INTERNASIONAL

Wadi Rababa Menjadi Target Yahudisasi dan Permukiman di Al-Quds

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Pemerintah zionis Israel akhirnya mendapat lampu hijau untuk membangun permukiman di wilayah Tepi Barat. Rencananya, pemerintah Zionis itu akan membangun ratusan rumah di atas lahan yang direbut dalam perang 1967. Seperti dilansir JPNN.com, Senin (18 Januari 2021 – 16:18 WIB) PM Benjamin Netanyahu sudah lama menjadikan proyek pemukiman tersebut program utamanya. Namun, berbagai halangan membuat rencana berulang kali batal dieksekusi. Pada Minggu (17/1/2021), komite pemerintah akhirnya memberikan ratifikasi akhir untuk 365 rumah dan persetujuan awal untuk 415 rumah lainnya. Seorang juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengutuk pembangunan itu sebagai ilegal, menuduh Israel melakukan upaya pencegahan untuk melemahkan upaya apa pun oleh Presiden AS Joe Biden untuk meluncurkan kembali proses perdamaian yang terhenti. Dalam menghadapi Yuhudisasi dan ekspansi permukiman Yahudi, sebanyak 800 warga al-Quds berjuang dengan kegigihan dan ketabahan mereka di Wadi Rababa di Kota Silwan, di sebelah selatan Masjid Al-Aqsha di kota suci al-Quds yang diduduki penjajah Israel. Wadi Rababa terletak di area sekitar 210.000 m2. Untuk bisa tetap bertahan kelangsungan hidupnya, para penduduknya harus menghadapi kebijakan penjajah Israel dan praktik-praktik para pemukim Yahudi yang bertujuan untuk mengusir mereka dari tanahnya. Seorang Relawan Indonesia di Palestina, Von Edison Alouisci, mengungkapkan, penjajah Israel berusaha untuk mendapatkan kendali atas Wadi Rababa dengan melaksanakan proyek dan rencana ekspansi permukiman Yahudi. Proyek yang paling menonjol belakangan ini adalah proyek “Jembatan Gantung”. “Dimulai dari kampung Al-Tsauri, melalui kampung Wadi Rababa, hingga ke daerah Nabi Dawud,” ungkap Von Edison Alouisci. Di samping pekerjaan lain di tanah kampung tersebut untuk mengubahnya menjadi “jalan dan taman taurat”, ditambah lagi dengan membuat kuburan palsu di beberapa bagian lainnya dari kampung tersebut. Seorang pakar urusan al-Quds, Nasser Al-Hidmi, menegaskan, Wadi Rababa itu merupakan perpanjangan dari daerah Silwan yang berada dekat dengan Masjid Al-Aqsha. Dalam pernyataan khusus kepada Pusat Informasi Palestina, Al-Hidmi menyatakan bahwa penjajah Israel sedang fokus menarget Lembah Rababa. Karena daerah tersebut dekat dengan Masjid Al-Aqsha dan dianggap sebagai sisi yang agak lemah. Ia menjelaskan, banyak tanah di daerah Wadi Rababa kepemilikannya tidak jelas, dan bukti kepemilikan tidak sesuai dengan yang semestinya. Karena itu penjajah Israel menarget dengan memintar agar masyarakat di kampung itu membuktikan kepemilikan mereka. Al-Hidmi menyatakan, jika warga tidak bisa membuktikan kepemilikan atau tidak terdaftar secara resmi, maka dikonversi dari tanah pendudukan menjadi tanah yang dianggap sebagai “properti tanpa pemilik”. Yang pada gilirannya, bisa dialihkan kepemilikannya ke organisasi permukiman Yahudi untuk pembangunan permukiman. Ia menekankan, penjajah Israel ingin masuk melalui sisi ini untuk menembus perkampungan al-Quds dan memecah-mecahnya melalui koloni-koloni permukiman yang dihuni oleh para pemukim ekstrim Yahudi untuk menguasai kota al-Quds dan mencegah komunitas-komunitas warga al-Quds terintegrasi dan saling terhubung. Kampung ini dinamakan Wadi Rababa, karena bagian atasnya sempit dan bagian bawahnya berkembang melebar secara bertahap, seperti alat musik Arab kuno “Rababa”. Pemberian nama tersebut termasuk baru, dibandingkan dengan penamaan lama. Dulu, di periode Kanaan, lembah ini disebut dengan “Jai Hinom”, artinya adalah “Lembah Neraka”. Sementara itu orang-orang tua penduduk al-Quds, menyebutnya dengan nama “Tanah Tak Bertuan”, karena merupakan garis pemisah antara bagian timur dan barat kota. Al-Hidmi menjelaskan, lembah tersebut membentang dari lembah yang memanjang dari sisi Wadi al-Jauz dan bertemu dengan Wadi Qadrun (lembah Neraka), dan meluas ke arah Wadi Rababa yang mengelilingi di bukit tempat dibangunnya Masjid Al-Aqsha yang diberkati. Ia menyatakan, wilayah Wadi Rababa dianggap tempat suci oleh semua agama yang pernah ada di wilayah tersebut. Al-Hidmi mengingatkan, Wadi Rababa menghadap ke Gerbang Al-Rahma, yang oleh kaum muslimin dijadikan sebagai kuburan, menghadap ke kuburan untuk orang Kristen dan juga kuburan untuk orang Yahudi, di samping kuburan pagan tua yang berasal dari zaman Firaun yang disebut oleh orang Yahudi “Avi Shalim”. “Penyerbuan dan aksi-aksi perataan tanah yang terjadi di Wadi Rababa merupakan bagian dari kelanjutan yang terjadi di daerah Al Bustan di Silwan tentang surat-surat pemberitahuan penghancuran rumah dan mengosongkan daerah tersebut,” ujar Al-Hidmi. Ia mengingatkan, 80 rumah yang oleh pihak penjajah Israel telah diberi surat pemberitahuan penghancuran, dengan dalih bahwa rumah-rumah itu merupakan bangunan yang dibangun di atas tanah yang kepemilikannya tidak jelas. “Atau dibangun tanpa memperoleh izin yang semestinya di wilayah itu,” lanjutnya. Kampung Wadi Rababa adalah wilayah yang tersisa bagi masyarakat Silwan untuk membangun rumah dan sekolah serta membuat taman pribadi. Tapi otoritas pendudukan penjajah Israel menolak untuk mengeluarkan izin untuk itu. Mereka mengejar dan memburu warga ketika membangun atau memperluas atau bahkan mengolah tanah dan membangun pagar. Rencana Yahudisasi Hanna Issa, Sekretaris Jenderal Organisasi Islam-Kristen, mengatakan bahwa kampung Wadi Rababa adalah bagian integral dari Tanah Suci Kota al-Quds selain lembah-lembah lainnya. Dalam pernyataan khusus kepada Pusat Informasi Palestina, Issa menyatakan, penjajah Israel sekarang berencana mendirikan apa yang disebut “Yerusalem Raya” di atas lahan seluas 600 kilometer persegi. “Dengan tujuan untuk melakukan yahudisasi kota itu, menciptakan karakter Yahudi baru, dan membangun “Yerusalem Raya” yang mirip dengan ibu kota Inggris, London,” kata Issa. Menurut Issa, penjajah Israel telah memulai rencananya di Wadi Al-Jauz, Wadi Rababa, dan kampung-kampung lainnya di al-Quds. Ia menyatakan bahwa penjajah Israel mengerahkan semua tekanan pada penduduk Silwan. Dan, sedang mengerjakan pembongkaran besar-besaran untuk mengosongkan daerah tersebut dari warganya, meratakan wilayah dan memperluas permukiman-permukiman Yahudi, serta mendirikan kampung-kampung permukiman Yahudi yang sejalan dengan “Yerusalem Raya”. “Kita, sebagai orang Palestina, harus memikirkan, bagaimana mengubah aturan konfrontasi dengan penjajah Israel dengan asas-asas baru. Harus ada pemikiran baru, perjuangan baru dan persatuan nasional berdasarkan fondasi yang kuat dan upaya kolektif semua orang Palestina.” Bagaimana masa depan Palestina pasca terpilihnya Presiden AS yang baru, Joe Biden? Calon Menlu yang akan dipilih Biden, Antony Blinken, berjanji akan tetap melanjutkan pengakuan AS atas Al-Quds sebagai ibukota Israel, dan melanjutkan keberadaan Kedubes AS di sana. Situs Rusia Today menyebut, dalam pertemuan di hadapan kongres AS, Blinken menjawab “Ya” dua kali, saat ditanya senator James Rish, “Apakah Anda setuju bahwa Al-Quds ibukota Israel? Dan, apakah Anda komitmen mempertahankan kedubes Amerika di Al-Quds?” Dalam pertemuan tersebut, Blinken memaparkan dukungannya terhadap solusi 2 negara, dan perundingan damai antara Palestina – Israel menjadi tantangan besar, yang sulit mencapai kemajuan dalam waktu dekat ini. Sebelumnya, AS di bawah kepemimpinan Donald Trump sangat gencar mendukung semua kebijakan Israel, termasuk mendukung Al-Quds sebagai ibukota Israel dan memindahkan kedutaan besarnya kesana. Selain itu, Trump menggagas proposal perdamaian yang dikenal dengan Deal of Century, yang menguntungkan Israel dan mempersempit Palestina. Termasuk mendukung rencana aneksasi Israel terhadap wilayah Tepi Barat. Pihak Italia pada Selasa kemarin menyampaikan keresahannya atas keputusan pemerintah Israel membangun 800 unit hunian di komplek permukiman Yahudi di Tepi Barat, karena melanggar Undang-Undang Internasional dan menggagalkan peluang solusi berdirinya dua negara. Kementerian Luar Negeri Italia mengatakan, pihak Italia berkali-kali telah mengungkapkan kekhawatiran dan kekecawaannya atas keputusan Israel membangun 800 unit hunian baru di permukiman Yahudi di Tepi Barat. Kemenlu Italia menambahkan, pihaknya kembali meminta seperti yang sudah disampaikan pada 17 November 2020 lalu kepada Israel untuk mengkaji ulang keputusan tersebut. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Godaan Membuka Hubungan Diplomasi dengan Israel

