KELAUTAN

Luhut Targetkan RI Jadi Lima Besar Eksportir Produk Perikanan Dunia

Jakarta, FNN - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menargetkan Indonesia bisa menjadi lima besar negara eksportir produk perikanan dunia.Hal itu disampaikan Luhut yang meninjau langsung area pengembangan tambak udang model supra intensif, yang menggunakan teknologi Oxybam yang menjadi program percontohan di Kampung Bahari Nusantara di Jembrana, Bali, Jumat.Tambak udang tersebut merupakan hasil inovasi anak-anak bangsa yang terwujud lewat kerja sama dan kolaborasi yang saling terintegrasi antara TNI Angkatan Laut, Pemkab Jembrana serta pihak-pihak swasta.\"Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kita mampu melaksanakan program ketahanan pangan dan upaya peningkatan produksi udang nasional yang selama ini menjadi salah satu komoditi ekspor utama dan sumber perolehan devisa terbesar dari sektor perikanan,\" kata Luhut dalam unggahan di akun Instagram @luhut.pandjaitan yang dipantau di Jakarta, Jumat.Luhut pun berharap program tersebut bisa terus berlanjut dalam rangka mendorong target produksi pada 2024 sebesar 2 juta ton, dan nilai ekspor udang yang ditargetkan untuk tahun 2024 mencapai sebesar 4,3 miliar dolar AS.\"Saya sungguh berharap agar program ini bisa sustain sehingga bisa memberikan manfaat yang sangat besar, tidak saja dari muatan inovasi teknologinya tetapi juga bagaimana berkontribusi untuk pemberdayaan masyarakat pesisir dan pertumbuhan ekonomi di daerah,\" imbuhnya.Ia menyebut sektor perikanan menjadi salah satu sektor yang mampu terus tumbuh di tengah gelombang pandemi COVID-19. Pada 2021, sektor tersebut tercatat tumbuh positif sebesar 5,45 persen dari 2020.Luhut pun meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus mendorong agar sektor perikanan dikelola seoptimal mungkin sebagai sumber devisa, lapangan kerja, dan sumber pangan masyarakat dan industri olahan.\"Sehingga, Indonesia mampu menjadi top five (lima besar) negara eksportir produk perikanan global,\" ujarnya.Lebih lanjut, sejalan dengan semangat Presidensi Indonesia di G20 tahun ini yang juga fokus pada isu kesehatan laut, Luhut menegaskan bahwa aspek pengelolaan dampak lingkungan yang timbul dari limbah pakan harus mendapat perhatian khusus oleh seluruh pemangku kepentingan, bukan hanya pengembangan teknologi pangan saja.Menurut dia, itulah wujud dari pendekatan berkelanjutan karena upaya keberlanjutan lingkungan dan kelestarian wilayah sekitar tambak adalah upaya konkret atas komitmen Indonesia dalam upaya penanggulangan krisis iklim. (mth)

KKP Dirikan Kampung Nelayan Maju di Lebak

Lebak, FNN - Kementerian Kelautan dan Perikanan ( KKP) pada tahun 2022 mendirikan Kampung Nelayan Maju di Desa Muara Kecamatan Wanasalam Kabupaten Lebak guna meningkatkan kesejahteraan nelayan. \"Kita berharap pendirian kampung nelayan maju itu berjalan lancar, \" kata Kepala Bidang Pengelolaan Perikanan Tangkap Dinas Perikanan Kabupaten Lebak Rizal Ardiansyah di Lebak, Senin. Pendirian kampung nelayan maju itu dilaksanakan secara kolaborasi yang melibatkan Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perubahan Rakyat (PUPR), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Kementerian Sosial juga Kementerian Kesehatan. Kehadiran kampung nelayan maju itu, kata dia, nantinya ada penataan sarana lingkungan juga pembangunan rumah tidak layak huni. Selain itu juga ditunjang sarana infrastruktur kesehatan dan pendidikan. Mereka para nelayan yang tinggal di kampung nelayan maju ada pemberdayaan sosial untuk mendorong peningkatan ekonomi. \"Kami menyambut positif pendirian kampung nelayan maju untuk kesejahteraan nelayan, \" katanya menjelaskan. Menurut dia, pendirian kampung nelayan maju di Desa Muara Kecamatan Wanasalam Kabupaten Lebak memenuhi persyaratan di antaranya 100 warga setempat berprofesi nelayan. Disamping itu juga mereka tinggal di sekitar pantai pesisir, sehingga layak untuk dijadikan kampung nelayan maju. \"Semua warga di kampung nelayan maju itu nantinya mendapatkan pemberdayaan ekonomi juga mendapat dana sosial juga sarana dan prasarana,\" katanya menjelaskan. Sementara itu, sejumlah nelayan Muara Kabupaten Lebak menyambut positif pendirian kampung nelayan maju untuk kesejahteraan nelayan. \"Kami berharap kampung nelayan maju ini dapat meningkatkan produksi tangkapan juga ekonomi semakin dan baik,\" kata Acun (50) seorang nelayan Muara Kabupaten Lebak. (mth)  

TNI AL: Temuan Benda Mirip Tank di Perairan Natuna Tidak Berbahaya

Natuna, FNN - Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) IV Tanjungpinang menyatakan bahwa penemuan benda menyerupai tank (kendaraan tempur) oleh pekerja migas di perairan Natuna, Kepulauan Riau, tidak berbahaya.\"Iya, memang betul ada temuan benda mirip tank, tapi tidak berbahaya,\" kata Kepala Dinas Penerangan Lantamal IV Mayor Marinir Saul Jamlaay, Sabtu.Menurut dia, benda tersebut milik perusahaan migas Star Energy dari rig blok kakap yang melakukan pengeboran di Laut Natuna.\"Pihak perusahaan sudah mengakui hal itu. Benda itu hanyut sendiri,\" ujarnya.Saat ini kapal perang dari unsur KRI Gugus Tempur Laut (Guspurla) sudah merapat ke lokasi benda tersebut.Sementara itu, Lantamal IV belum bisa mendekat ke sana karena cuaca ekstrem.\"Kami belum dapat informasi apakah sudah dievakuasi atau belum,\" kata Saul.Penemuan benda mirip tank itu sempat viral di media sosial Facebook dan WhatsApp, khususnya di kalangan warga Natuna sejak Kamis (16/12).

