bukan parade, tetapi demonstrasi. Praktis delapan hari ini setelah kematian George Floyd, pria kulit hitam itu, menjadi hari penuh olok-olok kehebatan demokrasi dan rule of law di Amerika. Demonstran itu membuka mata dunia agar tak terlalu bodoh membebek pada rule of law dan demokrasi Amerika. Dunia harus cermat mengenal canggihan demokrasi payah yang diekspor Amerika ke luar negeri. Demonstran menunjukan ada masalah besar dalam sistem hokum. Yang suka atau tidak, merupakan kristalisasi sosial politiknya. Rancangan Tidak Adil Republik bercitarasa imperial, mungkin harus dipertimbangkan untuk lebih sering disematkan pada negeri itu. Delapan hari yang lugas disepanjang jalan yang dilalui demonstran, jelas untuk konteks itu. Ketidakadilan sistemik telah mematikan, memeluk semua orang. Dan orang hitam muncul sebagai korban paling popular, dengan rasa sakit yang sangat pahit. Bisa dibayangkan bila pria kulit hitam menatap wanita kulit putih, entah apa namanya saja, bisa menjadi sebab berurusan dengan Polisi. Mau disebut apa sistem itu? Untuk alasan apapun, tidak dapat disebut tipikal demokrasi. Tidak. Ini lebih buruk dari abad orang-orang diperjual-belikan awal abad ke-17 dulu. Orang hitam memang bukan pribumi negeri itu. Orang Indianlah yang pribumi. Dimana mereka sekarang dan bagaimana orang hitam sampai di negeri harapan ini? Itu saja telah menjadi soal. Dan ini, menandai filsafat John Locke yang menginspirasi para pembuat UUD negeri itu hanya bekerja secara parsial. Perlakukan yang sepenuhnya sesuai tradisi Spanyol dan Inggris, kepada orang hitam, jelas. Mereka adalah barang, komoditi yang diprdagangakan. Begitu tradisi lama kedua negara ini. Spanyol dan Inggris – muncul dalam dunia perdagangan saat itu – awal abad ke-17- sebagai pedagang manusia. Orang-orang kulit Hitam dijadikan barang dagangan. Mereka diperdagangkan oleh korporasi-korporasi Spanyol dan Inggris. Perdagangan ini disetujui oleh raja-raja mereka. Itu menjadi sebab satu-satunya orang-orang kulit hitam berada di Amerika. Tidak lebih dari itu. Danisse Spillberg menulis, di tahun 1619, dua puluh budak tiba di Viriginia. Jumlah ini meningkat menjadi 120.156 jiwa. Siapa, korporasi apa yang leading dalam urusan ini, tidak dijelaskan oleh Deniese. Kajian ini justru muncul dalam perspektif analogis pada kajian Nathanael Kreimeyer. Kajian post graduate bidang sejarah pada Liberty University, yang Kreimeyer lakukan ditemukan Virginia Company sebagai pelopor. Mirip VOC di Indonesia, Virginia Company membentuk House of Burgeses pada tahun 1619, diisi oleh orang freeman and freeholder, ya ordinary atau nobleman. Sepanjang tahun 1607-1625 Virginia Company mengatur Virginia. Okupasi ini berakhir setelah kerajaan Inggris mengambil alih pada tahun 1625, dan memerintahnya hingga tahun 1776. Lalu bagaimana menjelaskan kenaikan jumlah budak di Amerika yang disebut Deniele? Lama setelah tahun-tahun, awal kejayaan Virginia Company, Royal African Campany memasuki perdagagan di Africa. Bermotif itu, Royal Afican Company (RAC), mendorong pembentukan An Act to the Settle Trade to Africa 1698. Studi Francis Horrigan, menunjukan dengan sangat tepat Royal African Comopany memperjualbelikan