By Shamsi Ali*) New York FNN - Senin (28/12). Akhir-akhir ini pemerintahan Amerika di bawah Donald Trump begitu pro-aktif dan gencar membujuk dan/atau menekan negara-negara Arab dan Islam untuk membuka hubungan diplomasi dengan negara Israel. Hingga saat ini beberapa negara di antaranya Uni Emirates, Bahrain, Maroko dan Sudan telah menanda tangani hubungan diplomasi dengan Israel. Hubungan diplomasi dengan beberapa negara Arab dan Muslim ini sekaligus memperjelas makna kata “perdamaian” yang selama ini Trump dengungkan. Bahwa perdamaian Timur Tengah bagi Israel adalah terjadinya pengakuan atau hubungan diplomasi dengan negara-negara Arab dan Islam. Atau apa yang biasa disebut dengan rekonsiliasi antara Israel dan negara-negara Arab dan Islam. Artinya kata “perdamaian” sesungguhnya hampir saja tidak mengandung makna “perdamaian antara Israel dan Palestina”. Dengan kata lain perdamaian yang dimaksud bukan terjadinya solusi permanen terhadap konflik Israel dan Palestina dengan kemerdekaan bangsa Palestina. Inilah sebabnya dalam empat tahun terakhir upaya-upaya perdamaian Timur Tengah sama sekali tidak melibatkan Palestina. Justeru semua proses yang berjalan melibatkan negara lain, termasuk Saudi, Emirat, Mesir, dan Jordan. Palestina nampak sengaja diabaikan dan dianggap tidak punya eksistensi dalam proses-proses tersebut. Pengakuan Donald Trump secara unilateral terhadap Jerusalem sebagai Ibukota Israel dan pemindahan Kedutaan Amerika ke Jerusalem adalah bukti nyata akan kesemena-menaan itu. Semua yang dilakukan itu melanggar berbagai resolusi PBB yang menyatakan bahwa Jerusalem adalah daerah yang diperselisihkan (disputed territory) dan tidak boleh ada yang mengakuinya. Serta tidak boleh ada perwakilan negara asing di daerah tersebut hingga pada masanya ada persetujuan final antara Israel dan Pelestina. Upaya-upaya Israel melalui tangan-tangan Amerika untuk menarik pengakuan dari negara-negara Arab dan Islam akan terus dilakukan secara terbuka. Tidak tanggung-tanggung memakai yang sogokan, bahkan intimidasi sekaligus. Negara-negara seperti Uni Emirate dan Bahrain di intimidasi dengan memakai ancaman Iran. Bahwa jika negara-negara itu tidak mengakui Israel maka boleh jadi tidak akan mendapatkan pembelaan Amerika jika suatu ketika Iran menyerangnya. Amerika tentu mengingatkan apa yang pernah terjadi dengan Kuwait oleh Saddam Husain di masa lalu. Sudan sendiri menerima bujukan Amerika untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel dengan barteran mengakhiri boikot yang cukup panjang di negara Afrika itu. Apalagi isu Darfur masih terus menjadi isu yang cukup mengganggu bagi negara yang cukup kental dengan pergerakan IM di zaman Omar Basyir itu. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Di luar negara-negara Arab, Indonesia menjadi target utama dari kampanye ini. Selain karena Indonesia memang memilki strategi penting di Asia Pasifik dan dunia Islam, Indonesia juga merupakan salah satu ekonomi besar (giant economi) dunia. Tapi yang terpenting adalah bahwa Indonesia adalah negara Muslim terbesar yang sejalan dengan norma-norma modern dan nampaknya lebih mudah diarahkan. Hal ini semakin nampak ketika baru-baru ini Adam Boehler, Kepala Eksekutif DFC Amerika, mengatakan bahwa jika Indonesia bersedia membuka hubungan diplomasi dengan Israel Korporasi keuangan pembangunan International Amerika Serikat dapat melipat gandakan tawaran sebelumnya sebesar 1 milyar US$. Ditambah lagi belum lama ini ada Menteri Indonesia yang melakukan pertemuan dengan Presiden Donald Trump di Gedung Putih, justeru di akhir-akhir masa kepresidenannya. Anehnya justeru yang mendampingi Donald Trump dalam pertemuan itu adalah menantunya Jared Kushner yang juga Penasehat senior Presiden untuk urusan Timur Tengah. Apakah ini semua hanya “by accident” atau secara kebetulan dan bukan sesuatu yang memang direncanakan? Hanya mereka dan Allahu a’lam (Yang Maha Tahu). Hal yang kemudian menggembirakan adalah bahwa hingga saat ini Kementerian Luar Negeri RI masih konsisten dengan posisi awal bahwa RI tidak akan membuka hubungan diplomasi dengan Israel selama negara itu masih berstatus sebagai penjajah negara Palestina. Posisi Indonesia ini adalah sebuah keniscayaan. Dan nampaknya hingga saat ini belum ada alasan untuk berubah. Keharusan untuk Indonesia tegas dalam menentang hubungan diplomasi ini karena disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, sebagai Demokrasi Indonesia tentu akan selalu memperhatikan aspirasi rakyatnya. Dan hingga kini tidak diragukan lagi bahwa rakyat Indonesia menentang hubungan diplomasi itu. Penentangan rakyat Indonesia ini saya yakin didorong pertama kali oleh “iman mayoritas” masyarakat yang menentang penjajahan. Bagi Umat Islam, keimanan kepada “laa ilaaha illallah” juga merupakan keyakinan bahwa penjajahan adalah bentuk perbudakan yang wajib ditentang. Kedua, mungkin bangsa Indonesia masih ingat bahwa salah satu negara yang pertama sekali mengakui kemerdekaan RI adalah Palestina. Maka pastinya Indonesia masih sadar sejarah serta tahu berterima kasih kepada bangsa Palestina. Hal ini juga tentunya didukung oleh semangat “humanitarian solidarity” (solidaritas kemanusiaan) bahwa penjajahan itu memang bentuk kezholiman serta bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Ketiga, dan ini tentunya yang paling mendasar. Bahwa UUD negara Republik Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Alasan ketiga ini saya yakin menjadi dasar yang begitu kuat untuk Indonesia kokoh dan konsisten dalam menentang normalisasi hubungan dengan Israel. Bahwa selama Israel masih berstatus sebagai penjajah bangsa Palestina, selama itu pula Indonesia secara Konstitusi tidak akan pernah dibenarkan untuk membuka hubungan diplomasi itu. Dan kalau sampai pemerintah Indonesia membuka hubungan diplomasi dengan Israel, dengan sendirinya berarti bahwa pemerintah melakukan pelanggaran yang nyata terhadap konstitusi negara. Dan pelanggaran Konstitusi itu jika di Amerika dapat menjadi dasar (ground) untuk memberhentikan pemerintahan atau yang populer dengan impeachment. Bukan anti Yahudi Akhirnya saya ingin menegaskan sekali lagi bahwa posisi RI (dan saya pribadi) tidak harus dimaknai sebagai kebencian kepada pemeluk agama Yahudi. Karena sejatinya Islam tidak membenci orang lain hanya karena beda agama. Banyak yang mengenal jika saya di Amerika Serikat adalah salah seorang yang aktif membangun dialog antar agama, termasuk dengan tokoh-tokoh Yahudi. Bahkan saya pernah menulis sebuah buku bersama seorang pendeta Yahudi berjudul “Anak-Anak Ibrahim: isu-isu yang menyatukan dan membedakan antara Yahudi dan Muslim”. Buku kami saat ini sedang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Hebrew (bahasa resmi Yahudi) dan telah diluncurkan di Dubai beberapa hari lalu. Saya pribadi tidak hadir pada acara peluncuran itu karena terlanjur ada agenda lain. Tapi juga karena saya masih memiliki posisi tegas menentang normalisasi hubungan negara-negara Islam dan Israel. Harapan kita adalah semoga suatu ketika bangsa Palestina mendapatkan kemerdekannya. Yang pastinya banyak ditentukan oleh “political will” dari Israel untuk mengembalikan hak-hak bangsa Palestina seperti pada perjanjian tahun 1967. Di mana bangsa Palestina memiliki negara secara berdaulat dan menjadi tetangga yang baik bagi Israel. Pada masa itulah Indonesia dan negara-negara Muslim dapat menjalin hubungan diplomasi secara normal dengan Israel sebagaimana hubungannya dengan semua negara yang ada di dunia ini. Entah kapan. Memang hanya Allah yang tahu! Penulis adalah diaspora Indonesia dan Imam di kota New York.