Deklarasi Djoeanda: Apa Kabar Indonesia Poros Maritim Dunia?

PADA Senin, 13/12/2021, sebagian kecil warga negara Republik Indonesia  memperingati sebuah peristiwa penting dalam sejarah Indonesia modern: Deklarasi Djoeanda 1957. Dengan dibekali naskah akademik yang disusun oleh Mochtar Kusumaatmaja, Perdana Menteri Ir. Djoeanda Kartawidjaja mendeklarasikan sebuah dakuan bahwa laut-laut yang selama ini merupakan perairan internasional menjadi perairan kedaulatan Republik. Dakuan itu, yang diakui 25 tahun kemudian oleh UNCLOS 1982 telah menyebabkan luasan Republik ini menjadi 5 juta kilometer persegi lebih. Ini pertambahan hampir dua kali lipat dari luasan wilayah Republik yang pernah diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada 17/8/1945. Dalam perspektif ini saja NKRI bukan harga mati. Jelas NKRI bukan harga mati karena NKRI adalah sebuah cita-cita, sebuah kompleks gagasan tentang sebuah entitas administrasi publik yang tugas-tugas pokoknya telah diamanahkan oleh Pembukaan UUD1945. NKRI juga sebuah lebensraum, ruang kehidupan yang batas-batasnya sebagian terancam oleh kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim, sekaligus dilubangi oleh globalisasi dan digitalisasi, serta dinamika kepentingan maritim regional maupun global. Sayang sekali, seperti yang dinyatakan oleh Rodhial Huda, Wakil Bupati Natuna, perluasan wilayah laut itu hingga kini gagal dikelola untuk pertambahan sumber-sumber kesejahteraan umum. Sudah 64 tahun, pemerintah gagal mewujudkan kapasitas administrasi publik di laut yang menjamin perwujudan kepentingan maritim kita yang dasar-dasarnya sudah disiapkan oleh Deklarasi Djoeanda. Sebagai negara kepulauan bercirikan Nusantara, menjadi negara maritim adalah geostrategic default. Jika kemaritiman adalah aliran darah manusia, maka butir-butir darah merah itu adalah armada kapal niaga dan perikanan nasional yang mendistribusikan barang-barang dan jasa. Pemerintahan maritim adalah plasma yang menjamin gerakan armada kapal niaga dan perikanan itu secara aman, efisien dan efektif. Darah putih bertugas untuk melindungi butir-butir darah merah itu dari ancaman penyakit dari luar. Armada Kapal-kapal perang KRI itulah yang berperan sebagai darah putih. Saat ini, butir-butir darah merah itu jauh dari cukup, sebagian malah termakan oleh darah putih karena plasmanya bermasalah. Adalah armada Sea and Coast Guard yang seharusnya merepresentasikan archipelagic state atau Pemerintahan maritim yang mewakili Negara Republik Indonesia di laut. Setiap kapal mencerminkan sebuah flag state, sementara pelabuhan mencerminkan port state. Begitu sebuah kapal sudah memperoleh port clearance, maka tidak ada satu setanpun yang boleh mengganggu kapal tersebut tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Saat ini berbagai kapal negara dan KRI yang hadir di laut tidak mewakili negara, tapi mewakili instansi masing-masing sehingga tidak ada kesatuan pemerintahan dan tanggungjawab di laut. Kepastian hukum di laut hilang, pelayaran nasional menghadapi ekonomi biaya tinggi yang memberatkan upaya pendistribusian kekayaan ke seluruh pelosok tanah air. Secara budaya, bangsa ini justru semakin kehilangan jati dirinya sebagai bangsa bahari. Infrastruktur budaya yg dibutuhkan bagi sebuah bangsa bahari gagal dibangun melalui sistem pendidikan sebagai instrumen untuk mewujudkan prasyarat budaya bagi bangsa maritim sekaligus bangsa merdeka. Sistem persekolahan nasional yang mendominasi Sisdiknas kini justru mengasingkan banyak warga muda dari lingkungan agromaritim mereka sendiri. Selama 50 tahun terakhir yang terjadi justru urbanisasi besar-besaran dari kawasan-kawasan agromaritim (pesisir dan pulau-pulau kecil terdepan) itu ke kota-kota besar yang rancangannya justru membelakangi laut. Sampai hari ini tidak ada kota besar di Indonesia yang boleh disebut sebagai water-front city.  Alih-alih membangun armada kapal nasional sebagai infrastruktur dan tulangpunggung sistem logistik nasional, pemerintah sekarang justru sibuk membangun jaringan jalan tol yang makin mendorong ketidakadilan energi. Sektor kemaritiman sekarang membutuhkan kebijakan energi baru untuk mengurangi ketimpangan konsumsi energi perkapita yang parah antara Jawa dan Kawasan Tengah dan Timur Republik ini. Persatuan Indonesia yang bentang alamnya seluas Eropa ini mustahil diwujudkan tanpa sektor kemaritiman nasional yang kuat dengan dukungan kebijakan energi yang tepat.  Seperti kegagalan Jembatan Suramadu untuk memakmurkan Madura secara efektif dan bermakna, maka kita sekarang memerlukan maritime mainstreaming untuk mewujudkan negara maritim sebagai geostrategic default. Kita membutuhkan armada kapal yang lebih banyak dalam jenis dan ukuran yang cukup. Bukan mobil-mobil baru budak energi bermerk asing. Dinamika regional saat ini menunjukkan bahwa NKRI maritim tidak saja penting bagi Republik ini, tapi juga penting bagi ASEAN sebagai kekuatan penyeimbang atas kebangkitan China saat ini dengan ambisi proyek One Belt One Road (OBOR)nya.  Indonesia Poros Maritim Dunia mensyaratkan rancangan institusi dengan kapasitas administrasi kemaritiman yang canggih untuk melayani kepentingan maritim bangsa ini. Jangan ditunda-tunda lagi.   Penulis Guru Besar ITS dan Rosyid College of Arts and Maritime Studies, Surabaya