orang-orang hitam dari Afrika. Didatangkan sebagai barang. Bukan sebagai manusia, sehingga mengakibatkan mereka terus berstatus sebagai barang milik para tuan-tuan kebun. Status itu terus menandai mereka setelah Amerika beralih dari konfederasi ke Serikat tahun 1789. Mereka, jadinya tak terkonsep oleh Thomas Jefferson sekalipun sebagai manusia mulia. Gema kemuliaan hanya untuk orang kulit putih. George Washington dan Thomas Jefferson, dua pria Virginia yang menjadi Presiden pertama dan Ketiga Amerika, dalam identifikasi Deniese A. Spilberg pada buku Kontroversi Al-Qur’an Thomas Jefferson’s, juga memiliki budak kulit hitam. George Washington memiliki tidak kurang dari 300 budak. Thomas Jefferson memiliki budak sebanyak 187. Thomas Jefferson, pria penulis deklarasi kemerdekaan Amerika, dan sejumlah piagam hak asasi manusia itu, bukan tak berusaha menghentikan perdagangan buruk ini, tulis Deniese. Tetapi dia gagal. Menariknya, kedua orang ini berbeda lagi dalam kebijakan pribadinya terhadap budak. Washington, tulis Deniese selanjutnya, dalam wasiatnya memerdekakan semua budaknya. Bagaimana dengan Thomas Jefferson? Menurut Deniese Jefferson, pria yang memiliki dan mempelajari Al-Qur’an, dan mempelajari hukum Islam, khusus hukum Waris Islam untuk kepentingan pembelaannya, hanya memerdekakan tiga orang budak sepanjang hidupnya. Politik rasis ini memicu perang saudara, Utara-Selatan. Perang yang hempir saja membelah negara itu pada awal pertengahan abad 19. Pada tahun 1830-an, tulis Doktor Grier Stephen, pengajar Franklin and Marshal College, hukum-hukum menagar bagian mengatur syarat, untuk memiliki sejumlah harta untuk kulit putih lelaki bisa memilih, dihilangkan. Tetapi tidak untuk kaum kulit hitam. Kelak Amandemen konstitusi pada tahun 1865, setelah perang saudara berakhir, syarat kepemilikan harta yang semula hanya ditujukan pada kulit putih, diberlakukan juga unutk kulit hitam. Tetapi segera muncul syarat baru yang lain. Syarat baru ini mengakibatkan kulit hitam tak bisa memilih. Syarat itu adalah sebelum tanggal 1 januari 1868, pemilih harus menguikuti tes melek huruf untuk dirinya dan keturunannya. Grier menulis, syarat ini jelas mengakibatkan orang hitam tak bisa memilih. Diskriminasi kepada kulit hitam berlangsung terus hingga mendekati akhir abad ke-20. Memisahkan orang hitam dari putih secara fisik dalam banyak hal, itulah Amerika hingga akhir abad ke-20. Hakim-hakim Agung, termasuk Oliver Wendel Holmes, sering diterima dengan nada pujian di Indonesia sebagai juris top. Dia berada pada blok ini dalam memutus beberapa kasus tahun 1915. Holmes misalnya menolak argument McCabe yang memperkarakan Atchison, Topeka & Santa Fe Railway Co. McCabe berpendapat “separate but equal” adalah cara memebri akses pada kulit hitam menikmati kereta api. Tetapi ini ditolask oleh pengadilan. Pengadilan di sisi lain, pada kasus lain membenarkan hak Polisi menjaga keamanan, untuk mencegah kekerasan rasial. Grier menulis namun saat 1960-an, bergulir di Selatan hanya satu dari empat orang kulit hitam yang memenuhi syarat untuk memilih yang terdaftar. Dan yang akhirnya pergi ke tempat pemilihan lebih kecil dari jumlah tersebut. Perjuangan