“Calling Visa” Indonesia untuk Israel, Apa Motif Pemerintah?
by Mochamad Toha
Surabaya FNN - Sabtu (28/11). Pesan Bung Karno: “Selama Israel menjajah Palestina, Indonesia tidak akan pernah membuka jalinan persabatan bilateral dengan Israel”.
Seharusnya pejabat Pemerintah mencamkan peringatan Presiden RI pertama Ir. Soekarno itu. Tapi, rupanya peringatan Bung Karno itu diabaikan begitu saja.
Buktinya, melalui Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Pemerintah membuka pelayanan visa elektronik (e-Visa) bagi warga Israel dan 7 negara lainnya dengan subjek calling visa atau layanan visa khusus negara dengan tingkat kerawanan tertentu.
Pelayanan telah dibuka mulai Senin (23/11/2020) setelah sempat dihentikan selama pandemi Covid-19. Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Arvin Gumilang menjelaskan bahwa uji coba pembukaan pelayanan telah dilakukan pada Jumat (20/11/2020) lalu.
Selanjutnya para penjamin orang asing dari negara subjek calling visa bisa mengajukan permohonan melalui website www.visa-online.imigrasi.go.id.
“Uji coba pelayanan telah kami lakukan sebelumnya dan Senin (23/11) nanti akan kami buka pelayanan e-Visa bagi subjek calling visa untuk tujuan penyatuan keluarga, bisnis, investasi, dan bekerja,” jelas Arvin melalui keterangan tertulis, Selasa (24/11/2020).
Seperti dilansir CNNIndonesia.com, Arvin menambahkan, untuk tenaga kerja asing (TKA) bisa mengunggah dokumen permohonan melalui website tka-online.kemnaker.go.id milik Kementerian Tenaga Kerja.
Ia menjelaskan, alasan pelayanan calling visa dibuka kembali karena banyak tenaga ahli dan investor yang berasal dari negara-negara calling visa. Selain itu juga untuk mengakomodasi hak-hak kemanusiaan para pasangan kawin campur.
Arvin menjabarkan delapan negara calling visa tersebut yakni: 1. Afghanistan; 2. Guinea; 3. Israel; 4. Korea Utara; 5. Kamerun; 6. Liberia; 7. Nigeria; 8. Somalia.
Alasan dibukanya kembali pelayanan calling visa ialah karena banyaknya tenaga ahli dan investor yang berasal dari negara-negara calling visa. Layanan khusus ini juga untuk mengakomodasi hak-hak kemanusiaan para pasangan kawin campur.
“Negara calling visa adalah negara yang kondisi atau keadaan negaranya dinilai mempunyai tingkat kerawanan tertentu ditinjau dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan negara, dan aspek keimigrasian,” ujar Arvin.
Arvin mengungkapkan bahwa proses pemeriksaan permohonan e-Visa bagi warga negara subjek calling visa melibatkan tim penilai yang terdiri dari Kemenkumham, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Tenaga Kerja, Kepolisian, Kejaksaan Agung, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis TNI, dan Badan Narkotika Nasional (BNN).
“Tim ini akan mengadakan rapat koordinasi untuk menilai apakah seseorang layak atau tidak untuk diberikan visa,” pungkas Arvin.
Menilik situasi, waktu, serta alasan dibukanya layanan calling visa ini tentu menarik. Sampai saat ini, praktis Indonesia masih menutup perbatasannya dari kunjungan warga negara asing (WNA).
Hal itu sesuai dengan Permenhukham Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pelarangan Sementara Orang Asing Masuk Wilayah NKRI, yang kemudian diganti dengan Permenhukham Nomor 26 Tahun 2020 tentang Visa dan Izin Tinggal Dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru, yang esensinya hampir sama dengan Permenhukham 11/2020.
Visa kunjungan dan visa tinggal terbatas yang berlaku saat ini adalah untuk sekali perjalanan yang diberikan dalam rangka: melakukan pekerjaan darurat dan mendesak, melakukan pembicaraan bisnis, melakukan pembelian barang;
Uji coba keahlian bagi calon TKA, tenaga bantuan dan dukungan medis dan pangan, dan tergabung dengan alat angkut yang berada di wilayah Indonesia. Ada juga visa tinggal terbatas tidak dalam bekerja, meliputi: melakukan penanaman modal asing, penyatuan keluarga dan wisatawan lanjut usia mancanegara.
Selain itu, antara Juli sampai Oktober 2020, Indonesia menyepakati Pengaturan Koridor Perjalanan atau Travel Corridor Arrangement (TCA) dengan 4 negara, yaitu Korea Selatan, Tiongkok, Uni Emirat Arab dan Singapura.
Bandar Udara Soekarno-Hatta menjadi salah satu pintu masuk warga dari empat negara tersebut. TCA bertujuan memfasilitasi kemudahan perjalanan khusus bisnis, ekonomi, diplomatik dan dinas.
Jadi, kalau payung besar penutupan perbatasan negara untuk perlindungan dari Covid-19 masih diberlakukan, mengapa justru Ditjen Imigrasi secara khusus membuka layanan calling visa untuk delapan negara itu?
Alasan tenaga ahli, investor, kawin campur jelas kurang cocok dikenakan ke delapan negara, mengingat kondisi ekonomi dan politik yang sama atau di bawah Indonesia. Kecuali Israel!
Konstitusi kita jelas menyebutkan bahwa Kemerdekaan Adalah Hak Segala Bangsa. Atas dasar itulah kita tidak membuka hubungan dengan Israel. Jadi, yang dilakukan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan ini sudah melanggar UUD negara kita.