Menteri KKP Perjuangkan Kesejahteraan 6.000 Nelayan Lokal di Kepri

Tanjungpinang, FNN - Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Sakti Wahyu Trenggono berkomitmen memperjuangkan kesejahteraan sekitar 6.000 lebih nelayan lokal Kepulauan Riau (Kepri) melalui kebijakan penangkapan terukur. "Kementerian Kelautan dan Perikanan akan menerapkan kebijakan penangkapan terukur mulai 2022," kata Menteri Wahyu saat kunjungan kerja ke Kabupaten Bintan, Kepri, Jumat. Wahyu Trenggono menyampaikan bahwa kebijakan tersebut merupakan salah satu bagian dari rencana kebijakan baru di sektor perikanan. Menurutnya hal ini sesuai dengan kondisi geografis Kepri yang terdiri dari 96 persen lautan dengan potensi perikanan mencapai 1,1 juta ton per tahun. "Selama ini kita sudah terlalu lama memunggungi laut. Setelah memilah-memilah dan melihat secara langsung, melalui kebijakan ini nantinya sektor perikanan benar-benar akan memberikan manfaat bagi negara, khususnya di daerah," ujarnya. Wahyu mengatakan ke depan industri perikanan akan dipusatkan di Kepri. Nantinya, nelayan lokal hanya menjual ikan di dalam daerah itu, sementara pengusaha tidak boleh membawa ikan ke luar dari daerah tersebut. Lanjutnya semua proses, transaksi hingga ekspor ikan dilakukan di Kepri. Dengan demikian perekonomian nelayan lokal dipastikan meningkat, dan di sisi lain dapat menciptakan lapangan kerja baru. Selama ini nelayan di Indonesia, termasuk Kepri melakukan penangkapan ikan lalu menjualnya ke Pulau Jawa. "Semua menumpuk di Pulau Jawa, hal itu membuat daerah yang menjadi tempat penangkapan ikan tidak mendapatkan apa-apa," ungkapnya. Dengan cara tersebut, lanjut dia, diharapkan dapat menjaga keberlanjutan dan kelestarian laut. Targetnya ialah nelayan tradisional tetap bisa melaut, dan harga di pasar terjaga. Dia optimis kebijakan ini akan menghidupkan ekonomi daerah kepulauan, khususnya Kepri. pelabuhan yang nantinya akan disiapkan sebagai tempat penjualan ikan yakni di Kabupaten Natuna dan Kota Batam. "Nelayan lokal harus meningkat kesejahteraannya. Caranya harus ada industri, kemudian pengusahanya juga kita diberdayakan," demikian Wahyu. (mth)