Lewat Diplomat Jerman, Uni Eropa Ikuti Kasus Pembunuhan 6 Laskar FPI

by Asyari Usman Medan FNN - Minggu (20/12/20). Di dunia ini, tidak ada kelompok negara yang paling peduli HAM kecuali Uni Eropa (UE). Itulah yang terjadi kemarin ketika delegasi diplomat Jerman mendatangi sekretariat FPI. Ini merupakan isyarat bahwa UE ingin mendapatkan informasi “first hand” tentang pembunuhan 6 laskar FPI. Jerman adalah salah satu negara UE yang banyak menyediakan dukungan politik dan finansial untuk orang atau komunitas yang diperlakukan sewenang-wenang. Mereka tahu persis apa yang sedang terjadi di Indonesia. Khususnya apa yang terjadi terhadap Habib Rizieq Syihab (HRS) dan gerakan yang menuntut keadilan. Hampir pasti, para diplomat Jerman itu sudah sejak lama mengamati sepak terjang penguasa di sini. Mereka mencatat kesewenangan para penguasa. Termasuk kezaliman aparat Kepolisian. Khususnya pembunuhan terhadap 6 laskar FPI yang diduga melanggar ketentuan hukum (unlawful killing). Para diplomat Jerman itu pastilah telah mengumpulkan banyak catatan tentang tindak kekerasan yang selama ini dilakukan oleh aparat kepolisian. Termasuklah tindakan tak berperikemanusiaan yang dialami oleh para pendemo terkait hasil pilpres 2019 dan para pendemo UU Omnibus Law. Dan juga dalam berbagai peristiwa unjuk rasa lainnya. Pembunuhan 6 laskar FPI belum lama ini tampaknya dinilai sebagai klimaks kesewenangan para penguasa. Sekaligus, para diplomat Jerman itu menjadikan pembunuhan ini sebagai momentum untuk memberikan peringatan kepada pemerintah Indonesia bahwa kesewenangan harus dihentikan. Sangat mungkin para diplomat Jerman itu ditugaskan oleh UE untuk memgumpulkan informasi mengenai pembunuhan para laskar. Mereka, boleh jadi, sudah mengamati secara saksama tindakan aparat kepolisian dalam peristiwa itu. Jadi, tidak diragukan lagi bahwa kunjungan para diplomat Jerman tsb akan memperbesar aspek internasional dari pembunuhan 6 laskar FPI. Kita akan melihat perhatian yang lebih besar dari Uni Eropa.[] (Penulis wartawan senior fnn.co.id)

“Calling Visa” Indonesia untuk Israel, Apa Motif Pemerintah?

