INTERNASIONAL
Lewat Diplomat Jerman, Uni Eropa Ikuti Kasus Pembunuhan 6 Laskar FPI
by Asyari Usman Medan FNN - Minggu (20/12/20). Di dunia ini, tidak ada kelompok negara yang paling peduli HAM kecuali Uni Eropa (UE). Itulah yang terjadi kemarin ketika delegasi diplomat Jerman mendatangi sekretariat FPI. Ini merupakan isyarat bahwa UE ingin mendapatkan informasi “first hand” tentang pembunuhan 6 laskar FPI. Jerman adalah salah satu negara UE yang banyak menyediakan dukungan politik dan finansial untuk orang atau komunitas yang diperlakukan sewenang-wenang. Mereka tahu persis apa yang sedang terjadi di Indonesia. Khususnya apa yang terjadi terhadap Habib Rizieq Syihab (HRS) dan gerakan yang menuntut keadilan. Hampir pasti, para diplomat Jerman itu sudah sejak lama mengamati sepak terjang penguasa di sini. Mereka mencatat kesewenangan para penguasa. Termasuk kezaliman aparat Kepolisian. Khususnya pembunuhan terhadap 6 laskar FPI yang diduga melanggar ketentuan hukum (unlawful killing). Para diplomat Jerman itu pastilah telah mengumpulkan banyak catatan tentang tindak kekerasan yang selama ini dilakukan oleh aparat kepolisian. Termasuklah tindakan tak berperikemanusiaan yang dialami oleh para pendemo terkait hasil pilpres 2019 dan para pendemo UU Omnibus Law. Dan juga dalam berbagai peristiwa unjuk rasa lainnya. Pembunuhan 6 laskar FPI belum lama ini tampaknya dinilai sebagai klimaks kesewenangan para penguasa. Sekaligus, para diplomat Jerman itu menjadikan pembunuhan ini sebagai momentum untuk memberikan peringatan kepada pemerintah Indonesia bahwa kesewenangan harus dihentikan. Sangat mungkin para diplomat Jerman itu ditugaskan oleh UE untuk memgumpulkan informasi mengenai pembunuhan para laskar. Mereka, boleh jadi, sudah mengamati secara saksama tindakan aparat kepolisian dalam peristiwa itu. Jadi, tidak diragukan lagi bahwa kunjungan para diplomat Jerman tsb akan memperbesar aspek internasional dari pembunuhan 6 laskar FPI. Kita akan melihat perhatian yang lebih besar dari Uni Eropa.[] (Penulis wartawan senior fnn.co.id)
“Calling Visa” Indonesia untuk Israel, Apa Motif Pemerintah?
by Mochamad Toha Surabaya FNN - Sabtu (28/11). Pesan Bung Karno: “Selama Israel menjajah Palestina, Indonesia tidak akan pernah membuka jalinan persabatan bilateral dengan Israel”. Seharusnya pejabat Pemerintah mencamkan peringatan Presiden RI pertama Ir. Soekarno itu. Tapi, rupanya peringatan Bung Karno itu diabaikan begitu saja. Buktinya, melalui Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Pemerintah membuka pelayanan visa elektronik (e-Visa) bagi warga Israel dan 7 negara lainnya dengan subjek calling visa atau layanan visa khusus negara dengan tingkat kerawanan tertentu. Pelayanan telah dibuka mulai Senin (23/11/2020) setelah sempat dihentikan selama pandemi Covid-19. Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Arvin Gumilang menjelaskan bahwa uji coba pembukaan pelayanan telah dilakukan pada Jumat (20/11/2020) lalu. Selanjutnya para penjamin orang asing dari negara subjek calling visa bisa mengajukan permohonan melalui website www.visa-online.imigrasi.go.id. “Uji coba pelayanan telah kami lakukan sebelumnya dan Senin (23/11) nanti akan kami buka pelayanan e-Visa bagi subjek calling visa untuk tujuan penyatuan keluarga, bisnis, investasi, dan bekerja,” jelas Arvin melalui keterangan tertulis, Selasa (24/11/2020). Seperti dilansir CNNIndonesia.com, Arvin menambahkan, untuk tenaga kerja asing (TKA) bisa mengunggah dokumen permohonan melalui website tka-online.kemnaker.go.id milik Kementerian Tenaga Kerja. Ia menjelaskan, alasan pelayanan calling visa dibuka kembali karena banyak tenaga ahli dan investor yang berasal dari negara-negara calling visa. Selain itu juga untuk mengakomodasi hak-hak kemanusiaan para pasangan kawin campur. Arvin menjabarkan delapan negara calling visa tersebut yakni: 1. Afghanistan; 2. Guinea; 3. Israel; 4. Korea Utara; 5. Kamerun; 6. Liberia; 7. Nigeria; 8. Somalia. Alasan dibukanya kembali pelayanan calling visa ialah karena banyaknya tenaga ahli dan investor yang berasal dari negara-negara calling visa. Layanan khusus ini juga untuk mengakomodasi hak-hak kemanusiaan para pasangan kawin campur. “Negara calling visa adalah negara yang kondisi atau keadaan negaranya dinilai mempunyai tingkat kerawanan tertentu ditinjau dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan negara, dan aspek keimigrasian,” ujar Arvin. Arvin mengungkapkan bahwa proses pemeriksaan permohonan e-Visa bagi warga negara subjek calling visa melibatkan tim penilai yang terdiri dari Kemenkumham, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Tenaga Kerja, Kepolisian, Kejaksaan Agung, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis TNI, dan Badan Narkotika Nasional (BNN). “Tim ini akan mengadakan rapat koordinasi untuk menilai apakah seseorang layak atau tidak untuk diberikan visa,” pungkas Arvin. Menilik situasi, waktu, serta alasan dibukanya layanan calling visa ini tentu menarik. Sampai saat ini, praktis Indonesia masih menutup perbatasannya dari kunjungan warga negara asing (WNA). Hal itu sesuai dengan Permenhukham Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pelarangan Sementara Orang Asing Masuk Wilayah NKRI, yang kemudian diganti dengan Permenhukham Nomor 26 Tahun 2020 tentang Visa dan Izin Tinggal Dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru, yang esensinya hampir sama dengan Permenhukham 11/2020. Visa kunjungan dan visa tinggal terbatas yang berlaku saat ini adalah untuk sekali perjalanan yang diberikan dalam rangka: melakukan pekerjaan darurat dan mendesak, melakukan pembicaraan bisnis, melakukan pembelian barang; Uji coba keahlian bagi calon TKA, tenaga bantuan dan dukungan medis dan pangan, dan tergabung dengan alat angkut yang berada di wilayah Indonesia. Ada juga visa tinggal terbatas tidak dalam