Indonesia Pasti Bisa Hasilkan 2 Juta Ton Udang pada 2024

Jakarta, FNN - Salah satu target yang mencengangkan terkait sektor kelautan dan perikanan nasional, adalah ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menargetkan akan menghasilkan produksi 2 juta ton udang pada 2024. Meski tidak sedikit yang meragukan, tetapi Ketua Bidang Budidaya DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Arie Suharso menyatakan bahwa target 2 juta ton udang pada 2024 bukanlah sesuatu ambisi yang berlebihan, tetapi mungkin untuk diwujudkan. Arie mengingatkan bahwa udang kerap dianggap sebagai tolok ukur dari berbagai komoditas perikanan budidaya lainnya di Indonesia. Sedangkan berdasarkan data bahwa pada tahun 2021 ini, Indonesia dinilai mampu memproduksi hingga lebih dari 800 ribu ton udang. Ia mengakui bahwa pada saat ini udang, dinilai sebagai suatu hal yang seksi dalam bidang perikanan budidaya, di mana berbagai negara yang umumnya berada di kawasan Asia seperti India, Thailand, dan Vietnam, sedang berlomba memproduksi udang. Namun, Arie yang juga berprofesi sebagai seorang pembudidaya yang memiliki tambak di kawasan Dipasena, Lampung, meyakini bahwa Indonesia sebenarnya memiliki beragam faktor yang bisa menjadi "amunisi" berharga dalam menghasilkan udang. Berbagai aspek yang menguntungkan Indonesia itu, antara lain adalah luasnya lahan budidaya perikanan air payau (yang cocok untuk komoditas seperti udang), yang mencapai hingga sekitar total lahan eksisting 1,2 juta hektare.Sedangkan potensi dari lahan budidaya perikanan air payau itu di Tanah Air diperkirakan dapat mencapai 16,7 juta hektare. Selain itu, Arie juga memaparkan bahwa di Indonesia terdapat sebanyak 745 unit pembenihan budidaya, di mana sekitar 112 unit merupakan pembenihan untuk komoditas udang. Terkait dengan pakan, diperkirakan ada sebanyak 41 perusahaan yang bergerak sebagai produsen pakan dan 42 importir pakan, serta untuk bahan pendukung ada 392 obat penyakit ikan/udang yang terdaftar di Nusantara. Mengenai penyakit yang menimpa udang, bahwa ancaman virus atau penyakit yang menimpa udang merupakan tantangan besar yang merupakan masalah klasik yang kerap dihadapi oleh berbagai produsen di seluruh dunia. Sebenarnya budi daya udang di Indonesia sudah ada yang menggunakan teknologi 4.0, tetapi sayangnya masih belum diakses secara mudah oleh seluruh petambak Nusantara untuk mengembangkan budi dayanya dengan baik. Sementara terkait kebijakan di sisi permodalan, dinilai masih berkutat dalam cara-cara konvensional seperti kredit usaha rakyat, tetapi belum ada inovasi permodalan yang tepat guna bagi kebutuhan petambak. Optimistis Berdasarkan data BPS, kinerja ekspor produk perikanan secara kumulatif pada periode Januari hingga September 2021 terjadi kenaikan yang cukup signifikan mencapai 7,7 persen dengan nilai 4 miliar dolar AS. Dari keseluruhan ekspor kumulatif periode Januari-September 2021, komoditas ekspor utama meliputi udang sebesar 1,6 miliar dolar, tuna-cakalang-tongkol 518 juta dolar, rajungan-kepiting 447 juta dolar, cumi-sotong-gurita 401 juta dolar, rumput laut 236 juta dolar, layur 59 juta dolar, dan tilapia sebesar 46 juta dolar. Tidak heran bila Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyatakan, pihaknya optimistis bisa untuk mewujudkan tambak modern dengan manajemen terintegrasi dalam rangka meningkatkan produksi udang nasional. Menteri Trenggono menyatakan, untuk menggenjot produktivitas ekspor produk perikanan khususnya udang, KKP telah menyusun sejumlah langkah strategis. Sejumlah kebijakan strategis tersebut di antaranya adalah akan merevitalisasi 14.000 hektare tambak tradisional yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia. "Revitalisasi ini untuk meningkatkan produktivitas tambak tradisional dari yang tadinya 0,6 ton/hektare menjadi 2 ton. Di samping itu, revitalisasi dilakukan agar kegiatan budidaya berjalan ramah lingkungan," paparnya. Sementara itu, Dirjen Perikanan Budidaya Tb Haeru Rahayu mengemukakan bahwa untuk mencapai target produksi udang sebesar 2 juta ton pada 2024, pihaknya telah melakukan tiga langkah, yaitu evaluasi, revitalisasi, dan modeling. Menurut Dirjen yang akrab disapa Tebe ini, langkah-langkah tersebut adalah dengan mengevaluasi lahan budi daya yang ada di seluruh Indonesia, yang sebesar 300.501 hektare dan terdiri atas lahan tambak tradisional, intensif, dan semi intensif. Selain itu, KKP juga menyiapkan luas lahan modeling atau tambak percontohan yaitu sebesar 14.000 hektare yang terdiri lahan tambak tradisional menjadi tambak intensif 11.000 hektare dan pembukaan lahan baru 3.000 hektare. KKP juga