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Sabtu (28/11). Pesan Bung Karno: “Selama Israel menjajah Palestina, Indonesia tidak akan pernah membuka jalinan persabatan bilateral dengan Israel”. Seharusnya pejabat Pemerintah mencamkan peringatan Presiden RI pertama Ir. Soekarno itu. Tapi, rupanya peringatan Bung Karno itu diabaikan begitu saja. Buktinya, melalui Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Pemerintah membuka pelayanan visa elektronik (e-Visa) bagi warga Israel dan 7 negara lainnya dengan subjek calling visa atau layanan visa khusus negara dengan tingkat kerawanan tertentu. Pelayanan telah dibuka mulai Senin (23/11/2020) setelah sempat dihentikan selama pandemi Covid-19. Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Arvin Gumilang menjelaskan bahwa uji coba pembukaan pelayanan telah dilakukan pada Jumat (20/11/2020) lalu. Selanjutnya para penjamin orang asing dari negara subjek calling visa bisa mengajukan permohonan melalui website www.visa-online.imigrasi.go.id. “Uji coba pelayanan telah kami lakukan sebelumnya dan Senin (23/11) nanti akan kami buka pelayanan e-Visa bagi subjek calling visa untuk tujuan penyatuan keluarga, bisnis, investasi, dan bekerja,” jelas Arvin melalui keterangan tertulis, Selasa (24/11/2020). Seperti dilansir CNNIndonesia.com, Arvin menambahkan, untuk tenaga kerja asing (TKA) bisa mengunggah dokumen permohonan melalui website tka-online.kemnaker.go.id milik Kementerian Tenaga Kerja. Ia menjelaskan, alasan pelayanan calling visa dibuka kembali karena banyak tenaga ahli dan investor yang berasal dari negara-negara calling visa. Selain itu juga untuk mengakomodasi hak-hak kemanusiaan para pasangan kawin campur. Arvin menjabarkan delapan negara calling visa tersebut yakni: 1. Afghanistan; 2. Guinea; 3. Israel; 4. Korea Utara; 5. Kamerun; 6. Liberia; 7. Nigeria; 8. Somalia. Alasan dibukanya kembali pelayanan calling visa ialah karena banyaknya tenaga ahli dan investor yang berasal dari negara-negara calling visa. Layanan khusus ini juga untuk mengakomodasi hak-hak kemanusiaan para pasangan kawin campur. “Negara calling visa adalah negara yang kondisi atau keadaan negaranya dinilai mempunyai tingkat kerawanan tertentu ditinjau dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan negara, dan aspek keimigrasian,” ujar Arvin. Arvin mengungkapkan bahwa proses pemeriksaan permohonan e-Visa bagi warga negara subjek calling visa melibatkan tim penilai yang terdiri dari Kemenkumham, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Tenaga Kerja, Kepolisian, Kejaksaan Agung, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis TNI, dan Badan Narkotika Nasional (BNN). “Tim ini akan mengadakan rapat koordinasi untuk menilai apakah seseorang layak atau tidak untuk diberikan visa,” pungkas Arvin. Menilik situasi, waktu, serta alasan dibukanya layanan calling visa ini tentu menarik. Sampai saat ini, praktis Indonesia masih menutup perbatasannya dari kunjungan warga negara asing (WNA). Hal itu sesuai dengan Permenhukham Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pelarangan Sementara Orang Asing Masuk Wilayah NKRI, yang kemudian diganti dengan Permenhukham Nomor 26 Tahun 2020 tentang Visa dan Izin Tinggal Dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru, yang esensinya hampir sama dengan Permenhukham 11/2020. Visa kunjungan dan visa tinggal terbatas yang berlaku saat ini adalah untuk sekali perjalanan yang diberikan dalam rangka: melakukan pekerjaan darurat dan mendesak, melakukan pembicaraan bisnis, melakukan pembelian barang; Uji coba keahlian bagi calon TKA, tenaga bantuan dan dukungan medis dan pangan, dan tergabung dengan alat angkut yang berada di wilayah Indonesia. Ada juga visa tinggal terbatas tidak dalam bekerja, meliputi: melakukan penanaman modal asing, penyatuan keluarga dan wisatawan lanjut usia mancanegara. Selain itu, antara Juli sampai Oktober 2020, Indonesia menyepakati Pengaturan Koridor Perjalanan atau Travel Corridor Arrangement (TCA) dengan 4 negara, yaitu Korea Selatan, Tiongkok, Uni Emirat Arab dan Singapura. Bandar Udara Soekarno-Hatta menjadi salah satu pintu masuk warga dari empat negara tersebut. TCA bertujuan memfasilitasi kemudahan perjalanan khusus bisnis, ekonomi, diplomatik dan dinas. Jadi, kalau payung besar penutupan perbatasan negara untuk perlindungan dari Covid-19 masih diberlakukan, mengapa justru Ditjen Imigrasi secara khusus membuka layanan calling visa untuk delapan negara itu? Alasan tenaga ahli, investor, kawin campur jelas kurang cocok dikenakan ke delapan negara, mengingat kondisi ekonomi dan politik yang sama atau di bawah Indonesia. Kecuali Israel! Konstitusi kita jelas menyebutkan bahwa Kemerdekaan Adalah Hak Segala Bangsa. Atas dasar itulah kita tidak membuka hubungan dengan Israel. Jadi, yang dilakukan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan ini sudah melanggar UUD negara kita. UUD 1945: Kemerdekaan Adalah Hak Segala Bangsa! Atas dasar itulah kita tidak membuka hubungan dengan Israel. Karena Israel adalah Zionis Penjajah. Dan, yang dijajah adalah Palestina, negara yang bersama negara-negara Liga Arab lainnya mengakui kemerdekaan Negara Indonesia saat masih belum diakui PBB. Rakyat Palestina menyumbangkan kekayaannya untuk membantu biaya perjuangan meraih Kemerdekaan Indonesia yang harus melakukan diplomasi dan propaganda ke banyak negara. Jadi, sekali lagi, yang dilakukan Menko Luhut ini sudah melanggar UUD negara kita. Pemberian calling visa untuk Israel diketahui juga tak lama setelah kunjungan Menko Luhut ke Amerika Serikat. Di sana, Menko Luhut yang didampingi Dubes RI untuk AS Muhammad Lutfi, bertemu dengan Presiden Donald J. Trump. Pergerakan Israel yang ingin normalisasi hubungan dengan negara berpenduduk Islam ini makin kencang. Senin (23/11/2020), media Israel, Haaretz melaporkan, PM Israel Benjamin Netanyahu diam-diam terbang ke Arab Saudi dan bertemu dengan Pangeran Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) dan Menteri Luar Negeri AS Michael “Mike” Pompeo. Sadar atau tidak disadari Pemerintah Indonesia, yang jelas dampak dari normalisasi tersebut, membuat Israel semakin ganas menghancurkan pemukiman warga Palestina dan membangun pemukiman Yahudi. “Apalagi PM Israel Benjamin Netanyahu pernah mengatakan tidak akan menghentikan upaya mengambil alih tanah-tanah Palestina,” ujar aktivis Muslim Von Edison Alouisci di Ramallah 26 November 2020. Menurutnya, Pemerintah Indonesia jelas langkah keliru, mestinya Israel diisolasi supaya jera, bukannya diberi kemudahan. Pengamat bidang militer dan pertahanan Connie Rahakundini Bakrie mengatakan. Indonesia harus berani membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Hal ini merupakan upaya untuk memudahkan Indonesia melakukan diplomasi dalam mewujudkan kemerdekaan Palestina. “Sudah saatnya Indonesia bertindak konkret agar bisa lebih memahami Israel dengan membuka hubungan diplomatik sehingga ada diskusi lebih lanjut,” ujar Connie, Sabtu (26/9/2020). “Pernyataan Connie ini menurut saya adalah analisa keliru,” tegas Edison Alouisci. Mestinya cara Indonesia membantu mewujudkan kemerdekaan Palestina adalah dengan cara diplomasi, bukan membuka hubungan kepada Israel. Senjata Indonesia untuk mengakhiri konflik Palestina-Israel adalah dengan memberi tekanan diplomatik, bukan membuat kerjasama dengan Israel yang terbiasa dengan taktik zionis menekan negara Muslim. “Bagi saya Pemerintah Indonesia justru membuka jalan bagi israel untuk menjalankan misi penghancuran negara Islam, termasuk Indonesia secara terstruktur dan itu akan merugikan Indonesia dan tidak akan berpengaruh bagi kedamaian di Palestina,” lanjutnya. Bagi kita dan relawan Indonesia yang tentu lebih banyak mengetahui perilaku tindakan Israel terhadap Palestina, maka rencana Indonesia melakukan normalisasi dengann Israel, jelas akan melukai rakyat palestine yg telah banyak menelan korban dan kehilangan wilayah. “Yang jelas langkah pemerintah Jokowi (Presiden Jowo Widodo) adalah langkah mundur dan memalukan umat Islam dunia yang berpihak pada Palestina,” tegas Edison Alouisci. “Mas Toha, apakah kita tidak melihat kemungkinan untuk lebih mudah membela hak-hak bangsa Palestina jika kita membuka hubungan diplomatik/berkomunikasi dengan negara Israel?” begitu tanya Bambang Sulistomo, Putra Bung Tomo. Saya mencoba menjawab pertanyaan Mas Bambang tersebut. Sama halnya dengan Rasulullah Muhammad SAW, bangsa Indonesia sudah jelas-jelas menentang dan bahkan mengharamkan adanya penjajahan di muka bumi ini oleh bangsa apa pun. Di dalam sejarahnya, mulai 1948, jelas-jelas zionisme berupaya menduduki tanah Palestina yang baru saja merdeka. Sekarang ini kita justru konsistensi bangsa Indonesia sedang diuji: tetap setia dengan sikap menentang segala jenis penjajahan di muka bumi (sebagaimana disebutkan dan menjadi amanat Pembukaan UUD 1945) atau menyingkirkan amanat para pendiri bangsa Indonesia yang merumuskan konstitusi kita? Dan, yang perlu dicatat lagi: Indonesia juga menganut politik luar negeri yang berasas bebas-aktif. Bebas artinya memihak/tidak memihak blok atau persekutuan negara-negara tertentu. Aktif itu artinya berperan aktif di dalam menjaga perdamaian dunia sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945. Jadi, karena Israel dianggap sebagai penjajah Palestina, secara otomatis Israel dianggap pula mengganggu perdamaian dunia. Dan, ini jelas-jelas bertentangan dengan sikap politik luar negeri Indonesia tersebut. Penulis wartawan senior FNN.co.id