di dua medan ini baru benar-enar mencapai operubahan yang menggembirakan pada tahun 1965. Pada tahun itu Amerika mengamandemen konstitusi yang ke-24. Dalam amndemen ini diatur larangan memberlakukan pajak pemilihan umum tingkat federal. Dua tahun kemudian Mahmakah Agung menggugurkan ketentuan tentang persyaratan pemungutan pajak untuk pemilihan federal. Segera setelah itu Amerika membentuk UU tentang Hak-hak Pemungutan Suara, Voting Rights, tahun 1965. Indonesia Baik Saja Tetapi justru di titik itulah menariknya negeri ini. Mengapa? Pertama, bukan hanya telah memungkinkan orang kulit hitam memasuki pekerjaan politik dan official, tetapi lebih dari itu. Belum lama Amerika berjaya dengan kulit hitam, Tuan Barack Obama, berada di puncak politik Amerika. Dia jadi Presiden. Sudah berkulit hitam, dicurigai muslim pula. Beristrikan wanita berkulit hitam juga, tetapi tetap bisa menduduki kursi presiden, terlihat cukup mengagumkan. Tuan Obama pasti juga dipilih oleh kulit putih, entah karena terbuai kemampuan retoris yang hampir melebihi Abraham Lincoln mendekorasi kata demi kata, atau karena Joe Biden, itu soal lain. Apapun itu, mereka berbaris bersama di barisan Tuan Obama. Lalu mengapa masa 10 tahun yang hebat itu, melayang bersamaan datangnya pemimpin baru? Sebelum Obama berkibar di puncak politik negeri ini, Keith Ellison, pria kulit hitam beragama Islam, lebih dahulu berkibar di Kongres. Orang kulit hitam lainnya juga berkibar di pemerintahan lokal dan kongres ini. Ini hebat. Kedua, nampak berkorelasi dengan kepemimpinan. Presiden Eishenhower memiliki kata yang begitu indah, kuat daya rekatnya untuk bangsa itu ketika ia meresmikan Masjid Pusat Islam di Ibu Kota negara tahun 1957. Presiden Eishehower juga yang mengirim pasukan Garda Nasional untuk memaksa Orval Eugene Vaubus, gubernur negara bagian Arkansas, memenuhi putusan Mahkamah Agung. Putusan itu menyatakan segregasi soal kulit hitam dan putih di dunia pendidikan adalah kebijakan yang inkonstitusional. Tuan Obama lama sesudah itu bicara dalam nada universalitas kemanusiaan yang hebat ketika mungkinkan pendirian Masjid di bekas Ground Zero. Semuanya terlihat berbeda pada era Tuan Trump berkuasa. Memang Tuan Trump tidak menjadi penyebab langsung dari demo ini. Namun kebijakannya untuk melarang, membatasi orang-orang dari sejumlah negara tidak bisa memasuki Amerika, menggema luas didunia sebagai yang paling rasis dan telanjang pada awal pemerintahannya. Ketidaksukaannya terhadap dua politisi perempuan kulit hitam Demokrat, terbilang aneh. Tetapi persis seperti itulah yang terjadi, dan semuanya terlihat cukup telanjang. Ada nada rasis yang telanjang. Nada itulah yang tampaknya tak bisa jauh dari Trump. Pada kasus Floyd, nada itu terlihat lagi. William J. Barber Co-Chair The Poor Campaign; A National Call For Moral Review terang-terangan menggambarkan Trump dengan kata-kata “every time he open his mouth, the spread racism”. Pada waktu bersamaan, Rayshawara Ray, sosiolog dari Meryland University menggambarkan dalam masa pandemi ini, 80-90% orang kulit hitam ditangkap. Mereka dituduh melanggar aturan social distancing (Lihat Assosiate Press, 30/5/2020). Beberapa bulan