menggandeng ahli pemuliaan genetika bidang perikanan perikanan yaitu Profesor Alimuddin dari IPB dan Doktor Asep Anang dari Unpad guna membenahi sistem penyediaan induk udang vaname unggul. Tebe mengemukakan, pihaknya ingin banyak diskusi mengenai perihal teknis menghasilkan induk udang yang unggul. Ia telah membawa Profesor Alimuddin dan Doktor Asep ke ke Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem, Bali, yang merupakan ujung tombak KKP dalam menyediakan induk udang vaname yang unggul. BPIU2K Karangasem telah memiliki fasilitas, di antaranya Nucleus Center sebagai tempat proses produksi benih udang vaname, kemudian Tambak Uji Performa untuk tempat proses uji multilokasi udang vaname, serta fasilitas Multiplication Center sebagai tempat pembesaran calon induk dan induk udang vaname. Asep Anang yang juga ahli genetika di Shrimp Improvement Systems (SIS), perusahaan terkemuka global dalam pembenihan komoditas udang, menyampaikan, fasilitas yang dimiliki BPIU2K Karangasem sudah menyalin dari SIS yang ada Hawaii dan Florida, Amerika Serikat. Asep menyarankan untuk perbaikan performa udang di Indonesia melalui traceability atau ketertelusuran, di mana kinerja udang dilacak dari mulai dari bentuk induk sampai ke tambak, sehingga bila ditemukan permasalahan maka dapat dilacak kembali hingga ke galur murninya. Sementara itu Alimuddin yang juga Dosen di Departemen Akuakultur IPB ini menyampaikan bahwa BPIU2K Karangasem mampu menjadi penyediaan induk udang vaname unggul. Menurut data dari KKP, BPIU2K Karangasem memiliki 42.578 calon induk yaitu calon induk udang vaname sebanyak 12.578 ekor, dan calon induk Vaname Nusantara generasi ke-4 (VN-G4) sebanyak 30.000 ekor. Kemudian, jumlah induk udang vaname sekitar 875 ekor induk, yang terdiri dari masing-masing untuk induk vaname (dari 4 sumber genetik) sebagai bahan pemuliaan induk galur murni tumbuh cepat sebanyak 400 ekor, induk vaname hasil impor dari Konabay sebagai sumber genetik untuk seleksi individu dan famili sebanyak 225 ekor. Serta, induk Vaname Nusantara (VN-G4) sebagai sumber daya genetik hasil seleksi famili sebanyak 250 ekor. Jaga lingkungan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengatakan pengembangan shrimp estate atau kawasan budi daya udang terintegrasi oleh pemerintah, perlu dipastikan agar tidak sampai merusak kawasan mangrove atau hutan bakau. Untuk itu, perlu dimaksimalkan pengelolaan tambak yang sudah ada secara terintegrasi dari hulu ke hilir, dari pembibitan sampai pembuangan limbah pascapanen. Abdul Halim juga sepakat bila pengelolaan tambak udang di shrimp estate memiliki persyaratan yaitu adanya inisiatif menanam bibit mangrove baik di kawasan sama maupun lokasi lainnya. Ia mengingatkan bahwa tingkat produktivitas tambak bisa diproyeksikan, sehingga dapat diperkirakan penurunan produktivitasnya yang merupakan akibat dari kondisi lingkungan sekitar yang memburuk dan terabaikan. Bila terjadi kondisi salah urus, misalnya akibat limbah tambak dibuang tanpa diolah, maka potensi produktivitas tambak udang bisa menurun drastis. KKP sendiri juga memiliki inovasi seperti penggunaan microbubble pada proses produksi pembesaran udang vaname di kolam bulat dengan sistem bioflok, sebagai salah satu bentuk inovasi sektor kelautan dan perikanan. Plt. Kepala Badan Riset dan SDM KKP Kusdiantoro memaparkan, pengembangan teknologi microbubble untuk budidaya udang vaname dilakukan untuk mengatasi kendala yang kerap dihadapi oleh pembudidaya udang. Beragam kendala itu, antara lain biaya listrik yang tinggi, modal yang cukup besar untuk skala tambak, limbah yang tidak dikelola dengan baik hingga serangan penyakit. Kemudian, kendala lainnya juga berupa keterbatasan lokasi budidaya karena jauh dari sumber air laut/payau, serta daya dukung lingkungan yang menurun. Microbubble merupakan rekayasa teknologi akuakultur yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dan memiliki beragam kelebihan, antara lain tanpa penggantian air, tidak ada air limbah perikanan yang dibuang ke lingkungan, dapat diaplikasikan pada skala rumah tangga bahkan industri, serta bisa diaplikasikan di tengah perkotaan yang jauh dari sumber air laut. Kelebihan lainnya yaitu dapat dikembangkan dengan kepadatan di atas 1.000 ekor/meter kubik, sehingga produktivitas udang yang dihasilkan sangat tinggi. Dengan tersebarluaskannya penerapan inovasi teknologi ini, diharapkan dapat turut membantu mewujudkan target KKP dari pertumbuhan tambak udang nasional, yaitu 2,5 kali lipat setiap tahunnya. Dengan demikian, maka Indonesia diharapkan juga bisa untuk mewujudkan target 2 juta ton udang pada tahun 2024. (mth)

