Jokowi Akan Buka Muktamar Muhammadiyah ke-48 Haedar Nashir: Pemimpin 2024 Harus Lepas Dari Usaha Melanggengkan Kekuasaan
Jakarta, FNN - Muktamar Muhammadiyah ke-48 akan diselenggarakan di Surakarta, pada 18 sampai 20 November 2022. Presiden Joko Widodo akan hadir dan membuka secara resmi pada Sabtu, 19 November 2022 pagi, di Stadion Manahan, Kota Solo.
"Alhamdulillah Bapak Presiden Joko Widodo hadir dan berkenan membuka muktamar," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam pertemuan dengan pimpinan media massa, di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, Senin, 7 November 2022 malam.
Haedar hadir secara online dari Yogyakarta dalam pertemuan yang antara lain dihadiri Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti; Ketua PP Muhammadiyah yang juga Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy; Ketua PP Muhammadiyah yang juga Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas, dan Ketua PP Aisyiyah, Masyitoh Chusnan.
Menurut rencana, penutupan dilakukan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Wapres sudah memberikan konfirmasi hadir dan menutup muktamar yang akan memilih Ketua Umum PP Muhammadiyah peridoe 2022- 2027 itu. “Dibuka Presiden, ditutup Wakil Presiden,” ucap Sekum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti.
Sejumlah persoalan bangsa dan internasional akan dibahas dalam muktamar tersebut. Dalam buku tipis berjudul, “Muhammadiyah dan Isu-isu Keumatan, Kebangsaan dan Kemanusiaan Universal,” menjelaskan setidaknya ada tiga garis besar. Pertama, menyangkut keumatan yang terdiri dari enam isu. Yaitu, fenomena rezimintasi paham agama, membangun kesalehan digital, memperkuat persatuan umat, reformasi tata kelola filantropi Islam, beragama yang mencerahkan dan autentisitas wasathiyah Islam.
Kedua, kebangsaan. Meliputi sembilan hal, yaitu memperkuat ketahanan keluarga, reformasi sistem Pemilu, suksesi kepemimpinan 2024, evaluasi deradikalisasi, memperkuat keadilan hukum. Kemudian, penataan ruang publik yang inklusif dan adil, memperkuat regulasi sistem resilensi bencana, antisipasi aging population, dan memperkuat integrasi nasional.
Ketiga, kemanusiaan universal. Meliputi membangun tata dunia yang damai berkeadilan, regulasi dampak perubahan iklim, mengatasi kesenjangan antar negara, dan menguatnya xanofobia yaitu sikap dan prilaku yang anti terhadap asing atau sesuatu yang asing.
Haedar sempat menunjukkan buku tebal yang akan dibahas dalam muktamar. Buku tersebut sudah disiapkan lama dan telah dibagikan sejak tiga bulan lalu kepada peserta muktamar, terutama tokoh-tokoh Muhammadiyah.
Haedar lebih fokus menyampaikan masalah keumatan dan suksesi kepemimpinan 2024. Dalam hal keumatan, ia mengatakan, Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila, bukan negara agama maupun negara sekuler. Karena bukan negara agama, maka tidak boleh ada agama yang mendominasi, apalagi keagamaan tertentu.
Akan tetapi, saat ini selain terdapat kenyataan adanya kekuatan formalisasi di ruang publik, pada saat yang sama ada juga gejala rezimintasi agama oleh suatu kelompok keagamaan. Rezimintasi agama menjelma semakin kuat dengan kecenderungan penguasaan makna dan kepentingan agama oleh suatu pandangan dan kelompok dominan dalam beragama di ruang publik dan negara.
Menguatnya rezimintasi agama dapat dilihati dari dua fenomena. Pertama, sedang terjadi pemaksaan atau dominasi pemahaman keagamaan atau paham keislaman yang bersenyawa dengan kekuatan politik atau negara.
Kedua, akibat kekuatan oligarki kekuasaan dan otoritas keagamaan, paham agama keagamaan tertentu dipaksakan secara sistemik dengan menjadikan otoritas dan tafsir tunggal keagamaan yang monolitik. Kecenderungan beragama dan bernegara atas nama paham agama yang dominan dan monolitik tersebut, tidak positif bagi kehidupan beragama dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
Muhammadiyah dalam menyikapi fenomena rezimintsi agama tersebut menyampaikan pesan dan harapan. Pertama, negara agar bersikap moderat atau adil dan objektif dalam memosisikan dan memberi ruang bagi seluruh kelompok atau golongan agama tanpa diskriminalisasi.
Kedua, mendorong ormas Islam semakin menguatkan paradigma wasathiyah Islam yang genuine, yani moderasi beragama yang tidak dipaksakan dan mendikte negara. Ketiga, mendorong negara supaya dapat menjadi fasilitator semua ormas keislaman dan ormas keagamaan agar benar-benar sebagai mitra negara yang diperlakukan secara adil dan objektif sejalan dengan Pancasila dan konstitusi.
Keempat, mendorong negara supaya bersikap netral dan tidak menjadi alat politisasi agama dalam bentuk memanfaatkan institusi negara oleh kelompok keagamaan tertentu. Kelima, mendorong negara agar tidak menciptakan segregasi politik terhadap ormas Islam dengan tidak menjadikan isu keagamaan sebagai isu politik mainstream dan nonmainstream.
Mengenai suksesi kepemimpinan nasional tahun 2024, Haedar mengatakan, para pemimpin yang dihasilkan Pemilu 2024 diharapkan memiliki prinsip politik untuk melepaskan dan tidak untuk melanggengkan kekuasaan.
Haedar mengatakan, para pemimpin eksekutif dan legislatif seharusnya didorong untuk memiliki orientasi pada nilai Pancasila, agama, dan kepribadian bangsa yang mendalam dan autentik. Para pemimpin yang terpilih dan diamanahi menjadi pengelola negara haruslah sosok negarawan sejati yang lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri, kroni, dinasti dan kepentingan sesaat lainnya.
“Para pemimpin yang dipilih juga mampu membebaskan dari kooptasi berbagai kedaulatan asing maupun domestik, yang terus-menerus bekerja membelokkan negara dari fungsi dan orientasi kepatuhan konstitusional (constitutional obedience) dan keluhuran nilai Pancasila,” kata Haedar. (Anw).