bekerja, meliputi: melakukan penanaman modal asing, penyatuan keluarga dan wisatawan lanjut usia mancanegara. Selain itu, antara Juli sampai Oktober 2020, Indonesia menyepakati Pengaturan Koridor Perjalanan atau Travel Corridor Arrangement (TCA) dengan 4 negara, yaitu Korea Selatan, Tiongkok, Uni Emirat Arab dan Singapura. Bandar Udara Soekarno-Hatta menjadi salah satu pintu masuk warga dari empat negara tersebut. TCA bertujuan memfasilitasi kemudahan perjalanan khusus bisnis, ekonomi, diplomatik dan dinas. Jadi, kalau payung besar penutupan perbatasan negara untuk perlindungan dari Covid-19 masih diberlakukan, mengapa justru Ditjen Imigrasi secara khusus membuka layanan calling visa untuk delapan negara itu? Alasan tenaga ahli, investor, kawin campur jelas kurang cocok dikenakan ke delapan negara, mengingat kondisi ekonomi dan politik yang sama atau di bawah Indonesia. Kecuali Israel! Konstitusi kita jelas menyebutkan bahwa Kemerdekaan Adalah Hak Segala Bangsa. Atas dasar itulah kita tidak membuka hubungan dengan Israel. Jadi, yang dilakukan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan ini sudah melanggar UUD negara kita. UUD 1945: Kemerdekaan Adalah Hak Segala Bangsa! Atas dasar itulah kita tidak membuka hubungan dengan Israel. Karena Israel adalah Zionis Penjajah. Dan, yang dijajah adalah Palestina, negara yang bersama negara-negara Liga Arab lainnya mengakui kemerdekaan Negara Indonesia saat masih belum diakui PBB. Rakyat Palestina menyumbangkan kekayaannya untuk membantu biaya perjuangan meraih Kemerdekaan Indonesia yang harus melakukan diplomasi dan propaganda ke banyak negara. Jadi, sekali lagi, yang dilakukan Menko Luhut ini sudah melanggar UUD negara kita. Pemberian calling visa untuk Israel diketahui juga tak lama setelah kunjungan Menko Luhut ke Amerika Serikat. Di sana, Menko Luhut yang didampingi Dubes RI untuk AS Muhammad Lutfi, bertemu dengan Presiden Donald J. Trump. Pergerakan Israel yang ingin normalisasi hubungan dengan negara berpenduduk Islam ini makin kencang. Senin (23/11/2020), media Israel, Haaretz melaporkan, PM Israel Benjamin Netanyahu diam-diam terbang ke Arab Saudi dan bertemu dengan Pangeran Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) dan Menteri Luar Negeri AS Michael “Mike” Pompeo. Sadar atau tidak disadari Pemerintah Indonesia, yang jelas dampak dari normalisasi tersebut, membuat Israel semakin ganas menghancurkan pemukiman warga Palestina dan membangun pemukiman Yahudi. “Apalagi PM Israel Benjamin Netanyahu pernah mengatakan tidak akan menghentikan upaya mengambil alih tanah-tanah Palestina,” ujar aktivis Muslim Von Edison Alouisci di Ramallah 26 November 2020. Menurutnya, Pemerintah Indonesia jelas langkah keliru, mestinya Israel diisolasi supaya jera, bukannya diberi kemudahan. Pengamat bidang militer dan pertahanan Connie Rahakundini Bakrie mengatakan. Indonesia harus berani membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Hal ini merupakan upaya untuk memudahkan Indonesia melakukan diplomasi dalam mewujudkan kemerdekaan Palestina. “Sudah saatnya Indonesia bertindak konkret agar bisa lebih memahami Israel dengan membuka hubungan diplomatik sehingga ada diskusi lebih lanjut,” ujar Connie, Sabtu (26/9/2020). “Pernyataan Connie ini menurut saya adalah analisa keliru,” tegas Edison Alouisci. Mestinya cara Indonesia membantu mewujudkan kemerdekaan Palestina adalah dengan cara diplomasi, bukan membuka hubungan kepada Israel. Senjata Indonesia untuk mengakhiri konflik Palestina-Israel adalah dengan memberi tekanan diplomatik, bukan membuat kerjasama dengan Israel yang terbiasa dengan taktik zionis menekan negara Muslim. “Bagi saya Pemerintah Indonesia justru membuka jalan bagi israel untuk menjalankan misi penghancuran negara Islam, termasuk Indonesia secara terstruktur dan itu akan merugikan Indonesia dan tidak akan berpengaruh bagi kedamaian di Palestina,” lanjutnya. Bagi kita dan relawan Indonesia yang tentu lebih banyak mengetahui perilaku tindakan Israel terhadap Palestina, maka rencana Indonesia melakukan normalisasi dengann Israel, jelas akan melukai rakyat palestine yg telah banyak menelan korban dan kehilangan wilayah. “Yang jelas langkah pemerintah Jokowi (Presiden Jowo Widodo) adalah langkah mundur dan memalukan umat Islam dunia yang berpihak pada Palestina,” tegas Edison Alouisci. “Mas Toha, apakah kita tidak melihat kemungkinan untuk lebih mudah membela hak-hak bangsa Palestina jika kita membuka hubungan diplomatik/berkomunikasi dengan negara Israel?” begitu tanya Bambang Sulistomo, Putra Bung Tomo. Saya mencoba menjawab pertanyaan Mas Bambang tersebut. Sama halnya dengan Rasulullah Muhammad SAW, bangsa Indonesia sudah jelas-jelas menentang dan bahkan mengharamkan adanya penjajahan di muka bumi ini oleh bangsa apa pun. Di dalam sejarahnya, mulai 1948, jelas-jelas zionisme berupaya menduduki tanah Palestina yang baru saja merdeka. Sekarang ini kita justru konsistensi bangsa Indonesia sedang diuji: tetap setia dengan sikap menentang segala jenis penjajahan di muka bumi (sebagaimana disebutkan dan menjadi amanat Pembukaan UUD 1945) atau menyingkirkan amanat para pendiri bangsa Indonesia yang merumuskan konstitusi kita? Dan, yang perlu dicatat lagi: Indonesia juga menganut politik luar negeri yang berasas bebas-aktif. Bebas artinya memihak/tidak memihak blok atau persekutuan negara-negara tertentu. Aktif itu artinya berperan aktif di dalam menjaga perdamaian dunia sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945. Jadi, karena Israel dianggap sebagai penjajah Palestina, secara otomatis Israel dianggap pula mengganggu perdamaian dunia. Dan, ini jelas-jelas bertentangan dengan sikap politik luar negeri Indonesia tersebut. Penulis wartawan senior FNN.co.id
Begini Cara Licik Pemerintah “Seludupkan” Orang Israel ke Indonesia