sebelumnya, Ahmaud Auberi, pria berusia 26 mati ditembak seorang tentara. Penembak teridentifikasi berkulit putih. Sepanjang 2020 ini telah terjadi perisitwa serupa tak kurang dari tiga kasus. Cukup beralasan, karena itu menilai semuanya memuakan. Sesak napas mereka oleh rasisme. Cukup menarik, ujung jari tangan-tangan putih, melambai-lambaikan karton-karton bertulisan “I Can’t Breath” (saya tidak bisa bernapas) di sepanjang jalan demo. Sesak bukan saja karena George Floyd, yang telah ditelungkupkan di atas trotoar, lalu lehernya ditekan dengan lutut Polisi sombong, Derek Chauvin, hingga tak bisa bernapas. Nampaknya orang-orang ini merasa sesak nafasnya atas keangkuhan rasisme, kesombongan dan ketidakadilan hukum. Hari ke delapan sudah “ledakan rasisme, ketidakadilan yang memuakan” menemani Amerika. Ini yang terasa aneh. Hitam dan putih bergandeng tangan berdemo. Kenyataan ini memanggil tanya siapa bermain dibalik fanatisme, bahkan supremasi kulit putih, Ku Kulux Klan di Amerika? Pembaca FNN yang budiman, tuan George Bush Jr, juga Tuan Obama telah berbicara untuk perubahan sistem hukum dan pengadilan yang lebih nyata di kemudian hari. Akankah ini dikerjakan oleh Joe Biden? Ah kata Noam Choamsky, politisi Amerika telah terlalu akrab dengan korporasi. Orang-orang Amerika, kata Choamsky telah memenuhi gambaran Walter Lippman tentang orang-orang kebingungan. Sama dengan orang Indonesia. Tetapi apapun itu orang-orang Amerika, hitam dan putih, sedang terbakar dengan kemuakan atas ketidak-keadilan, dan menuntu perubahan. Bagimana dengan di Indonesia? Ha ha ha, semua masih baik-baik saja. Ini negeri gemah ripah loh jinawi ko. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate

BNPB Tegaskan Mobile PCR untuk Jatim, Bukan Hanya Surabaya!

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Persoalan “rebutan” mobil bantuan mobil BNPB mulai diseret ke rana politik. Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto meminta Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa menghentikan rivalitas politik dengan Walikota Surabaya Tri Rismaharini soal penanganan Covid-19. Tapi, jejak digital menjadi bukti, sebenarnya tidak ada koordinasi penanganan Covid-19 di lingkungan pejabat Pemkot Surabaya. Tampaknya Walikota Risma tidak pernah baca atau mendapatkan informasi valid terkait bantuan Mobil Laboratorium BSL-2 di Surabaya. Padahal, seperti dilansir Tempo.co, Rabu (27 Mei 2020 09:04 WIB), Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo sempat meninjau mobil laboratorium Bio Safety Level 2 (BSL-2) di Kota Surabaya, Jatim, pada Rabu, 27 Mei 2020. Dalam peninjauan yang ditayangkan akun Youtube BNPB, Doni melihat isi mobil itu sambil mendengar penjelasan dari petugas. Tidak lama kemudian, dengan pengawalan dari polisi, mobil tersebut diberangkatkan untuk mulai bertugas. Doni menjelaskan bahwa ada 2 unit mobil lab BSL-2 yang dikirim ke Jatim untuk membantu pemeriksaan spesimen. “Pengiriman 2 unit mobil BSL-2 ini bisa membantu Pemprov Jatim,” tegas Doni. Di sini jelas sekali, bukan untuk Surabaya! Jadi, kemarahan Risma terkait bantuan 2 unit mobil Polymerase Chain Reaction (PCR) dari BNPB yang, konon, diserobot Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim itu salah alamat. Dipastikan, Risma tidak mendapat informasi akurat dari bawahannya. Jawa Pos, Kamis (28 Mei 2020), memuat pernyataan Wakil koordinator Humas Gugus Tugas Covid-19 Kota Surabaya M. Fikser bahwa mobil combat PCR adalah bantuan dari BNPB dan BIN ditempatkan di Asrama Haji. Tapi, fakta sebenarnya mobil tersebut adalah bantuan dari BNPB sebagaimana permohonan Pemprov Jatim dan ditempatkan di RS Lapangan Indrapura. Mobil laboratorium dikirimkan karena ada salah satu laboratorium di Jatim rusak. Sehingga, tidak bisa memeriksa spesimen Covid-19. Saat ini, kata Doni, pemerintah sedang mengupayakan pengiriman 3 unit mobil laboratorium BSL-2 untuk Surabaya, Lumajang, dan Sidoarjo. “Kami upayakan kirim untuk bantu Gugus Tugas Jawa Timur,” tegasnya. Salah Info Bisa jadi, penyebab Risma marah itu karena laporan anak buahnya yang salah info. Terutama dari M. Fikser, yang juga mantan Kabag Humas Pemkot Surabaya. Pada Senin, 31 Mei 2020, saya terima catatan “Kronologi Bantuan Mobile PCR dari BNPB”. Berikut ini petikannya: Tanggal 11 Mei 2020, Gubernur Jawa Timur mengajukan surat permohonan Kepada Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Pusat perihal kebutuhan bantuan mesin PCR.Permohonan tersebut di-follow up oleh Gubernur Jawa Timur dan Pangdam V Brawijaya dengan menghubungi melalui telepon seluler kepada Ketua Gugus Tugas COVID-19 Pusat Bapak Doni Monardo bahwa kebutuhan mesin tes PCR sangat mendesak dan juga bersamaan dengan laboratorium Institute of Tropical Disease Unair (ITD) yang sedang menghentikan sementara operasional Lab-nya.Tanggal 24 Mei 2020, Bapak Doni Monardo menelepon Gubernur Jawa Timur bahwa Mobil Tes PCR siap dikirim ke Jawa Timur sebanyak 2 (dua) unit, dan selanjutnya secara teknis Kalaksa BPBD Jatim (Bapak Suban W.) diminta untuk koordinasi langsung dengan Deputi Kedaruratan BNPB (Bapak Dody).Kalaksa BPBD Jawa Timur berkoordinasi dengan Deputy Kedaruratan BNPB untuk memonitor perjalanan mobil combat PCR dari Jakarta ke Surabaya dengan contact person Bapak Sandi (Koordinator unit mobil combat PCR- 089501000xxx) sekaligus dilakukan serah terima mobil combat PCR di Rumah Sakit Lapangan di Jl Indrapura Surabaya.Tanggal 27 Mei 2020, Pukul 11.00, Mobil Combat PCR sampai di Rumah Sakit Lapangan Jl Indrapura Surabaya dan diserahterimakan kepada Ketua Gugus Kuratif Pemprov Jatim (Bapak dr. Joni Wahyuhadi), dan dari BNPB diwakili oleh Ibu Roslin Lamtarida dan disaksikan oleh LO BNPB (Bapak Gebana) serta dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur (dr Ninis).Tanggal 27 Mei 2020 pukul 13.00 staf pegawai pemerintah Kota Surabaya mengirimkan surat permohonan bantuan swab yang ditujukan kepada BNPB Jawa Timur.Surat tersebut dikirim ke tenda Gudang logistik BPBD Jatim di Grahadi dan diterima oleh sdr Agung (Petugas Gudang Logistik). Petugas Pemkot Surabaya meminta bantuan agar surat tersebut diserahkan kepada bpk Gebana selaku LO BNPB di Jawa Timur. Surat tersebut tertanggal 22 Mei 2020.Info dari LO BNPB Jatim, terdapat keganjilan pada surat Pemkot Surabaya tersebut, yaitu apakah tujuan surat tersebut kepada BNPB atau BPBD Jatim dan untuk memastikan hal