DKP Sulsel: Daya Beli Komoditi Perikanan Naik Setelah COVID-19 Melandai

Makassar, FNN - Kepala Bidang Perikanan Budidaya Dinas Kelautan dan Perikan (DKP) Sulawesi Selatan Hardi Haris mengemukakan bahwa terjadi peningkatan daya beli komoditi perikanan setelah kasus COVID-19 melandai. "Untuk komoditi perikanan sempat turun harganya tetapi sekarang sudah membaik. Termasuk ekspor kita kelihatan sudah mulai bagus, setelah kemarin pandemi sebenarnya produksi kita tetap bagus hanya pasarnya memang ada kendala," urainya di Makassar, Sabtu. Berdasarkan data DKP Sulsel, capaian ekspor komoditi perikanan pada periode Januari hingga Agustus 2020 yakni 205 juta dolar Amerika. Angka tersebut meningkat sebesar 12.7 persen yang totalnya mencapai 231 juta dolar Amerika pada periode yang sama. Pada awal pandemi saat kasus COVID-19 sangat tinggi, kata Hardi, mengakibatkan berbagai pekerja atau buruh yang menangani produk ekspor dari Sulsel tidak bisa bekerja karena ruang gerak yang terbatas. "Sekarang pandemi sudah mulai melandai, pekerja di sana juga sudah mulai buka, makanya permintaan ekspornya juga sudah bagus. Jadi kalau kita lihat jumlah ekspor kita sudah ada peningkatan di banding dengan tahun lalu," kata dia menjelaskan. Menurut dia, ekspor komoditi perikanan Sulsel terbukti membaik karena telah dilakukan direct flight (pengiriman langsung) setiap Sabtu dengan tujuan sejumlah negara Asia, seperti Hongkong dan Jepang. "Itu rencananya tiap hari Sabtu ada ekspor ke negara ini. Garuda siapkan untuk ke Hongkong dan Garuda tidak mungkin buka kalau potensi itu tidak ada," katanya. Hardi juga mengatakan daya jual komoditi perikanan di pasar lokal telah membaik, sebab warung makan dan restoran hingga hotel dianggap telah ramai. "Paling banyak serapannya kan di warung, kemudian di pasar lokal juga. Dari Dinas Perikanan sendiri, rumput laut tetap kita dorong karena yang terbesar di Sulsel kan rumput lautnya," kata dia. (mth)