by Asyari Usman Medan FNN - Jumat (27/11). Ada berita tentang kelicikan para penguasa yang pro-Zionis Israel. Yaitu, langkah pemerintah untuk ‘menyeludupkan’ orang Israel dengan mengeluarkan kebijakan keimigrasian yang sangat aneh. Kebijakan keimigrasian yang aneh itu adalah menempatkan Israel sekelas dengan Korea Utara, Liberia, Nigeria, Somalia, Kamerun, Afghanistan, dan Guinea sebagai negara-negara yang boleh masuk ke Indonesia dengan ‘calling visa’ (visa yang disponsori oleh orang atau lembaga di negara tuan rumah). Artinya, orang Indonesia atau lembaga badan usaha di negara ini bisa memberikan rekomendasi visa untuk warganegara dari delapan negara yang disebut di atas. Kebijakan ini sudah ada sebelum wabah Covid-19. Tetapi, tiba-tiba saja Ditjen Imigrasi Kemenkumham, membuka kembali layanan ‘calling visa’ itu sejak 20 November 2020. Yang mengherankan ialah, kenapa Israel disamakan dengan tujuh negara lain yang oleh banyak negara dunia dianggap sebagai sumber masalah jika warga mereka diberi visa. Juru bicara Ditjen Imigrasi, Arvin Gumilang, mengatakan alasan pembukaan kembali ‘calling visa’ ialah karena banyaknya tenaga ahli dan investor yang berasal dari negara-negara tersebut. Selain itu, juga untuk mengakomodasi hak-hak kemanusiaan para pasangan kawin campur. Mengapa Israel masuk ke dalam kelompok ‘calling visa’? Mungkinkah dengan alasan kawin campur? Tampaknya tak mungkin. Atau alasan kemanusiaan seperti warga Afghanistan, Somalia, Nigeria, dll, yang memang dilanda konflik ideologi? Juga tak mungkin. Apa iya serius pemerintah mau menampung pengungsi dari tujuh negara selain Israel itu? Kecil kemungkinannya. Apa iya banyak investor dan tenaga ahli dari tujuh negara selain Israel itu? Semakin tak masuk akal. Jadi, apa kira-kira kesimpulan tentang ‘calling visa’ untuk orang Israel? Yang paling masuk akal ialah kategori investasi atau tenaga kerja ahli. Dan sangat mudah terbaca bahwa sesungguhnya tujuan utama ‘calling visa’ untuk delapan negara itu adalah memudahkan orang Israel masuk ke Indonesia. Baik yang membawa duit investasi maupun keahlian. Ketujuh negara dengan kategori konflik ideologi tadi hanya sebagai ‘penghias’ kebijakan khusus untuk Israel itu. Agar terlihat kebijakan ‘calling visa’ ini bukan untuk orang Israel saja. Padahal, tujuan utamanya adalah untuk memudahkan orang Israel masuk ke sini. Hanya untuk orang Israel saja. Tidak mungkin untuk orang Kamerun, Somalia, Liberia, Guinea, Afghanistan, apalagi Korea Utara. Kalau pun ada permohonan untuk orang dari tujuh negara selain Israel, lagi-lagi itu sebagai tindakan kosmetik saja. Paling-paling satu-dua yang akan diberi ‘calling visa’ itu. Sekadar ada bukti saja. So, beginilah cara licik pemerintah “menyeludupkan” orang Israel yang siap membawa uang ke negara ini. Sangat wajar diduga bahwa kebijakan yang memudahkan investor pro-Zionis ini sudah dirancang dengan rapi oleh para pejabat tingkat tinggi. Satu hal lagi yang pantas dicatat ialah bahwa pembukaan kembali ‘calling visa’ untuk Israel dan tujuh negara lainnya itu dilakukan di tengah hiruk-pikuk kepulangan Habib Rizieq Syihab (HRS) dan heboh soal kerumunan. Dan bersamaan pula dengan tindakan Pangdam Jaya mencopot baliho HRS. Di negara-negara Eropa, cara ini terkenal dengan istilah “burying bad news” (mengubur berita buruk) ketika publik sibuk dengan isu-isu lain. Penulis adalah wartawan senior FNN.co.id
Donald Trump Petahana Yang Malang, Kalau Disini Pasti Menang
by Asyari Usman Jakarta FNN - Senin (09/11). Di mana-mana pemilu atau pilpres, calon petahana biasanya paling tenang dan percaya diri. Misalnya, di pilpres 2019, Pak Jokowi sebagai petahana selalu tenang. Dia sangat ‘confident’. Meskipun banyak orang yang memperkirakan lawan beliau, Prabowo Subianto, waktu itu akan menang mengingat dukungan rakyat yang gegap gempita. Jokowi tidak menunjukkan kekhawatiran sedikit pun. Bahkan, beliau senantiasa memperlihatkan “saya akan menang”. Dan ternyata dia “menang”. Dengan sangat mudah pula. Artinya, Jokowi benar-benar menunjukkan kualitas percaya dirinya sebagai petahana. Beliau bagaikan telah dibisikkan, entah oleh siapa, bahwa dia pasti menang. Barangkali, begitulah seharusnya sikap seorang “petahana sejati”. Tidak boleh khawatir. Tidak perlu pula cemas apalagi sampai paranoia. Tetapi, dalam pilpres 2020 di Amerika Serikat (AS), Donald Trump sebagai petahana tercatat paling rewel. Paling gelisah. Khususnya terhadap pelaksanaan pencoblosan dan penghitungan suara. Dia tidak percaya terhadap banyak hal. Tak percaya bahwa pilpres berjalan jujur dan adil. Dia menuduh ada pihak-pihak yang melakukan kecurangan. Trump menuduh ada penipuan dalam penghitungan suara. Sampai-sampai dia mengajukan gugatan agar penghitungan dihentikan di sejumlah negara bagian. Di negara bagian Montana, sebagai contoh, kubu Trump mengajukan permohonan kepada pengadilan agar menghentikan sistem pemungutan suara lewat pos. Trump mengatakan pengiriman surat suara lewat pos ke KPU akan mengundang kecurangan. Tetapi, Hakim Dana Christensen membuat putusan yang menolak permohonan kubu Trump. Bu Hakim menuduh kubu Trump menyebarkan ‘fiksi’ (hayalan) tentang bahaya pemungutan suara lewat pos. Intinya, Trump takut kalah. Dia tidak mau menerima kekalahan. Bagi Trump, kalau dia kalah berarti ada kecurangan. Dengan kata lain, pemilu tidak curang jika dia yang menang. Sebagai petahana, sikap curiga dan menuduh lawan melakukan kecurangan sangatlah menggelikan. Seharusnya, seorang petahana selalu memiliki keunggulan dibanding penantang. Petahana lazimnya mengendalikan seluruh lini kekuasaan. Seharusnya Trump bisa “menyiapkan” kemenangannya di pilpres 2020 ini. Tapi, itu tidak terjadi. Di bagian lain dunia, termasuk di Asia Tenggara, petahana bisa menyiapkan persentase kemenangan. Caranya sangat mudah. Gunakan kekuasaan dan uang. Para pejabat yang melaksanakan pemilu dan jajaran mereka disogok dengan