tersebut, beliau memanggil bpk Gatot (Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Jatim).Tanggal 27 Mei 2020 setelah serah terima Mobil Combat PCR, dr Joni Wahyuhadi Ketua Gugus Kuratif Pemprov Jatim berkoordinasi dengan Plt Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya (drg Febriana) untuk penjadwalan operasional mobil PCR di Surabaya. Plt Kepala Dinas menugaskan kepada staff dinkes Kota Surabaya (Ibu Dani) untuk berkoordinasi dengan Ketua Gugus Kuratif Pemprov Jatim dengan hasil satu mobil akan beroperasional di RS Unair/ITD dan Asrama Haji Surabaya tanggal 27 Mei 2020. Tanggal 27 Mei 2020 Pak Dody (Deputy Kedaruratan BNPB) menelepon kalaksa BPBD Jatim dan menginformasikan akan dikirim dari Jakarta tambahan 1 (satu) mobil PCR dengan 6 mesin PCR dan dalam pengawalan polisi. Beliau juga memberikan kontak person sdr Muhammad Aprianto selaku koordinator mobil combat PCR (0895353103xxx) kepada kalaksa BPBD Jatim.Tanggal 28 Mei 2020 pukul 05.00, mobil combat PCR kedua datang dari Jakarta dan langsung menuju Hotel Arya Surabaya.Tanggal 28 Mei 2020 pagi, Koran Jawa Pos memuat pernyataan M. Fikser (Wakil koordinator Humas Gugus Tugas COVID-19 Kota Surabaya) bahwa mobil combat PCR adalah bantuan dari BNPB dan BIN ditempatkan di Asrama Haji. Fakta sebenarnya mobil tersebut adalah bantuan dari BNPB sebagaimana permohonan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan ditempatkan di RS Lapangan Indrapura. Foto di atas berlokasi di RS Lapangan Indrapura bukan di Asrama Haji. Tanggal 28 Mei 2020 pagi, 1 (satu) mobil combat PCR dijwadwalkan untuk melakukan swab di Asrama Haji dan 1 (satu) mobil combat PCR dijadwalkan ke RSUD Sidoarjo dengan pertimbangan di Asrama haji terdapat 100 pasien yang belum teridentifikasi positif. Selain itu data tanggal 27 Mei 2020 jam 17.00, menunjukkan bahwa kasus konfirmasi di Sidoarjo mencapai 565 kasus dengan 120 sampel masih belum diperiksa, sementara Sidoarjo tidak memiliki mesin PCR. Tanggal 28 Mei 2020 malam, tidak ada informasi dari Dinkes Kota Surabaya Kepada Koordinator Gugus Kuratif Pemprov Jawa Timur bahwa akan ada kegiatan pemeriksaan swab dari mobil Combat PCR tanggal 29 Mei 2020 di Kota Surabaya.Tanggal 29 Mei 2020, 1 (satu) mobil diberangkatkan untuk melakukan swab di RSUD dr Iskak Tulungagung dengan pertimbangan kasus PDP tertinggi kedua di Jawa Timur yakni 588 pasien. Di mana terdapat 172 pasien yang meninggal dalam status PDP sebelum sempat selesai di swab, sementara mesin PCR di RS dr Iskak sedang dalam proses optimasi. Satu (1) mobil lainnya diberangkatkan ke Lamongan dengan pertimbangan Lamongan memiliki kasus konfirmasi COVID-19 sebanyak 96, tertinggi setelah Surabaya Raya dan terdapat 173 PDP yang belum dilakukan PCR karena di Lamongan tidak ada mesin PCR. Tanggal 29 Mei 2020 sekitar pukul 08.00, Plt Kadinkes Surabaya menelepon Gugus Tugas Kuratif Pemprov Jatim dan meminta kedua móbil untuk kembali ke Kota Surabaya. Sementara móbil sudah berangkat menuju Tulungagung dan Lamongan yang sudah siap dan telah ditunggu pasien.Tanggal 30 Mei 2020, sesuai dengan rencana yang disusun oleh Gugus Tugas Kuratif dan PIC dari Dinkes Kota Surabaya dan Kabag Ops Polrestabes