Begini Cara Licik Pemerintah “Seludupkan” Orang Israel ke Indonesia

by Asyari Usman Medan FNN - Jumat (27/11). Ada berita tentang kelicikan para penguasa yang pro-Zionis Israel. Yaitu, langkah pemerintah untuk ‘menyeludupkan’ orang Israel dengan mengeluarkan kebijakan keimigrasian yang sangat aneh. Kebijakan keimigrasian yang aneh itu adalah menempatkan Israel sekelas dengan Korea Utara, Liberia, Nigeria, Somalia, Kamerun, Afghanistan, dan Guinea sebagai negara-negara yang boleh masuk ke Indonesia dengan ‘calling visa’ (visa yang disponsori oleh orang atau lembaga di negara tuan rumah). Artinya, orang Indonesia atau lembaga badan usaha di negara ini bisa memberikan rekomendasi visa untuk warganegara dari delapan negara yang disebut di atas. Kebijakan ini sudah ada sebelum wabah Covid-19. Tetapi, tiba-tiba saja Ditjen Imigrasi Kemenkumham, membuka kembali layanan ‘calling visa’ itu sejak 20 November 2020. Yang mengherankan ialah, kenapa Israel disamakan dengan tujuh negara lain yang oleh banyak negara dunia dianggap sebagai sumber masalah jika warga mereka diberi visa. Juru bicara Ditjen Imigrasi, Arvin Gumilang, mengatakan alasan pembukaan kembali ‘calling visa’ ialah karena banyaknya tenaga ahli dan investor yang berasal dari negara-negara tersebut. Selain itu, juga untuk mengakomodasi hak-hak kemanusiaan para pasangan kawin campur. Mengapa Israel masuk ke dalam kelompok ‘calling visa’? Mungkinkah dengan alasan kawin campur? Tampaknya tak mungkin. Atau alasan kemanusiaan seperti warga Afghanistan, Somalia, Nigeria, dll, yang memang dilanda konflik ideologi? Juga tak mungkin. Apa iya serius pemerintah mau menampung pengungsi dari tujuh negara selain Israel itu? Kecil kemungkinannya. Apa iya banyak investor dan tenaga ahli dari tujuh negara selain Israel itu? Semakin tak masuk akal. Jadi, apa kira-kira kesimpulan tentang ‘calling visa’ untuk orang Israel? Yang paling masuk akal ialah kategori investasi atau tenaga kerja ahli. Dan sangat mudah terbaca bahwa sesungguhnya tujuan utama ‘calling visa’ untuk delapan negara itu adalah memudahkan orang Israel masuk ke Indonesia. Baik yang membawa duit investasi maupun keahlian. Ketujuh negara dengan kategori konflik ideologi tadi hanya sebagai ‘penghias’ kebijakan khusus untuk Israel itu. Agar terlihat kebijakan ‘calling visa’ ini bukan untuk orang Israel saja. Padahal, tujuan utamanya adalah untuk memudahkan orang Israel masuk ke sini. Hanya untuk orang Israel saja. Tidak mungkin untuk orang Kamerun, Somalia, Liberia, Guinea, Afghanistan, apalagi Korea Utara. Kalau pun ada permohonan untuk orang dari tujuh negara selain Israel, lagi-lagi itu sebagai tindakan kosmetik saja. Paling-paling satu-dua yang akan diberi ‘calling visa’ itu. Sekadar ada bukti saja. So, beginilah cara licik pemerintah “menyeludupkan” orang Israel yang siap membawa uang ke negara ini. Sangat wajar diduga bahwa kebijakan yang memudahkan investor pro-Zionis ini sudah dirancang dengan rapi oleh para pejabat tingkat tinggi. Satu hal lagi yang pantas dicatat ialah bahwa pembukaan kembali ‘calling visa’ untuk Israel dan tujuh negara lainnya itu dilakukan di tengah hiruk-pikuk kepulangan Habib Rizieq Syihab (HRS) dan heboh soal kerumunan. Dan bersamaan pula dengan tindakan Pangdam Jaya mencopot baliho HRS. Di negara-negara Eropa, cara ini terkenal dengan istilah “burying bad news” (mengubur berita buruk) ketika publik sibuk dengan isu-isu lain. Penulis adalah wartawan senior FNN.co.id