duit besar. Di salah satu negara Asia Tenggara, KPU-nya berada di bawah komando petahana. Polisi negara itu digunakan oleh petahana untuk memenangi pilpres. Bahkan makamah pemutus pertikaian pemilu pun ‘taat’ kepada petahana. Nah, ini yang tidak dilakukan Trump sebagai petahana. Dia menyia-nyiakan posisi sebagai pemegang kekuasaan besar di AS. Sayang sekali. Tapi, bisa dipahami juga kenapa Trump tidak melakukan itu. Sebab, kalau dia coba-coba mendekati KPU Amerika, kepolisian (FBI), intelijen (CIA), dlsb, dengan tujuan agar institusi-institusi itu menjalankan misi untuk memenangkan Trump di pilpres 2020 ini, pasti akan bocor ke media. Kalau sudah bocor, selesailah dia. Karena, media di Amerika tidak seperti media di sini. Media Amerika pasti akan berteriak keras kalau petahana ketahuan melakukan tindakan yang mereka anggap sangat tercela itu. Kalau di sini, media bisa diajak bekerja sama dengan imbalan uang. Kalau tidak bisa dengan uang, pasti bisa dengan kekuasaan. Dengan intimidasi. Ditelefon atau didatangi oleh orang-orang dari berbagai instansi yang bisa melakukan apa saja. Orang-orang media pasti ketakutan. Yang sering lancar adalah kombinasi uang dan kekuasaan. Semua pihak senang. Sama-sama menguntungkan pribadi dan kelompok. Begitu kira-kira, Pak Trump. Kalau di sini, orang akan bilang Anda itu petahana yang bernasib sangat malang. Semua ada dalam genggangam tapi kalah pilpres. Kapan-kapan nanti, Anda coba ‘nyapres di sini. Bawa duit banyak-banyak. Nanti saya kasih tahu caranya. Pasti menang.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)
Trump Merasa Menang, Tapi Biden Hampir Pasti Menang
by Asyari Usman Jakarta FNN - Jumat (06/11). Kita awali dari apa itu ‘electoral college vote’ (sebut saja EV) yang sangat menentukan pemenang pilpres Amerika Serikat (AS). EV adalah orang atau kursi yang mewakili pemilih di tiap-tiap negara bagian yang akan memberikan suara mereka kepada pemenang suara terbanyak di negara-negara bagian tsb. Contoh, sekarang ini Joseph “Jo” Biden merebut suara pemilih terbanyak di Kalifornia. Negara bagian ini memiliki 55 EV. Maka, sesuai aturan setempat, kesemua EV Kelifornia menjadi milik Biden. Contoh lain, Donald Trump merebut suara pemilih terbanyak di Teksas. Negara bagian ini memiliki 38 EV. Maka, sesuai aturan setempat, kesemua EV di Teksas menjadi milik Trump. Begitu seterusnya. Pada saat ini, penghitungan suara sudah hampir rampung. Sejauh ini, Biden merebut 253 EV dan Trump mengantungi 214. Jumlah EV untuk 50 negara bagian di AS plus DC (District of Columbia) adalah 538. Dengan demikian, siapa yang merebut 270 EV (lebih setengah) akan terpilih sebagai presiden. Apa yang sedang terjadi sekarang? Jawabannya: sangat mendebarkan, terutama bagi rakyat Amerika. Pilpers 2020 ini sangat kontestatif. Pendukung kedua capres bersemangat tinggi untuk memenangkan calon mereka. Itulah sebabnya “turn out” (jumlah pemilih yang memberikan suara) kali ini tertinggi tinggi sejak 1960. Yaitu, 66.9% dari total 233.7 juta pemilih Trump tampil sangat agresif. Dia merasa bisa menang. Bahkan dia sudah mengklaim kemenangan. Tetapi, Biden hampir pasti menang. Cuma, dia lebih tenang. Biden hanya mengatakan, “Kita bisa menang.” Apa penjelasannya? Biden mungkin tenang karena dia melihat isyarat yang jelas dari penghitungan suara di Michigan dan Wisconsin. Kedua negara bagian ini sudah menghitung 99% suara pemilih. Biden mendapat 2,795,714 suara atau 50.5%. Sedangkan Trump merebut 2,648,818 suara atau 47.9%. Jika Biden diputuskan menang di Michigan dengan 16 EV dan Wisconsin dengan 10 EV, berarti dia memiliki 279 EV. Capres Demokrat ini wajar meyakini kemenangan mengingat 99% suara di kedua negara bagian ini telah dihitung. Selain ‘angin surga’ dari Michigan dan Wisconsin, Biden juga terhibur oleh perkembangan di dua negara bagian lain yakni Arizona dan Nevada. Di Arizona dengan 11 EV, sudah 90% suara dihitung. Biden merebut 1,529,109 atau 50.1% sedangkan Trump mengantungi 1,482,442 atau 48.5%. Di Nevada dengan 6 EV, sudah 80% suara dihitung. Biden mendapat 604,251 suara atau 49.4% sementara Trump kebagian 592,813 suara atau 48.5%. Yang tak kalah menariknya adalah perkembangan di Georgia yang punya 16 EV. Di negara bagian ini, Biden unggul tipis atas Trump. Hanya 1,096 suara. Ini menyebabkan persentase perolehan mereka dibuat sama, yaitu 49.4%-49.4%. Suara yang telah dihitung mencapai 99%. Kalau akhirnya Georgia jauh ke tangan Biden, berarti beliau ini berpotensi merebut 312 EV. Jadi, suasana umum hasil pilpres AS sejauh ini memihak ke Jo Biden. Namun demikian, keputusan akhir kelihatannya masih panjang. Kubu Trump mengajukan gugatan hukum terhadap penghitungan di Michigan dan meminta penghitungan ulang (recount) di Wisconsin. Bisa dipahami sikap keras Trump itu. Sebab, dia juga merasa berpeluang untuk terpilih kembali. Meskipun peluang itu tidak begitu realistis.[] Penulis wartawan senior FNN.co.id
Beberapa Alasan Kenapa Joe Biden Lebih Layak Ketimbang Donald Trump