Surabaya melakukan swab dan pemeriksaan PCR di Kampung Tangguh di Kelurahan Rangkahbuntu RT 02 RW 06 Kecamatan Tambaksari Surabaya, Gelora Pancasila Surabaya, RS Soewandhi Surabaya dan RS Husada Utama Surabaya. Mobil lab BSL-2 dilengkapi dengan tiga titik negative pressure untuk menjaga udara tetap aman di dalam mobil. Berbeda dengan lab PCR pada umumnya yang menggunakan liquid reagen, mobil lab BSL-2 menggunakan teknologi terbaru dari Korea Selatan. Yaitu crystal mix dengan reagen yang padat. Sehingga, mudah dibawa ke mana saja dalam suhu ruangan dan tidak perlu pendinginan khusus minus 80 derajat atau 20 derajat. Dalam waktu 39 menit, mobil lab BSL-2 yang dikirim ke Jatim ini juga mampu mendeteksi ODP maupun PDP itu positif atau negatif Covid-19. Sebelumnya, Pemkot Surabaya sendiri di dalam perkembangannya sudah mendapat bantuan serupa dari Badan Intelijen INegara (BIN).. Penulis Wartawan Senior.

Tragedi Long Xin 629: Menlu Retno Marsudi Seperti Jurubicara China?

By Asyari Usman "Dari info yang diperoleh KBRI, pihak kapal telah memberitahu keluarga dan mendapat surat persetujuan pelarungan di laut tertanggal 30 maret 2020. Pihak keluarga sepakat untuk menerima kompensasi dari kapal Tian Yu 8," ujar Retno. Dua WNI lainnya meninggal saat berlayar di Samudera Pasifik dan dilarung pada Desember 2019. Kata Retno, berdasarkan informasi yang diterima pihaknya, keputusan pelarungan jenazah ini diambil kapten kapal karena kematian disebabkan penyakit menular berdasarkan persetujuan awak kapal lainnya. Tiga paragraf di atas adalah kutipan langsung dari halaman Kompas-com, edisi 8 Mei 2020. Itulah yang dikatakan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Rento Marsudi, tentang kematian ABK (anak buah kapal) asal Indonesia yang bekerja penangkap ikan berbendera China. Di kapal Long Xin 629. Sayang sekali, penjelasan Menlu Rento itu mengesankan bahwa dia memfungsikan dirinya sebagai jurubicara China. Dia seolah punya misi untuk ‘meredam’ kemarahan orang Indonesia yang saat ini sedang viral. Itu terbaca dari kalimat Retno bahwa keluarga korban sudah diberitahu dan sudah mengizinkan jenazah ABK dibuang ke laut. Retno juga menonjolkan kompensasi yang telah diberikan kepada keluarga. Dia pun 'mewakili' China untuk mengatakan bahwa pelarungan (penguburan di laut) dilakukan karena ABK Indonesia yang meninggal itu menderita penyakit menular. Apakah bisa dipercaya alasan penyakit menular? Kenapa Menlu menerima begitu saja alasan itu? Kompensasi? Mengapa ini yang dikedepankan oleh Menlu Retno? Padahal, investigasi media yang terpercaya menguraikan tentang perlakuan buruk yang dialami para ABK Indonesia di kapal ikan Long Xin 629. Mereka mengaku disiksa. Bekerja rodi. Tidur cuma 3 jam. Makanan mereka berbeda dengan makanan ABK orang China. ABK Indonesia memakan ikan yang biasa digunakan untuk umpan. Sedangkan ABK China selalu menyantap ikan segar yang enak-enak. Ini pengakuan para ABK itu sendiri. Menlu mengirimkan nota diplomatik ke China. Ok-lah. Mungkin ini SOP biasa. Semoga saja ditanggapi. Tapi, sebagai Menlu, tidak seharusnya Retno mengutamakan poin-poin yang memang inginkan disebarluaskan oleh pemerintah China. Supaya mereka