KKP-Universitas Miyazaki Jepang Kerja Sama Bidang Keamanan Pangan Ikan

Jakarta, FNN - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjalin kerja sama kemitraan strategis dengan Center for Animal Disease Control (CADIC) University of Miyazaki, Jepang, dalam bidang keamanan pangan komoditas ikan. "Kita juga sepakat untuk berbagi pengetahuan di bidang mutu dan keamanan hasil perikanan dan pengendalian penyakit ikan," kata Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) KKP Rina dalam siaran pers di Jakarta, Sabtu. Rina mengungkapkan terdapat beberapa poin kesepakatan antara lembaganya dengan perwakilan dari Negeri Sakura tersebut, yang penandatanganan kerja sama tersebut telah dilaksanakan di Denpasar, Bali, 12 November 2021. Ia memaparkan, poin kerja sama BKIPM dengan CADIC di antaranya pengembangan dan penerapan teknologi untuk mendeteksi dan/atau mendiagnosa penyakit ikan dan penyakit yang menjadi perhatian dalam bidang keamanan pangan asal ikan. Selain itu, ujar dia, terdapat juga kesepakatan dalam hal pengembangan kapasitas untuk meningkatkan kemampuan mendeteksi dan/atau mendiagnosa penyakit ikan dan penyakit yang menjadi perhatian dalam bidang keamanan pangan asal ikan. Poin berikutnya yakni dukungan peralatan dan teknologi untuk mendeteksi dan/atau mendiagnosa penyakit ikan dan penyakit yang menjadi perhatian dalam bidang keamanan pangan asal ikan. Sementara Sekretaris BKIPM Hari Maryadi menyebut kesepakatan kedua lembaga sebagai awal bahwa ke depan, BKIPM dan CADIC dapat saling mengisi sekaligus memperluas hubungan di beberapa bidang lainnya. Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mendorong peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di bidang kelautan dan perikanan. Menurut dia, SDM yang tangguh sangat diperlukan dalam mendukung program prioritas KKP untuk keberlanjutan sumber daya laut dan perikanan nasional. Satuan pendidikan KKP tersebar di berbagai daerah di Indonesia, yaitu 1 Politeknik Ahli Usaha Perikanan (Kampus Jakarta, Bogor, dan Serang); 9 Politeknik KP di Pangandaran, Karawang, Sidoarjo, Bitung, Sorong, Kupang, Bone, Dumai, dan Jembrana; 1 Akademi Komunitas di Wakatobi; serta 9 Sekolah Usaha Perikanan Menengah di Aceh, Tegal, Lampung, Pariaman, Pontianak, Bone, Ambon, Sorong, dan Kupang. (mth)

WIMA Beri Bantuan Hukum Bagi Perempuan Pelaut

Jakarta, FNN - Prihatin menyaksikan masalah yang dialami perempuan pelaut atau para pekerja perempuan di bidang maritim, Women On Maritime Association Indonesia (WIMA INA) merasa terpanggil untuk dapat membantu mereka menyelesaikan masalah yang sering mereka alami seperti pelecehan seksual, ketidakadilan dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan sehari- hari. WIMA INA hadir untuk memberikan pendampingan di bidang hukum. Demikian topik yang timbul dalam memperingati Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2021, dimana WIMA INA menggelar Webinar Nasional “Pencapaian Perempuan Indonesia di Sektor Maritim & Launching Legal Help Desk” yang diselenggarakan secara hybrid di Menara Kadin Jakarta. WIMA INA terus berkomitmen mendukung peranan wanita di bidang maritim untuk membangun kembali dan meningkatkan peran wanita di bidang maritim di Indonesia. Sebagai Keynote Speaker dalam Webinar ini adalah Plt. Direktur Jenderal Perhubungan Laut yang diwakili oleh Direktur Perkapalan dan Kelautan, Ahmad Wahid. Ahmad Wahid menyampaikan bahwa Kementerian Perhubungan, melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, terus berupaya untuk memastikan dam menjamin bahwa perempuan Indonesia mendapatkan kesetaraan gender dan pendidikan di sektor maritim. Hal ini, berkaitan juga dengan akses terhadap sumber daya ekonomi sendiri. “Dalam rangka menyambut Hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada 28 Oktober ini, WIMA INA memberikan warna berbeda, dengan mengadakan Webinar Nasional bertajuk Pencapaian Perempuan Indonesia di Sektor Maritim & Launching Legal Help Desk, dimana legal help desk ini ditujukan untuk memberikan pendampingan bantuan hukum di bidang maritim bagi para pelaut dan pekerja wanita di setor kemaritiman ," kata Ketua Umum WIMA INA Dr. Chandra Motik, dalam paparannya sebagai narasumber pertama dalam Webinar ini. Chandra Motik pakar kelautan dan kemaritiman Indonesia, selalu aktif menggaungkan kepada pemerintah dan masyarakat agar bangsa Indonesia kembali ke laut dan membangun budaya maritim demi mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim. Sementara Carmelita Hartoto, Ketua Umum INSA dan Waketum WIMA, hadir sebagai narasumber ke-2 dalam webinar ini. Dalam paparannya, Carmelita menyebutkan bahwa peran perempuan di bidang maritim di Indonesia sudah memiliki cakupan yang cukup besar. Hal ini bisa dilihat dari beberapa jabatan strategis yang telah dipegang perempuan di industri ini sejak beberapa tahun terakhir. Carmelita juga menyatakan bahwa pemberdayaan perempuan pada sektor maritim bukan ditujukan menjadi pesaing bagi laki-laki, melainkan bersinergi antara keduanya. Irma Suryani Chaniago, anggota DPR RI tahun 2021 – 2024 dan Komisaris Independent PT Pelindo, hadir sebagai narasumber ke-3. Dalam paparannya, Irma menyebutkan bahwa saat ini diperlukan adanya Undang-undang perlindungan kesetaraan gender yakni menjamin penghapusan diskrimanasi, kekerasan terhadap perempuan, penghapusan semua praktek yang membahayakan perempuan, dan menyadari pelayanan dan pekerjaan, memastikan bahwa perempuan dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan social, ekonomi dan politik. Sebagai narasumber terakhir dalam webinar ini adalah Dothy, Direktur Teknik PT Pelindo Terminal Petikemas yang juga Ketua Ikatan Alumni Swedia. Dalam paparannya, beliau menyebutkan bahwa harus ada keseimbangan antara karir perempuan sebagai pemimpin dan sebagai perempuan yang mengabdi pada keluarganya. Untuk itu diperlukan kiat-kiat khusus dan tehnik untuk men-switch peran diantara peran sebagai pemimpin di organisasi dan di rumah. Webinar ini dimoderatori oleh Yanti Agustinova, Ketua Bidang Program WIMA INA dan sebagai MC, Indhira Gita Lestari, Corporate Affair Manager PT. Jakarta International Container Terminal. (sws)