by Shamsi Ali Dubai FNN - Jumat (06/11). Ini hanya catatan singkat. Rencananya akan dirincikan pada waktunya. Catatan ini juga tidak mengatakan jika Biden itu terbaik bahkan baik. Tapi dalam menilai sesuatu/seseorang Islam memakai penilain “afdholiyah” (terbaik). Di saat tidak ada yang terbaik maka Islam memakai metode “akhaffu ad-dhoraraen” (paling sedikit bahayanya). Keadilan sosial untuk semua (social justice for all). Ini menjadi perbedaan karakter kedua partai besar Amerika; Demokrat dan Republik. Kesetaraan ras bagi semua manusia (racial equality for all people). Di bawah Trump terjadi rasisme, bahkan kekerasan atas nama rasisme di mana-mana. Kesempatan yang sama untuk semua warga Amerika (equal opportunity for all Americans). Orientasi ekonomi Trump yang memihak mereka yang kaya (kapitalis) menyebabkan mereka yang berekonomi menengah ke bawah tercekik. Penguatan ekonomi bagi minoritas (Economic empowerment for minority). Lingkungan rasisme Trump telah berimbas dalam kepada keadilan perekonomian. Imigrasi dan legalisasi para pendatang (Immigration and path to citizenship). Di bawah Trump kesempatan imigrasi hampir ditutup. Ini bertentangan dengan semangat Amerika sebagai negara immigran. Jaminan kesehatan yang bersifat menyeluruh (Universal healthcare). Salah satu usaha keras Trump adalah mencabut Obama Care yang memberikan jaminan kesehatan kepada puluhan juta orang-orang lemah. Jaminan hak-hak minoritas (minority rights protection). Akan terasa jaminan dan proteksi kepada minoritas. Di bawah Trump minoritas langsung atau tidak merasakan marjinalisasi. Kebebasan beragama untuk semua (religious liberty for all). Slogan kebebasan beragama bagi Trump adalah for White Evangelicals dan krtistian radikal lainnya. Kerjasama internasional dan multilateralisme (global partnership and multilateralism). Trump memutuskan hubungan multilateral dengan banyak organisasi internasional. Termasuk di dalamnya WHO, dan lain-lain. Hubungan yang harmonis antar kelompok masyarakt (communal harmonious relations). Trump telah membangun suasana yang memecah belah masyarakat atas banyak dasar. Salah satunya yang paling menonjol adalah perpecahan ras (racial divide). Memperkecil ruang kelompok putih dan golongan kanan yang ekstrim (suppressing the Radical white Supremacy and extremist Rights Wings). Biden dengan tegas mengutuk White Supremacy. Sementara Trump tidak ingin bahkan memuji sebagai patriotik. Isu lingkungan dan perubahan iklim (environmental and climate change issues). Sementara Trump keluar dari Climate Change Paris. Climate change dianggap mitos. Harapan penanganan Covid yang profesional (professional handling of the Covid 19 tragedy). Bangsa Amerika adalah bangsa yang paling besar korban Covid. Salah satunya karena kegagalan pemimpin (leadership failure).Masalah kepribadian dan kepemimpinan (personal and leadership matters). Karakter pribadi Trump yang jauh dari karakter seorang Pemimpin. Khusus untuk Umat Islam Demokrat dalam sejarahnya lebih bersahabat dan membuka ruang yang sama untuk Komunitas Muslim. Akan segera mencabut aturan Trump “Muslim Ban” atau pelarangan orang-orang Islam masuk Amerika. Berkomunikasi langsung dengan Komunitas Muslim selama Kampanye. Berjanji mengikutkan Komunitas Muslim dalam pemerintahan. Berjanji akan lebih terbuka dan fair (imbang) dalam menyikapi isu Timur Tengah.Membangun komunikasi dan kerjasama dengan dunia Islam (bukan memakai/memaksa) berdasar mutual interest (kepentingan bersama). Komunitas Muslim merasakan proteksi sistem (kekuasaan). Minimal Islamophobia akan mendapatkan resistensi sistem. Bukan sebaliknya mendapat pembenaran kekuasaan seperti di zaman Trump. Dan lain-lain yang akan ditambahkan pada masanya. Berbagai keraguan orang tentang Biden, apakah itu karena sejarah perang di Timur Tengah, hubungan dengan China, dan lain-lain akan saya bahas secara detail beberapa hari ke depan. Penulis adalah Imam/Direktur Jamaica Muslim Center dan Presiden Nusantara Foundation
Jokowi For Next Sekjen PBB, Oh No?
by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Sabtu (26/09). Apa karir yang paling cocok bagi Presiden Jokowi pasca periode kedua masa jabatannya? “Jadi Sekjen PBB!” Jangan anggap ini hanya bercanda. Jangan pula buru-buru tertawa. Usulan serius ini datangnya dari pendukung garis keras Jokowi Ananda Sukarlan. Didukung oleh komposer kondang Addie MS. "Pidato Pakde Jokowi di Sidang Umum PBB keren banget. Berani, lugas, tegas, akurat. Jokowi for next Sekjen PBB," ujar Ananda Sukarlan. Cuitan Ananda di akun twitternya itu kemudian menjadi berita di sebuah media. Judulnya “Pidato Jokowi di PBB Dapat Pujian: Keren Banget, Jokowi For Next Sekjen PBB.” Addie MS kemudian membuat cuitan dengan melampirkan link berita tersebut. Cuitan Ananda dan Addie membuat dunia maya riuh rendah. Ada yang pro kontra. Jadi salah satu trending topic. Banyak yang mendukung, tapi banyak juga yang mengecamnya. Komentarnya cukup beragam. Ada yang lucu, dan pedas. Ada yang lucu-lucu pedas. Ada yang seolah mendukung dan menyatakan masih ada waktu empat tahun bagi Jokowi untuk belajar bahasa Inggris. Ada pula yang menganggap aneh dan memberi analogi. Ibarat anak sekolah yang sering bolos, sekali masuk, maunya jadi ketua kelas. Sebab Jokowi selama lima tahun terakhir selalu absen di Sidang Umum Majelis PBB. Biasanya diwakili oleh Wapres Jusuf Kalla. Baru kali ini dia hadir, itu pun hanya melalui pidato virtual yang sudah direkam lebih dahulu. Wajahnya tampil di SU PBB. Tapi raganya tetap ada di Jakarta. Bukan hanya medsos yang riuh. Media konvensional juga menyorotinya. Kornelius Purba, Editor senior media berbahasa Inggris The Jakarta Post membuat sebuah tulisan satire berjudul: Jokowi’s UN speech: Playing it safe on Palestine. Sebagai wartawan, Purba mengaku bingung bagaimana harus mengutip pernyataan Jokowi. Bagi Purba, hanya dua hal yang paling menonjol dalam pidato Jokowi. Pertama, janjinya yang berulang mendukung kemerdekaan Palestina. Kedua, nah ini yang unik, kalimat penutup Jokowi yang sangat simple dan lucu. “That is all from me!” Rasionalitas Pendukung Fenomena pendukung Jokowi seperti ditunjukkan oleh Ananda dan Addie MS mengingatkan kita pada sebuah syair lagu Gombloh. Penyanyi eksentrik asal Surabaya itu secara berkelakar bersenandung “Kalau cinta sudah melekat, tahi kucing terasa coklat.” Cinta berlebihan membutakan. Kehilangan rasionalitas. Too much love will kill you. Bahkan untuk seorang sekelas mereka berdua. Bayangkan bagaimana sikap para pendukung Jokowi yang secara intelektual jauh di bawah mereka. Para pendukung yang mau disuruh berbunyi apa saja. Gak pakai mikir. Dengan fakta bahwa Jokowi sangat menghindari persidangan PBB, hanya ada dua kemungkinan muncul usulan