Donald Trump Petahana Yang Malang, Kalau Disini Pasti Menang

by Asyari Usman Jakarta FNN - Senin (09/11). Di mana-mana pemilu atau pilpres, calon petahana biasanya paling tenang dan percaya diri. Misalnya, di pilpres 2019, Pak Jokowi sebagai petahana selalu tenang. Dia sangat ‘confident’. Meskipun banyak orang yang memperkirakan lawan beliau, Prabowo Subianto, waktu itu akan menang mengingat dukungan rakyat yang gegap gempita. Jokowi tidak menunjukkan kekhawatiran sedikit pun. Bahkan, beliau senantiasa memperlihatkan “saya akan menang”. Dan ternyata dia “menang”. Dengan sangat mudah pula. Artinya, Jokowi benar-benar menunjukkan kualitas percaya dirinya sebagai petahana. Beliau bagaikan telah dibisikkan, entah oleh siapa, bahwa dia pasti menang. Barangkali, begitulah seharusnya sikap seorang “petahana sejati”. Tidak boleh khawatir. Tidak perlu pula cemas apalagi sampai paranoia. Tetapi, dalam pilpres 2020 di Amerika Serikat (AS), Donald Trump sebagai petahana tercatat paling rewel. Paling gelisah. Khususnya terhadap pelaksanaan pencoblosan dan penghitungan suara. Dia tidak percaya terhadap banyak hal. Tak percaya bahwa pilpres berjalan jujur dan adil. Dia menuduh ada pihak-pihak yang melakukan kecurangan. Trump menuduh ada penipuan dalam penghitungan suara. Sampai-sampai dia mengajukan gugatan agar penghitungan dihentikan di sejumlah negara bagian. Di negara bagian Montana, sebagai contoh, kubu Trump mengajukan permohonan kepada pengadilan agar menghentikan sistem pemungutan suara lewat pos. Trump mengatakan pengiriman surat suara lewat pos ke KPU akan mengundang kecurangan. Tetapi, Hakim Dana Christensen membuat putusan yang menolak permohonan kubu Trump. Bu Hakim menuduh kubu Trump menyebarkan ‘fiksi’ (hayalan) tentang bahaya pemungutan suara lewat pos. Intinya, Trump takut kalah. Dia tidak mau menerima kekalahan. Bagi Trump, kalau dia kalah berarti ada kecurangan. Dengan kata lain, pemilu tidak curang jika dia yang menang. Sebagai petahana, sikap curiga dan menuduh lawan melakukan kecurangan sangatlah menggelikan. Seharusnya, seorang petahana selalu memiliki keunggulan dibanding penantang. Petahana lazimnya mengendalikan seluruh lini kekuasaan. Seharusnya Trump bisa “menyiapkan” kemenangannya di pilpres 2020 ini. Tapi, itu tidak terjadi. Di bagian lain dunia, termasuk di Asia Tenggara, petahana bisa menyiapkan persentase kemenangan. Caranya sangat mudah. Gunakan kekuasaan dan uang. Para pejabat yang melaksanakan pemilu dan jajaran mereka disogok dengan duit besar. Di salah satu negara Asia Tenggara, KPU-nya berada di bawah komando petahana. Polisi negara itu digunakan oleh petahana untuk memenangi pilpres. Bahkan makamah pemutus pertikaian pemilu pun ‘taat’ kepada petahana. Nah, ini yang tidak dilakukan Trump sebagai petahana. Dia menyia-nyiakan posisi sebagai pemegang kekuasaan besar di AS. Sayang sekali. Tapi, bisa dipahami juga kenapa Trump tidak melakukan itu. Sebab, kalau dia coba-coba mendekati KPU Amerika, kepolisian (FBI), intelijen (CIA), dlsb, dengan tujuan agar institusi-institusi itu menjalankan misi untuk memenangkan Trump di pilpres 2020 ini, pasti akan bocor ke media. Kalau sudah bocor, selesailah dia. Karena, media di Amerika tidak seperti media di sini. Media Amerika pasti akan berteriak keras kalau petahana ketahuan melakukan tindakan yang mereka anggap sangat tercela itu. Kalau di sini, media bisa diajak bekerja sama dengan imbalan uang. Kalau tidak bisa dengan uang, pasti bisa dengan kekuasaan. Dengan intimidasi. Ditelefon atau didatangi oleh orang-orang dari berbagai instansi yang bisa melakukan apa saja. Orang-orang media pasti ketakutan. Yang sering lancar adalah kombinasi uang dan kekuasaan. Semua pihak senang. Sama-sama menguntungkan pribadi dan kelompok. Begitu kira-kira, Pak Trump. Kalau di sini, orang akan bilang Anda itu petahana yang bernasib sangat malang. Semua ada dalam genggangam tapi kalah pilpres. Kapan-kapan nanti, Anda coba ‘nyapres di sini. Bawa duit banyak-banyak. Nanti saya kasih tahu caranya. Pasti menang.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Trump Merasa Menang, Tapi Biden Hampir Pasti Menang

by Asyari Usman Jakarta FNN - Jumat (06/11). Kita awali dari apa itu ‘electoral college vote’ (sebut saja EV) yang sangat menentukan pemenang pilpres Amerika Serikat (AS). EV adalah orang atau kursi yang mewakili pemilih di tiap-tiap negara bagian yang akan memberikan suara mereka kepada pemenang suara terbanyak di negara-negara bagian tsb. Contoh, sekarang ini Joseph “Jo” Biden merebut suara pemilih terbanyak di Kalifornia. Negara bagian ini memiliki 55 EV. Maka, sesuai aturan setempat, kesemua EV Kelifornia menjadi milik Biden. Contoh lain, Donald Trump merebut suara pemilih terbanyak di Teksas. Negara bagian ini memiliki 38 EV. Maka, sesuai aturan setempat, kesemua EV di Teksas menjadi milik Trump. Begitu seterusnya. Pada saat ini, penghitungan suara sudah hampir rampung. Sejauh ini, Biden merebut 253 EV dan Trump mengantungi 214. Jumlah EV untuk 50 negara bagian di AS plus DC (District of Columbia) adalah 538. Dengan demikian, siapa yang merebut 270 EV (lebih setengah) akan terpilih sebagai presiden. Apa yang sedang terjadi sekarang? Jawabannya: sangat mendebarkan, terutama bagi rakyat Amerika. Pilpers 2020 ini sangat kontestatif. Pendukung kedua capres bersemangat tinggi untuk memenangkan calon mereka. Itulah sebabnya “turn out” (jumlah pemilih yang memberikan suara) kali ini tertinggi tinggi sejak 1960. Yaitu, 66.9% dari total 233.7 juta pemilih Trump tampil sangat agresif. Dia merasa bisa menang. Bahkan dia sudah mengklaim kemenangan. Tetapi, Biden hampir pasti menang. Cuma, dia lebih tenang. Biden hanya mengatakan, “Kita bisa menang.” Apa penjelasannya? Biden mungkin tenang karena dia melihat isyarat yang jelas dari penghitungan suara di Michigan dan Wisconsin. Kedua negara bagian ini sudah menghitung 99% suara pemilih. Biden mendapat 2,795,714 suara atau 50.5%. Sedangkan Trump merebut 2,648,818 suara atau 47.9%. Jika Biden diputuskan menang di Michigan dengan 16 EV dan Wisconsin dengan 10 EV, berarti dia memiliki 279 EV. Capres Demokrat ini wajar meyakini kemenangan mengingat 99% suara di kedua negara bagian ini telah dihitung. Selain ‘angin surga’ dari Michigan dan Wisconsin, Biden juga terhibur oleh perkembangan di dua negara bagian lain yakni Arizona dan Nevada. Di Arizona dengan 11 EV, sudah 90% suara dihitung. Biden merebut 1,529,109 atau 50.1% sedangkan Trump mengantungi 1,482,442 atau 48.5%. Di Nevada dengan 6 EV, sudah 80% suara dihitung. Biden mendapat 604,251 suara atau 49.4% sementara Trump kebagian 592,813 suara atau 48.5%. Yang tak kalah menariknya adalah perkembangan di Georgia yang punya 16 EV. Di negara bagian ini, Biden unggul tipis atas Trump. Hanya 1,096 suara. Ini menyebabkan persentase perolehan mereka dibuat sama, yaitu 49.4%-49.4%. Suara yang telah dihitung mencapai 99%. Kalau akhirnya Georgia jauh ke tangan Biden, berarti beliau ini berpotensi merebut 312 EV. Jadi, suasana umum hasil pilpres AS sejauh ini memihak ke Jo Biden. Namun demikian, keputusan akhir kelihatannya masih panjang. Kubu Trump mengajukan gugatan hukum terhadap penghitungan di Michigan dan meminta penghitungan ulang (recount) di Wisconsin. Bisa dipahami sikap keras Trump itu. Sebab, dia juga merasa berpeluang untuk terpilih kembali. Meskipun peluang itu tidak begitu realistis.[] Penulis wartawan senior FNN.co.id