Mengembalikan Daulat Maluku Sebagai Negeri Maritim (Bag-1)

by Dr. Saidin Ernas Tahun 2017 silam, saya mendapatkan kehormatan untuk menghadiri sebuah Focus Group Discussion (FGD) tentang upaya membangun dunia kemaritiman di Maluku. Diskusi tersebut dihadiri Gubernur Maluku, Wakil Ketua DPD RI Ibu Ratu Hemas beserta empat anggota DPD RI asal Maluku. Selain itu, hadir juga sejumlah ahli politik, ekonomi, dan kebudayaan. Tidak ketinggalan para ahli kelautan dari Universitas Pattimura Ambon. Beberapa guru besar kelautan dari Universitas Pattimura mempresentasikan potensi ekonomi kelautan di Maluku. Potensi yang bila dikonversi kedalam rupiah, maka nilai keekonomiannya diyakini mampu menopang kesejahteraan seluruh rakyat Maluku. Bahkan dapat menyumbang secara siginifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia. Melalui tulisan ini saya tidak akan menceritakan tentang nilai keekonomian atau angka-angka ekonomi kelautan yang fantastis itu. Saya justru tertarik dengan kritik seorang anggota DPD RI asal Maluku yang juga seorang guru besar di sebuah universitas di Jakarta. Anggota DPD itu menyangsikan hipotesis bahwa masyarakat Maluku adalah kelompok masyarakat yang memiliki mentalitas dan karakter yang dibutuhkan sebagai bangsa pelaut yang Tangguh. Bangsa pelaut tangguh sebagaimana yang jamak ditemukan pada para pelaut Mandar dan Bajo di Sulawesi Selatan atau nelayan-nelayan Banyuwangi dan Madura dari Jawa Timur. Nelayan-nelayan Maluku hanya berlayar di sekitar laut Maluku. Itupun sekedar menjalani aktifitas kenelayanan secara temporal. Sebab umumnya nelayan Maluku mengandalkan pendapatannya dari aktifitas pertanian dan perkebunan. Bila dipahami secara sepintas, apa yang dikatakan senator asal Maluku tersebut pasti dapat dibenarkan. Sebab pada realitasnya para nelayan di Maluku bukanlah pelaut dan nelayan tangguh. Bukan nelayan yang berani menantang samudra hingga batas terjauh. Para nelayan Maluku juga tidak memiliki budaya terkait penguasaan teknologi kenelayanan, seperti perkapalan yang dapat digunakan untuk menopang aktifitasnya. Perahu-perahu di Maluku, seperti kora-kora, koli-koli atau giuk adalah perahu tradisional yang sulit melakukan pelayaran jarak jauh. Namun bagi semua kesan tersebut adalah kesimpulan yang masih dangkal dan perlu diklarifikasi lebih seksama. Apakah benar masyarakat Maluku adalah sebuah komunitas kepulauan yang telah melupakan alam kelautan dan pesisir yang mengitarinya? Sehingga nelayan Maluku tidak memiliki etos sebagai bangsa maritim yang patut dibanggakan lagi? Ataukah kondisi tersebut merupakan sebuah realitas yang tercipta melalaui berbagai bentuk politisasi dan rekayasa sosial yang telah berlangsung lama. Tiga fakta kehancuran bila kita membaca sejumlah data sejarah. Secara historis aktifitas kelautan di Maluku bukan sekedar aktifitas kenelayanan yang rapuh. Tetapi lebih dari itu berkaitan dengan fakta kehancuran kebudayaan dari suatu masyarakat maritim yang pernah berjaya. Masyarakat Maluku bukanlah kamunitas yang tidak mencintai laut, ombak, ikan, batu, karang dan angin yang terhampar di depan matanya. Masyarakat Maluku dulu adalah pelaut-pelaut yang tangguh. Peluat yang menjajah lintas samudera yang disegani kawan dan lawan. Pelaut-pelaut Maluku adalah pedagang-pedagang kaya yang pernah menguasai jalur perdagangan rempah dan hasil laut yang bernilai ekonomi tinggi. Mereka pernah berjaya dan memeriahkan aktifitas perdagangan dunia pada abad 16 hingga abaad 18, yang berpusat di perairan Maluku. Harus diakui, dunia kemaritiman Maluku mengalami kemunduran, kehancuran dan kejatuhan secara perlahan-lahan. Setidaknya ada tiga situasi yang menyumbang kepada realitas tersebut. Baik itu berupa tragedi yang dapat dilacak sejak masa lalu, maupun dinamika sosial politik kontemporer sebagai akibat kekeliruan kebijakan pembangunan pada masa Indonesia Moderen. Fase pertama dari kehacuran peradaban maritim Maluku itu bisa dilacak pada era kolonialisme. Sejarawan LIPI Muridan Widjoyo mencatat bahwa masyarakat Maluku adalah pelaut-pelaut tangguh yang biasa melayari nusantara, bahkan hingga ke India. Mereka menjalankan aktifitas perdagangan rempah-rempah secara independen dengan berbagai bangsa. Catatan Muridan (2014) dan juga Roy Ellen (1986) menyebutkan hiruk pikuk perdagangan tersebut. Para nelayanan di wilayah Seram Timur dan Tenggara menguasai jalur perdagangan sendiri, yang mereka sebut sebagai Sosolat. Jalur Sosolat biasanya melewati jalur Selatan yang memanjang dari pulau-pulau di Papua Barat, Seram Bagian Timur dan Tenggara, Timor, Bali, Banten, Bengkulu di Sumatera hingga Madras di India. Jalur ini merupakan jalur perdagangan ilegal di luar jalur perdagangan monopoli yang secara resmi dikuasai oleh kolonial Belanda. Terdapat ratusan kapal dan perahu yang dikendalikan para pedagang dan pelaut Seram yang memuat berbagai bahan rempah-rempah untuk dijual ke Bali, Sumatera hingga India. Aktifitas tersebut sempat membuat harga komoditas rempah-rempah yang dimonopoli Belanda jatuh di pasaran dunia. Akibatnya, pemerintah Belanda marah besar. Dampaknya, Belnada menyebut orang-orang Seram Timur sebagai bajak laut dan penipu. Menghadapi kenyataan ini, Gubernur Amboina Bernardus Van Pleuren (1785-1788 ) Gubernur Jendral Belanda di Batavia. Dalam suratnya Bernardus Van Plueren menyebut orang-orang Seram Timur yang menguasai aktifitas perdagangan tersebut sebagai “penipu yang paling tidak bisa dipercaya di seluruh dunia”. Akhirnya pemerintah Kolonial yang merasa dirugikan oleh aktifitas perdagangan tersebut melakukan “aksi penertiban” (hongi) secara besar-besaran melalui perang dan kekerasan. Kapal-kapal dan perahu yang mendukung aktifitas perdagangan di tangkap, dibakar dan dimusnahkan. Para pelaut dan pembuat kapal berbadan besar juga ditangkap dan dibunuh. Bahkan sejumlah perkampungan di pesisir seram dibumihanguskan. Operasi penertiban tersebut menandai fase-fase paling awal dari runtuhnya budaya kemaritiman Maluku. Sebab sejak saat itu masyarakat semakin berjarak dengan lautnya. Laut dipunggungi masyarakat Maluku. Halaman depan rumah yang tadinya mengahadap ke laut dipaska untuk berhadapan dengan gunung. Dapur rumah yang semula menghadap ke gunung, dipaksa untuk dibalik menghadap ke laut. Masyarakat dipaksa melalui berbagai cara untuk fokus hanya menanam dan merawat Pala dan Cengkeh yang dimonopoli kolonial Belanda. Fase kedua yang turut menghancurkan budaya kemaritiman Maluku adalah saat Indonesia Merdeka. Ketika rezim Orde Lama serta Orde Baru memilih menfokuskan pembangunan pada wilayah daratan. Pembangunan juga hanya difokuskan di Jawa dan Sumatera sebagai daratan paling potensial bagi aktifitas pertanian dan perkebunan. Sering terdengar ucapan lawas, “Maluku adalah masa lalu, Jawa adalah masa kini dan Sumatera adalah masa depan”. Pembangunan yang beroriantasi daratan memiliki implikasi serius. Sebab wilayah kepulauan seperti Maluku semakin merana, ditinggal dan dilupakan. Tidak ada kegiatan pembangunan yang strategis di Maluku. Laut dan kepulauan dianggap sebagai sesuatu yang tidak prospektif dan menghambat kemajuan. Aksi-aksi penjarahan terhadap hasil laut di Maluku oleh berbagai kapal nelayan asing juga dibiarkan tanpa ada hukuman yang maksimal. Maluku yang tertinggal semakin sulit saja untuk berkembang. Apalagi tidak memperoleh sumber daya yang cukup untuk membangun wilayahnya. Padahal secara geografis Maluku terdiri dari pulau-pulau kecil dan lautan yang luasnya mencapai 92%. Kekayaan Maluku strategis ini tidak dianggap penting oleh pemerintah pusat. Akibatnya, Maluku tetap berada pada posisi sebagau saalah satu provinsi termiskin di Indonesia. Adapun fase ketiga yang bisa dicatat sebagai bentuk keruntuhan peradaban kemaritiman di Maluku adalah ketika rezim reformasi di era SBY menolak inisiatif rakyat Maluku membentuk otonomi propinsi kepulauan. Suatu inisiatif yang dipercaya akan mampu mendorong percepatan pembangunan di Maluku. Secara teoritis akan terjadi mobilisasi sumber daya ekonomi dan politik untuk menopang pembangunan. Meskipun secara retoris pemerintahan SBY selalu mengkampanyekan perubahan paradigma pembangunan yang semakin fokus pada aspek-aspek kelautan. Namun penolakan rezim SBY itu masih memperjelas bahwa kampanye kembali ke laut hanya lips service dan politik pencitraan semata. Pemerintah pusat memang telah membentuk kementerian kelautan dan perikanan, tetapi secara keseluruhan belum menunjukkan sebuah perubahan paradigmatik pembangunan yang fundamental yang mencakup seluruh aspek pembangunan nasional. (bersambung) Penulis adalah Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat IAIN Ambon.