semacam itu. Pertama, dari pendukung bodoh. Tidak well informed. Tidak pernah baca dan nonton berita. Pendukung katrok dan culun. Kedua, dari orang yang ingin menjerumuskan dan mengolok-olok Jokowi. Dua-duanya tidak cocok dengan profil Ananda dan Addie. Mereka adalah maestro di bidang musik. Ananda adalah pianis dan komposer musik klasik. Punya reputasi dunia. Addie dikenal sebagai komposer dengan karya-karya yang menawan. Dia konduktor Twilite Orchestra yang sudah tampil di panggung-panggung Internasional. Keduanya pemuja Jokowi. Tidak mungkin mengolok-olok, apalagi sengaja menghinakan. Mereka sangat serius. Tidak sedang bercanda. Dengan fakta itu terpaksa kita harus membuka opsi ketiga. Pendukung yang cinta buta seperti digambarkan oleh Gombloh. Saking bingungnya, seorang netizen sampai membuat sebuah kesimpulan yang salah pula. Bunyi statusnya begini: Tidak benar musik klasik bisa membuat pintar. Buktinya Addie MS tambah bodoh! Ampyuuuunnnn…….End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Perbedaan Antara Kerajaan Qatar dan Republik Qotor
by Asyari Usman Jakarta FNN - Jumat (04/09). Sekitar bulan April 2018 (sudah cukup lama, lebih dua tahun lalu), ada postingan di FB salah seorang teman dengan judul “Qatar adalah Negara Paling Aneh di Dunia”. Tulisan ini memuji Qatar sebagai negara yang penduduknya paling makmur dari segi finansial. Pendapatan per kapita rakyatnya mencapai USD132,000 atau setara dengan Rp1.7 miliar setahun. Dengan penghasilan segitu besar, negara masih menyediakan semua fasilitas hidup untuk warga negara Qatar –sebuah negara kecil di jazirah Arab. Mau sekolah atau kuliah di mana saja, mau berobat di mana saja, negara yang menanggung. Kabarnya juga, laki-laki yang telah atau mau beristri empat (4), dibiayai oleh negara. Satu rumah untuk tiap istri. Plus beberapa orang pembantu. Penduduk Qatar hanya sekitar 315,000 jiwa. Sedangkan pekerja asing yang ada di negara itu mencapai 2.3 juta orang. Bisa dibayangkan seberapa besar pengeluaran negara kecil itu untuk menggaji orang asing. Dan ingat! Pastilah ratusan ribu orang diantara 2.3 juta itu adalah tenaga ahli yang berkualifikasi tinggi. Artinya, gaji mereka pun pasti selangit. Walhasil, semua orang yang hidup di Qatar merasakan kemakmuran yang boleh dikatakan sempurna. Terlebih-lebih rakyat negara itu sendiri. Semua disediakan negara. Apa saja keperluan rakyatnya tinggal kasih tau kerajaan. Begitulah kira-kira. Tentu saja wajar kalau sedunia ini merasa kagum sampai berdecik-decik. Pantas juga kalau ada yang ‘ngiler’. Tidak masalah. Karena ngiler ‘kan tidak dipungut biaya. Wajar-wajar saja. Yang tidak wajar ialah kalau Anda, rakyat Indonesia, membanding-bandingkan kemakmuran rakyat Qatar dengan rakyat di negara ini. Kenapa tidak wajar? Karena cara Indonesia ini dikelola sangat lain dengan cara Qatar diurus oleh para pemimpinnya. Di Qatar, para pemimpin, para emir, sangat menghargai rakyat mereka. Mereka bangga dengan rakyatnya. Mereka memiliki ambisi yang positif untuk rakyatnya. Para pemimpin Qatar paham bahwa rakyat merekalah yang harus dilayani. Bukan orang luar. Di sini, terbalik. Kemakmuran yang digali dari bumi negara ini dikirim ke luar. Belakangan ini, banyak dikirim ke RRC. Paling-paling rakyat kebagian ampas, sampah, dan limbah galian. Kebagian yang kotor-kotor. Kerajaan Qatar mencukupi keperluan rakyatnya. Merawat rakyatnya. Di sini, para penguasa melayani para majikan mereka yang membawa pundi-pundi utang. Kemudian, para penguasa menilap uang utangan itu untuk rekening gendut mereka. Begitulah cara kerja pikiran kotor. Para pemimpin di kerajaan Qatar membuat APBN untuk kesejahteraan rakyatnya. Di sini, para pemimpin menyusun APBN agar bisa dicuri. Begitulah pikiran kotor. Di Kerajaan Qatar, sebutan untuk pendapatan rakyatnya adalah “penghasilan bersih”. Di negeri kita ini, pendapatan rakyat selalu disebut “penghasilan kotor”. Sering ‘kan Anda ditanya atau bertanya: “berapa penghasilan kotor”? Karena memang yang diterima rakyat kita itu yang kotor-kotor. Yang kotor-kotor dari lahan tambang. Yang kotor-kotor dari pengerjaan proyek-proyek besar. Yang kotor-kotor dari pembangunan fisik, dll. Jadi, penghasilan rakyat di sini memang ‘literally’ disebut “penghasilan kotor”. Berbeda dengan penghasilan rakyat di Qatar. Mereka selalu menyebut “penghasilan bersih”. Karena semuanya bersih. Tempat kerja, bersih. Layanan rumah sakit, bersih. Jalan raya, bersih. Jalan kecil, bersih. Bantuan dari negara diterima bersih, tanpa korupsi. Melihat kondisi yang ada sekarang di negeri ini, tampaknya Anda semua harus bersabar. Bersabar menerima yang kotor-kotor itu. Bersabar menyaksikan pikiran-pikiran kotor. Itulah beda antara Kerajaan Qatar dengan Republik Qotor. Anda harus berjuang keras untuk mengganti dua huruf “o” di Republik Qotor menjadi huruf “a” agar tidak terus-menerus “kotor”. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Reziki Wartawan Politik Meliput Olahraga (Bag. Pertama)
by Emron Pangkapi Jakarta FNN – Jum’at 907/08). Tahun 1981 saya bekerja sebagai wartawan pada Harian Pelita Jakarta. Bidang tugas peliputan adalah Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam). Meliput bidang olahraga adalah benar-benar barang garapan baru bagi saya. Pada akhir 1981, ada pesta olahraga Sea Games di Manila Filipina. Pesta Olahraga negara-megara anggota ASEAN. Harian Pelita menugaskan wartawan olahraga Ahmad Istiqom untuk meliput kegiatan Sea Games di Manila. Tiga hari sebelum pembukaan Sea Games, Istiqom ternyata berhalangan. Istiqom tidak bisa berangkat. Maka harus dicari wartawan pengganti. Sebab seluruh proses administrasi dengan OC Sea Games Manila sudah rapi dan selesai. Tidak ada wartawan olahraga yang siap berangkat. Bahkan sebagian rekan di Harian Pelita, paspor pun belum punya. Redaktur Olahraga Budiman Tos menawarkan saya yang wartawan politik, untuk