Beberapa Alasan Kenapa Joe Biden Lebih Layak Ketimbang Donald Trump

by Shamsi Ali Dubai FNN - Jumat (06/11). Ini hanya catatan singkat. Rencananya akan dirincikan pada waktunya. Catatan ini juga tidak mengatakan jika Biden itu terbaik bahkan baik. Tapi dalam menilai sesuatu/seseorang Islam memakai penilain “afdholiyah” (terbaik). Di saat tidak ada yang terbaik maka Islam memakai metode “akhaffu ad-dhoraraen” (paling sedikit bahayanya). Keadilan sosial untuk semua (social justice for all). Ini menjadi perbedaan karakter kedua partai besar Amerika; Demokrat dan Republik. Kesetaraan ras bagi semua manusia (racial equality for all people). Di bawah Trump terjadi rasisme, bahkan kekerasan atas nama rasisme di mana-mana. Kesempatan yang sama untuk semua warga Amerika (equal opportunity for all Americans). Orientasi ekonomi Trump yang memihak mereka yang kaya (kapitalis) menyebabkan mereka yang berekonomi menengah ke bawah tercekik. Penguatan ekonomi bagi minoritas (Economic empowerment for minority). Lingkungan rasisme Trump telah berimbas dalam kepada keadilan perekonomian. Imigrasi dan legalisasi para pendatang (Immigration and path to citizenship). Di bawah Trump kesempatan imigrasi hampir ditutup. Ini bertentangan dengan semangat Amerika sebagai negara immigran. Jaminan kesehatan yang bersifat menyeluruh (Universal healthcare). Salah satu usaha keras Trump adalah mencabut Obama Care yang memberikan jaminan kesehatan kepada puluhan juta orang-orang lemah. Jaminan hak-hak minoritas (minority rights protection). Akan terasa jaminan dan proteksi kepada minoritas. Di bawah Trump minoritas langsung atau tidak merasakan marjinalisasi. Kebebasan beragama untuk semua (religious liberty for all). Slogan kebebasan beragama bagi Trump adalah for White Evangelicals dan krtistian radikal lainnya. Kerjasama internasional dan multilateralisme (global partnership and multilateralism). Trump memutuskan hubungan multilateral dengan banyak organisasi internasional. Termasuk di dalamnya WHO, dan lain-lain. Hubungan yang harmonis antar kelompok masyarakt (communal harmonious relations). Trump telah membangun suasana yang memecah belah masyarakat atas banyak dasar. Salah satunya yang paling menonjol adalah perpecahan ras (racial divide). Memperkecil ruang kelompok putih dan golongan kanan yang ekstrim (suppressing the Radical white Supremacy and extremist Rights Wings). Biden dengan tegas mengutuk White Supremacy. Sementara Trump tidak ingin bahkan memuji sebagai patriotik. Isu lingkungan dan perubahan iklim (environmental and climate change issues). Sementara Trump keluar dari Climate Change Paris. Climate change dianggap mitos. Harapan penanganan Covid yang profesional (professional handling of the Covid 19 tragedy). Bangsa Amerika adalah bangsa yang paling besar korban Covid. Salah satunya karena kegagalan pemimpin (leadership failure).Masalah kepribadian dan kepemimpinan (personal and leadership matters). Karakter pribadi Trump yang jauh dari karakter seorang Pemimpin. Khusus untuk Umat Islam Demokrat dalam sejarahnya lebih bersahabat dan membuka ruang yang sama untuk Komunitas Muslim. Akan segera mencabut aturan Trump “Muslim Ban” atau pelarangan orang-orang Islam masuk Amerika. Berkomunikasi langsung dengan Komunitas Muslim selama Kampanye. Berjanji mengikutkan Komunitas Muslim dalam pemerintahan. Berjanji akan lebih terbuka dan fair (imbang) dalam menyikapi isu Timur Tengah.Membangun komunikasi dan kerjasama dengan dunia Islam (bukan memakai/memaksa) berdasar mutual interest (kepentingan bersama). Komunitas Muslim merasakan proteksi sistem (kekuasaan). Minimal Islamophobia akan mendapatkan resistensi sistem. Bukan sebaliknya mendapat pembenaran kekuasaan seperti di zaman Trump. Dan lain-lain yang akan ditambahkan pada masanya. Berbagai keraguan orang tentang Biden, apakah itu karena sejarah perang di Timur Tengah, hubungan dengan China, dan lain-lain akan saya bahas secara detail beberapa hari ke depan. Penulis adalah Imam/Direktur Jamaica Muslim Center dan Presiden Nusantara Foundation

Jokowi For Next Sekjen PBB, Oh No?