tampak telah melakukan cara-cara yang manusiawi. Padahal, kenyataannya orang-orang China di Long Xin 629 itu tidaklah seberadab yang digambarkan itu. Sebagai diplomat yang berpengalaman, seharusnya Retno paham bahwa di tingkat negara, pastilah China akan berusaha menutup-nutupi kekajaman dan kesadisan warga negaranya terhadap orang asing. Beijing tidak akan rela warganya diviralkan melakukan tindakan biadab terhadap ABK Indonesia. Jadi, Retno seharusnya mengeluarkan narasi yang lebih tajam lagi. Tidak perlu terlalu banyak berdiplolasi halus. Sebab, perlakuan kejam itu dialami oleh banyak ABK Indonesia. Selayaknya, Bu Retno mengangkat soal kondisi kerja yang tidak manusia di kapal-kapal China. Banyak ABK Indonesia yang mengaku bekerja 18 jam sehari. Ini ekploitasi sadis. Mereka hanya meminum air laut sulingan sedangkan ABK asal China selalu mendapat air mineral. Diskriminasi kejam. Anda, Bu Retno, di tempatkan di pos Kemenlu dengan gaji besar dan fasilitas luks untuk membela bangsamu yang diperlakukan kejam di luar sana. Bukan untuk membela China. Sejak kapan Anda ditunjuk menjadi jurubicara pemerintah China?[] 9 Mei 2020(Penulis wartawan senior)

Menko Luhut Harus Bertanggungjawab Atas Kematian Pelaut WNI di Kapal Cina

Oleh Natalius Pigai Jakarta, FNN - Kematian WNI pelaut di kapal China adalah merupakan Tanggungjawab Luhut Panjaitan Menko Maritim. Hampir semua aturan internasional dan juga nasional yang mengatur tentang Pelaut (seafarer) bukan tanggungjawab Kemnterian Tenaga Kerja tetapi Kementerian Perhubungan dan tanggungjawab Menko Maritim. Berbagai landasan hukum international juga nasional telah memberi otoritas tetapi saya duga soal-soal ini diabaikan bahkan tidak diperhatikan. Secara hukum international Indonesia telah memiliki kekuatan untuk menjamin kepastian bagi pelaut (seafarer) dan kapalnya. Sejak 1961 Indonesia menjadi Anggota International Maritim Organisations (IMO) International Convention for Safety of Life at Sea (SOLAS) The International Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers (STCW) Maritime Labour Convention (MLC) 2006. Untuk Indonesia, Pemerintah RI sudah meratifikasi MLC 2006 dan menjadikannya UU RI dengan disahkannya UU nomor 15 tahun 2016. Berdasarkan fakta bahwa fokus pemerintahan Presiden Joko Widodo adalah sektor maritim dengan program Poros Maritim Dunia-nya, maka perlindungan terhadap tenaga kerja sektor maritim terutama mereka yang bekerja pada kapal-kapal internasional sangatlah perlu untuk pemantapan, penegakan dan perlundungan pelaut. Upaya penegakan hak-hak pelaut internasional belum maksimal diterapkan oleh Pemerintah RI dalam kapasitas sebagai Negara Bendera maupun sebagai Negara Pelabuhan. Upaya tersebut memerlukan kerja keras Menko Maritim dan Menteri Luar Negeri. Apalagi soal Tenaga Kerja Pelaut, Keselamatan dan sertifikasi diurus Kementerian Perhubungan berdasarkan Permenhub 40 tahun 2019. Oleh karena itu saya mengecam Menko Maritim yang tidak peduli dengan keselamatan Pelaut ( seafarer). Menko Maritim harus bertanggungjawab mengusahakan proses hukum yang adil, ganti rugi yang pantas, dan membuat perjanjian bilateral dengan China. Penulis Aktivis Kemanusiaan.