dua minggu menjadi wartawan olahraga. Pendek kisah, berangkatlah saya ke Manila bersama rombongan SIWO PWI. Ketika itu SIWO PWI dipimpin Sondang Meliala. Menurut Istiqom, ikut rombongan SIWO "aman semua". Tiba di Manila, kami tinggal di Silahis Hotel. Proses administratif semua di tempat ini. Markas wartawan di Press Room Rezal Memorium Stadium. Ada ruangan Indonesia. Tidak terlalu luas dan masih kering dengan fasilitas yang layak untuk wartawan. Zaman itu kirim berita masih menggunakan telex dan sambungan telepon internasional. Belum ada faksimile, modem, email maupun WhatsApp (WA). Telepon di Press Room masih berebut. Di bussiness centre belum ada wartel. Pokoknya semua penuh persaingan. Bahkan jatah makan pun masih rebutan. Di hari pembukaan Sea Games, kami di tribun wartawan Rezal Memorial Stadium di tengah kota Manila. Acara pembukaan sangat meriah. Berbagai atraksi dan parade kontingen gegap gempita. Marching Band Angkatan Laut Filipina membawakan lagu lagu hits, antara lain aransemen lagu Suzana yang lagi ngetop. Upacara diawali Laporan Ketua OC/President Olympiade Filipina Bongbong Marcos. Dilanjutkan dengan sambutan Gubernur Metro Manila Emelda Marcos, dan pembukaan Sea Games oleh Prsiden Ferdinand Marcos. Di tribun juga ada putri presiden, Emee Marcos, yang cantik berkacamata hitam. Terlihat jelas dari tribun wartawan. Saya ingat semua ketua delegasi 'diperkenalkan" oleh Presiden Marcos. Delegasi Indonesia dipimpin Ketua KONI Pusat Sri Sultan Hamengkubuwono IX (mantan Wapres RI). Sejumlah pejabat RI juga hadir, antara lain Menpora Abdul Gafur. Sebagai pendatang baru di rombongan SIWO PWI, saya merasa tersisih. Hampir tidak punya teman. Teman teman wartawan olahraga itu "terkesan ekslusif". Bersaing keras, menyembunyikan info kegiatan. Saya merasa seperti "diplonco". Teruntang-anting. Agak keteteran dan sering ketinggalan info. Hanya satu dua wartawan yang berkenaan mengajak saya jalan bersama. Sekali sekali saya ikut Adhi Wargono, dan Indri. Maklum wartawan olahraga umumnya para senior. Mereka memandang saya sebagai "anak bawang" dengan sebelah mata. Saya sering salah lokasi venues, bahkan pernah tertinggal bis dari lapangan. Akibatnya laporan Sea Games saya tidak terlalu sempurna. Untunglah redaktur Olahraga Harian Pelita bisa maklumi. Akhirnya, saya lebih banyak mendampingi petenis nasional Suzana, yang kebetulan atlet asal daerah Babel. Saya juga kerepotan mengejar jatah SIWO. Titipan "memo" dari Istiqom untuk wartawan kordinator cabor Nurman Chaniago, baru bertemu dua tahun kemudian. Sedih saya. Untunglah ada Calon Ketum PSSI Syarnubi Said (Krama Yudha) dan Sespri beliau Syaiful Anwar Husein. Pak Syarnubi Said manajer Timnas, sedang kampanye untuk menjadi Calon Ketum PSSI. Maka dapatlah saya "sangu" dana transportasi lokal dari Pak Syarnubi. Belakangan Syaiful Anwar Husein jadi sahabat saya hingga akhir hayatnya. Di tengah kerepotan liputan olahraga itu, saya ke KBRI Manila. Nasib baik menghampiri saya. Bisa berkrnalan dengan Prof. Ilyas Ismail, penduduk Filipina asal Aceh yang menjadi staf lokal di KBRI. Beliau adalah guru besar di Philippines University. Banyak buku-buku karangannya, terutama tentang Islam dan perbandingan agama. Berdiskusi saya dengan Pak Ilyas Ismail, membuat saya merasa mendapat tantangan baru. Apalagi waktu itu pemerintah Filipina masih menghadapi pemberontakan MNLF (Front Pembebasan Nasional Moro) pimpinan Nur Misuari. Sebagai wartawan politik, cerita soal MNLF ini bahan liputan yang menarik. (bersambung). Penulis adalah Wartawan Senior dan Politisi PPP.
RUU HIP, PDIP-Jokowi Pecah Kongsi?
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Tak ada angin tak ada hujan, PDIP tiba-tiba menyatakan menolak usulan pemerintah Amerika Serikat (AS) memindahkan ibukota Palestina ke Abu Dis. “PDIP tidak setuju dengan usulan tersebut karena justru hadir sebagai bentuk ketidakadilan baru,” ujar Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam rilis yang disebar ke media Kamis (18/6). Sikap partai, lanjut Hasto, konsisten dengan apa yang diperjuangkan Bung Karno memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Sesuai spirit Dasa Sila Bandung. Pernyataan Hasto yang terkesan ujug-ujug, sekonyong-konyong itu tentu membuat kita sejenak bingung. Ada apa ini? Bukankah isu pemindahan ibukota Palestina ke Abu Dis —sebuah desa dekat Yerusalem Timur ini — merupakan isu yang sudah cukup lama? Usulan itu muncul bersamaan dengan keputusan Israel memindahkan ibukotanya dari Tel Aviv ke Yerusalem. Dari tracking media, Presiden Jokowi pada tanggal 17 Desember 2017 sudah menyerukan agar negara-negara anggota organisasi konferensi Islam (OKI) menolak dan mengecam keputusan Presiden Trump mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Jadi isu itu sudah heboh lebih dari dua tahun lalu. Yang menjadi isu utama pemindahan ibukota Israel. Bukan usulan Abu Dis menjadi ibukota masa depan Palestina. Abu Dis hanya isu kembangan. Mengalihkan tuntutan rakyat Palestina bahwa Yerusalem adalah ibukota sah Palestina. Ya semacam gula-gula dari AS dan sekutunya, termasuk Arab Saudi, bagi rakyat Palestina. Dari sisi media, rilis Hasto itu sesungguhnya tidak layak berita. Karena tidak aktual. Dari teknis media tidak ada newspeg nya. Tidak ada cantolan berita. Bahasa mudahnya, ya masuk kategori berita yang ujug-ujug tadi. Kalau mau aktual, harusnya PDIP memilih isu keputusan Donald Trump memberlakukan UU Hak Asasi Manusia Etnis Uighur. UU itu baru disetujui Trump pada tanggal 7 Juni 2020. Itu baru keren. Baru gagah. Pasti liputannya lumayan besar, dan akan mendapat banyak dukungan. Melalui UU itu pemerintah AS diberikan kewenangan untuk mendeteksi pejabat China yang bertanggung jawab atas "penahanan paksa, penyiksaan, dan kekerasan" terhadap kaum Uighur dan minoritas lainnya. Kelihatannya berita yang muncul sekonyong-konyong