by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Sabtu (26/09). Apa karir yang paling cocok bagi Presiden Jokowi pasca periode kedua masa jabatannya? “Jadi Sekjen PBB!” Jangan anggap ini hanya bercanda. Jangan pula buru-buru tertawa. Usulan serius ini datangnya dari pendukung garis keras Jokowi Ananda Sukarlan. Didukung oleh komposer kondang Addie MS. "Pidato Pakde Jokowi di Sidang Umum PBB keren banget. Berani, lugas, tegas, akurat. Jokowi for next Sekjen PBB," ujar Ananda Sukarlan. Cuitan Ananda di akun twitternya itu kemudian menjadi berita di sebuah media. Judulnya “Pidato Jokowi di PBB Dapat Pujian: Keren Banget, Jokowi For Next Sekjen PBB.” Addie MS kemudian membuat cuitan dengan melampirkan link berita tersebut. Cuitan Ananda dan Addie membuat dunia maya riuh rendah. Ada yang pro kontra. Jadi salah satu trending topic. Banyak yang mendukung, tapi banyak juga yang mengecamnya. Komentarnya cukup beragam. Ada yang lucu, dan pedas. Ada yang lucu-lucu pedas. Ada yang seolah mendukung dan menyatakan masih ada waktu empat tahun bagi Jokowi untuk belajar bahasa Inggris. Ada pula yang menganggap aneh dan memberi analogi. Ibarat anak sekolah yang sering bolos, sekali masuk, maunya jadi ketua kelas. Sebab Jokowi selama lima tahun terakhir selalu absen di Sidang Umum Majelis PBB. Biasanya diwakili oleh Wapres Jusuf Kalla. Baru kali ini dia hadir, itu pun hanya melalui pidato virtual yang sudah direkam lebih dahulu. Wajahnya tampil di SU PBB. Tapi raganya tetap ada di Jakarta. Bukan hanya medsos yang riuh. Media konvensional juga menyorotinya. Kornelius Purba, Editor senior media berbahasa Inggris The Jakarta Post membuat sebuah tulisan satire berjudul: Jokowi’s UN speech: Playing it safe on Palestine. Sebagai wartawan, Purba mengaku bingung bagaimana harus mengutip pernyataan Jokowi. Bagi Purba, hanya dua hal yang paling menonjol dalam pidato Jokowi. Pertama, janjinya yang berulang mendukung kemerdekaan Palestina. Kedua, nah ini yang unik, kalimat penutup Jokowi yang sangat simple dan lucu. “That is all from me!” Rasionalitas Pendukung Fenomena pendukung Jokowi seperti ditunjukkan oleh Ananda dan Addie MS mengingatkan kita pada sebuah syair lagu Gombloh. Penyanyi eksentrik asal Surabaya itu secara berkelakar bersenandung “Kalau cinta sudah melekat, tahi kucing terasa coklat.” Cinta berlebihan membutakan. Kehilangan rasionalitas. Too much love will kill you. Bahkan untuk seorang sekelas mereka berdua. Bayangkan bagaimana sikap para pendukung Jokowi yang secara intelektual jauh di bawah mereka. Para pendukung yang mau disuruh berbunyi apa saja. Gak pakai mikir. Dengan fakta bahwa Jokowi sangat menghindari persidangan PBB, hanya ada dua kemungkinan muncul usulan semacam itu. Pertama, dari pendukung bodoh. Tidak well informed. Tidak pernah baca dan nonton berita. Pendukung katrok dan culun. Kedua, dari orang yang ingin menjerumuskan dan mengolok-olok Jokowi. Dua-duanya tidak cocok dengan profil Ananda dan Addie. Mereka adalah maestro di bidang musik. Ananda adalah pianis dan komposer musik klasik. Punya reputasi dunia. Addie dikenal sebagai komposer dengan karya-karya yang menawan. Dia konduktor Twilite Orchestra yang sudah tampil di panggung-panggung Internasional. Keduanya pemuja Jokowi. Tidak mungkin mengolok-olok, apalagi sengaja menghinakan. Mereka sangat serius. Tidak sedang bercanda. Dengan fakta itu terpaksa kita harus membuka opsi ketiga. Pendukung yang cinta buta seperti digambarkan oleh Gombloh. Saking bingungnya, seorang netizen sampai membuat sebuah kesimpulan yang salah pula. Bunyi statusnya begini: Tidak benar musik klasik bisa membuat pintar. Buktinya Addie MS tambah bodoh! Ampyuuuunnnn…….End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Perbedaan Antara Kerajaan Qatar dan Republik Qotor

by Asyari Usman Jakarta FNN - Jumat (04/09). Sekitar bulan April 2018 (sudah cukup lama, lebih dua tahun lalu), ada postingan di FB salah seorang teman dengan judul “Qatar adalah Negara Paling Aneh di Dunia”. Tulisan ini memuji Qatar sebagai negara yang penduduknya paling makmur dari segi finansial. Pendapatan per kapita rakyatnya mencapai USD132,000 atau setara dengan Rp1.7 miliar setahun. Dengan penghasilan segitu besar, negara masih menyediakan semua fasilitas hidup untuk warga negara Qatar –sebuah negara kecil di jazirah Arab. Mau sekolah atau kuliah di mana saja, mau berobat di mana saja, negara yang menanggung. Kabarnya juga, laki-laki yang telah atau mau beristri empat (4), dibiayai oleh negara. Satu rumah untuk tiap istri. Plus beberapa orang pembantu. Penduduk Qatar hanya sekitar 315,000 jiwa. Sedangkan pekerja asing yang ada di negara itu mencapai 2.3 juta orang. Bisa dibayangkan seberapa besar pengeluaran negara kecil itu untuk menggaji orang asing. Dan ingat! Pastilah ratusan ribu orang diantara 2.3 juta itu adalah tenaga ahli yang berkualifikasi tinggi. Artinya, gaji mereka pun pasti selangit. Walhasil, semua orang yang hidup di Qatar merasakan kemakmuran yang boleh dikatakan sempurna. Terlebih-lebih rakyat negara itu sendiri. Semua disediakan negara. Apa saja keperluan rakyatnya tinggal kasih tau kerajaan. Begitulah kira-kira. Tentu saja wajar kalau sedunia ini merasa kagum sampai berdecik-decik. Pantas juga kalau ada yang ‘ngiler’. Tidak masalah. Karena ngiler ‘kan tidak dipungut biaya. Wajar-wajar saja. Yang tidak wajar ialah kalau Anda, rakyat Indonesia, membanding-bandingkan kemakmuran rakyat Qatar dengan rakyat di negara ini. Kenapa tidak wajar? Karena cara Indonesia ini dikelola sangat lain dengan cara Qatar diurus oleh para pemimpinnya. Di Qatar, para pemimpin, para emir, sangat menghargai rakyat mereka. Mereka bangga dengan rakyatnya. Mereka memiliki ambisi yang positif untuk rakyatnya. Para pemimpin Qatar paham bahwa rakyat merekalah yang harus dilayani. Bukan orang luar. Di sini, terbalik. Kemakmuran yang digali dari bumi negara ini dikirim ke luar. Belakangan ini, banyak dikirim ke RRC. Paling-paling rakyat kebagian ampas, sampah, dan limbah galian. Kebagian yang kotor-kotor. Kerajaan Qatar mencukupi keperluan rakyatnya. Merawat rakyatnya. Di sini, para penguasa melayani para majikan mereka yang membawa pundi-pundi utang. Kemudian, para penguasa menilap uang utangan itu untuk rekening gendut mereka. Begitulah cara kerja pikiran kotor. Para pemimpin di kerajaan Qatar membuat APBN untuk kesejahteraan rakyatnya. Di sini, para pemimpin menyusun APBN agar bisa dicuri. Begitulah pikiran kotor. Di Kerajaan Qatar, sebutan untuk pendapatan rakyatnya adalah “penghasilan bersih”. Di negeri kita ini, pendapatan rakyat selalu disebut “penghasilan kotor”. Sering ‘kan Anda ditanya atau bertanya: “berapa penghasilan kotor”? Karena memang yang diterima rakyat kita itu yang kotor-kotor. Yang kotor-kotor dari lahan tambang. Yang kotor-kotor dari pengerjaan proyek-proyek besar. Yang kotor-kotor dari pembangunan fisik, dll. Jadi, penghasilan rakyat di sini memang ‘literally’ disebut “penghasilan kotor”. Berbeda dengan penghasilan rakyat di Qatar. Mereka selalu menyebut “penghasilan bersih”. Karena semuanya bersih. Tempat kerja, bersih. Layanan rumah sakit, bersih. Jalan raya, bersih. Jalan kecil, bersih. Bantuan dari negara diterima bersih, tanpa korupsi. Melihat kondisi yang ada sekarang di negeri ini, tampaknya Anda semua harus bersabar. Bersabar menerima yang kotor-kotor itu. Bersabar menyaksikan pikiran-pikiran kotor. Itulah beda antara Kerajaan Qatar dengan Republik Qotor. Anda harus berjuang keras untuk mengganti dua huruf “o” di Republik Qotor menjadi huruf “a” agar tidak terus-menerus “kotor”. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.