UUD 1945: Kemerdekaan Adalah Hak Segala Bangsa!
Atas dasar itulah kita tidak membuka hubungan dengan Israel. Karena Israel adalah Zionis Penjajah. Dan, yang dijajah adalah Palestina, negara yang bersama negara-negara Liga Arab lainnya mengakui kemerdekaan Negara Indonesia saat masih belum diakui PBB.
Rakyat Palestina menyumbangkan kekayaannya untuk membantu biaya perjuangan meraih Kemerdekaan Indonesia yang harus melakukan diplomasi dan propaganda ke banyak negara. Jadi, sekali lagi, yang dilakukan Menko Luhut ini sudah melanggar UUD negara kita.
Pemberian calling visa untuk Israel diketahui juga tak lama setelah kunjungan Menko Luhut ke Amerika Serikat. Di sana, Menko Luhut yang didampingi Dubes RI untuk AS Muhammad Lutfi, bertemu dengan Presiden Donald J. Trump.
Pergerakan Israel yang ingin normalisasi hubungan dengan negara berpenduduk Islam ini makin kencang. Senin (23/11/2020), media Israel, Haaretz melaporkan, PM Israel Benjamin Netanyahu diam-diam terbang ke Arab Saudi dan bertemu dengan Pangeran Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) dan Menteri Luar Negeri AS Michael “Mike” Pompeo.
Sadar atau tidak disadari Pemerintah Indonesia, yang jelas dampak dari normalisasi tersebut, membuat Israel semakin ganas menghancurkan pemukiman warga Palestina dan membangun pemukiman Yahudi.
“Apalagi PM Israel Benjamin Netanyahu pernah mengatakan tidak akan menghentikan upaya mengambil alih tanah-tanah Palestina,” ujar aktivis Muslim Von Edison Alouisci di Ramallah 26 November 2020.
Menurutnya, Pemerintah Indonesia jelas langkah keliru, mestinya Israel diisolasi supaya jera, bukannya diberi kemudahan.
Pengamat bidang militer dan pertahanan Connie Rahakundini Bakrie mengatakan. Indonesia harus berani membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Hal ini merupakan upaya untuk memudahkan Indonesia melakukan diplomasi dalam mewujudkan kemerdekaan Palestina.
“Sudah saatnya Indonesia bertindak konkret agar bisa lebih memahami Israel dengan membuka hubungan diplomatik sehingga ada diskusi lebih lanjut,” ujar Connie, Sabtu (26/9/2020).
“Pernyataan Connie ini menurut saya adalah analisa keliru,” tegas Edison Alouisci. Mestinya cara Indonesia membantu mewujudkan kemerdekaan Palestina adalah dengan cara diplomasi, bukan membuka hubungan kepada Israel.
Senjata Indonesia untuk mengakhiri konflik Palestina-Israel adalah dengan memberi tekanan diplomatik, bukan membuat kerjasama dengan Israel yang terbiasa dengan taktik zionis menekan negara Muslim.
“Bagi saya Pemerintah Indonesia justru membuka jalan bagi israel untuk menjalankan misi penghancuran negara Islam, termasuk Indonesia secara terstruktur dan itu akan merugikan Indonesia dan tidak akan berpengaruh bagi kedamaian di Palestina,” lanjutnya.
Bagi kita dan relawan Indonesia yang tentu lebih banyak mengetahui perilaku tindakan Israel terhadap Palestina, maka rencana Indonesia melakukan normalisasi dengann Israel, jelas akan melukai rakyat palestine yg telah banyak menelan korban dan kehilangan wilayah.
“Yang jelas langkah pemerintah Jokowi (Presiden Jowo Widodo) adalah langkah mundur dan memalukan umat Islam dunia yang berpihak pada Palestina,” tegas Edison Alouisci.
“Mas Toha, apakah kita tidak melihat kemungkinan untuk lebih mudah membela hak-hak bangsa Palestina jika kita membuka hubungan diplomatik/berkomunikasi dengan negara Israel?” begitu tanya Bambang Sulistomo, Putra Bung Tomo.
Saya mencoba menjawab pertanyaan Mas Bambang tersebut. Sama halnya dengan Rasulullah Muhammad SAW, bangsa Indonesia sudah jelas-jelas menentang dan bahkan mengharamkan adanya penjajahan di muka bumi ini oleh bangsa apa pun.
Di dalam sejarahnya, mulai 1948, jelas-jelas zionisme berupaya menduduki tanah Palestina yang baru saja merdeka.
Sekarang ini kita justru konsistensi bangsa Indonesia sedang diuji: tetap setia dengan sikap menentang segala jenis penjajahan di muka bumi (sebagaimana disebutkan dan menjadi amanat Pembukaan UUD 1945) atau menyingkirkan amanat para pendiri bangsa Indonesia yang merumuskan konstitusi kita?
Dan, yang perlu dicatat lagi: Indonesia juga menganut politik luar negeri yang berasas bebas-aktif. Bebas artinya memihak/tidak memihak blok atau persekutuan negara-negara tertentu. Aktif itu artinya berperan aktif di dalam menjaga perdamaian dunia sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945.
Jadi, karena Israel dianggap sebagai penjajah Palestina, secara otomatis Israel dianggap pula mengganggu perdamaian dunia. Dan, ini jelas-jelas bertentangan dengan sikap politik luar negeri Indonesia tersebut.
Penulis wartawan senior FNN.co.id