itu erat kaitannya dengan kontroversi RUU Haluan Idiologi Pancasila (HIP). RUU usulan PDIP itu sekarang ini ditolak oleh warga sak-Indonesia. Termasuk Presiden Jokowi! Isu Palestina dipilih, walau tidak aktual tapi relatif lebih aman. Keuntungan lain bisa dikait-kaitkan dengan Bung Karno yang rumusan Pancasilanya coba dimasukkan kembali dalam RUU HIP. Sementara isu Uighur, walau aktual jelas langsung menyinggung Cina. Bohir yang sedang membiayai berbagai infrastruktur di Indonesia. Banyak kepentingan politik di negara tirai bambu itu. Juga kepentingan oligarki yang didominasi para taipan. Tujuan dan target politik yang ingin dicapai sudah bisa diduga. Tidak terlalu sulit membacanya. Pertama, PDIP ingin mengajuk hati rakyat, khususnya umat Islam. PDIP bukan musuh umat Islam. Justru mendukung sepenuhnya sikap umat Islam dan para pegiat HAM. Sikap AS harus dikecam. Harus dilawan. Jadi musuh bersama. Kedua, memulihkan kerusakan politik yang sudah terjadi.Tidak benar bahwa PDIP anti agama. Tidak benar PDIP mendukung kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI). Beberapa hari sebelumnya Ahad (14/6) Hasto juga membuat rilis. PDIP setuju mencantumkan TAP MPRS No XXV tahun 1966 Tentang Larangan PKI, dan menghapus pasal yang memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Hanya saja PDIP masih mencoba menawar. Partainya, kata Hasto, menyetujui penambahan klausul larangan terhadap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila seperti marxisme- komunisme, kapitalisme-liberalisme, radikalisme serta bentuk khilafahisme. Coba perhatikan frasa kata radikalisme dan khilafahisme. Frasa itu dimasukkan berbarengan dan sejajar dengan marxisme-komunisme. Selama ini umat Islam merasa radikalisme-khilafahisme merupakan frasa yang digunakan pemerintah dan khususnya PDIP untuk memojokkan. Membuat umat Islam seakan-akan anti Pancasila. Pasti banyak yang belum lupa ketika memperingati Pekan Pancasila bersamaan dengan peringatan hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2017 muncul slogan “Saya Pancasila, Saya Indonesia.” Slogan ini diperkenalkan oleh Presiden Indonesia Joko Widodo dalam status di akun Instagram-nya pada 26 Mei 2017. Tagar #SayaPancasilaSayaIndonesia bergema dimana-mana. Kampanye ini dirancang oleh Badan Ekonomi Kreatif. Sekarang yang terjadi malah terbalik. Melalui RUU HIP justru PDIP yang mendegradasi Pancasila. Dari sumber segala sumber hukum, diturunkan derajatnya hanya sekelas UU. Ikut buang badan Kontroversi RUU HIP ini benar-benar membuat PDIP babak belur. Dalam Bahasa Rocky Gerung “Banteng sedang kejeblos gorong-gorong.” Bukan hanya parpol pendukung pemerintah yang balik badan menarik dukungan. Pemerintah melalui Menkopolhukam Mahfud MD mengembalikan RUU itu ke DPR. Presiden Jokowi malah melangkah lebih jauh. Dia bertindak cepat, bertemu sejumlah senior purnawirawan TNI di Istana Bogor, Jumat (19/6). Para purnawiran TNI-Polri dipimpin mantan Wapres Try Sutrisno menolak RUU HIP. Tidak dicantumkannya TAP MPRS tentang larangan PKI membuat tanduk para senior TNI langsung berdiri. PDIP dinilai sudah nekad menabrak The biggest taboo. Isu PKI ini benar-benar tidak boleh dilanggar. Kepada para purnawirawan, Jokowi menegaskan "Ini (RUU HIP) 100 persen adalah inisiatif dari DPR, jadi pemerintah tidak ikut campur sama sekali," ujarnya dikutip dari rilis Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden. Pemerintah juga dengan tegas menutup pintu terhadap komunisme. “Pemerintah tidak pernah ragu,” tegasnya. Langkah politik dan pernyataan Jokowi ini merupakan pukulan telak dan beruntun bagi PDIP. Kalau melihat gaya politik Jokowi, ada kemungkinan Jokowi juga akan segera bertemu dengan Ormas-ormas keagamaan dan elemen penting penentang RUU HIP. Meredam gejolak, dan --meminjam istilah anggota DPR dari PDIP Aria Bima-- buang badan. Banteng moncong putih itu benar-benar ditinggalkan sendirian oleh sekutunya. Yang lebih menyedihkan kini “Petugas Partai” yang ditempatkannya sebagai presiden juga memilih posisi berseberangan. Inilah untuk pertamakalinya Jokowi menyatakan secara terbuka menentang sikap dan pilihan politik PDIP. Sebaliknya PDIP tampaknya juga sudah tampaknya mulai gerah dengan Jokowi. Bila kita cermati dari empat poin rilis Hasto soal Palestina, detil-detil poinnya merupakan sindiran halus kepada Presiden Jokowi. Hasto menggunakan pintu masuk isu Palestina untuk megembalikan ingatan publik saat Indonesia dipimpin oleh Presiden Soekarno dan kaitannya dengan Pancasila. Saat itu Indonesia dengan semangat politik yang bebas aktif, berperan besar dalam berbagai gerakan menentang imperialisme dan mewujudkan perdamaian dunia. Saat dunia mengalami krisis, muncul ketegangan di berbagai belahan dunia, maka seharusnya Indonesia mengambil peran. Sebuah peran yang pernah dimainkan oleh Bung Karno. Sayangnya dalam penilaian Hasto, saat ini energi bangsa lebih banyak terkuras ke dalam. Penuh hiruk pikuk siapa dapat apa. Semangat outward looking sebagaimana pernah digelorakan dan diperankan Bung Karno harus dikembalikan. Indonesia harus kembali mengambil tanggung jawab tersebut. “Sebab di tengah berbagai sikap dan tindakan elite yang terlalu melihat ke dalam, energi bangsa terkuras dan melupakan tanggung jawab Indonesia bagi dunia,” tegas Hasto. Kritik atau tepatnya otokritik Hasto sangat pas menggambarkan posisi Indonesia di bawah Jokowi. Situasi politik dalam negeri hiruk pikuk dengan isu-isu yang memecah belah bangsa. Contoh terbaru adalah kontroversi RUU HIP. Peran Indonesia dalam kancah internasional benar-benar mundur ke belakang. Boro-boro menjadi pemimpin dunia. Presiden Jokowi bahkan tercatat lima kali berturut-turut tidak hadir dalam Sidang Majelis Umum Dewan Keamanan PBB. Apakah krisis politik akibat RUU HIP ini akan menjadi langkah awal yang nyata pecah kongsi PDIP-Jokowi? End Penulis Wartawan Senior