Mengapa Berbeda Perlakukan Jokowi Kepada Jenderal Andika dan Laksamana Yudo?
Jakarta, FNN - Kalau Anda mengamati pelantikan Panglima TNI Yudo Margono di istana, kemarin, ada hal yang sangat berbeda dengan pelantikan Panglima TNI Andika satu tahun yang lalu. Waktu itu, pada saat yang bersamaan dilantik juga Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Dudung Abdurrahman, menggantikan Andika yang diangkat menjadi Panglima. Kali ini, Yudo dilantik dan sampai sekarang kita belum tahu siapa yang ditunjuk menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Laut. Ada apa ini? Mengapa ada perlakuan yang berbeda antara Yudo dan Andika. Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, membahasnya dalam Kanal Youtube Hersubeno Point edisi Selasa (20/12/22) dengan menghadirkan nara sumber Analis Komunikasi Politik dan Militer dari Universitas Nasional Jakarta, Selamat Ginting.
Menjawab pertanyaan mengenai apa yang terjadi hingga sampai sekarang belum juga ditunjuk siapa yang akan menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Ginting menjawab, ”... Menurut saya, ketika pelantikan Andika Perkasa dan Dudung Abdurrahman menjadi Kepala Staf Angkatan Darat, itu artinya tidak ada lagi yang diragukan oleh Presiden Jokowi. Dia hanya punya calon tunggal, yaitu Jenderal Dudung Abdurrahman. Itulah pilihan dari Presiden Jokowi. Di sini kemudian saya mengartikan bahwa pelantikan yang bersamaan itu tidak memberikan kesempatan kepada Jenderal Andika Perkasa untuk menyodorkan nama-nama, karena pada saat yang bersamaan Kasad juga dilantik.”
Menurut Ginting, memang betul baik Panglima TNI maupun Kepala Staf Angkatan adalah hak prerogatif presiden. Jadi, pada saat itu, Andhika bisa saja terkejut karena dilantik bersamaan dengan Kepala Staf Angkatan Darat. Jadi tidak bisa lagi menyodorkan suksesor-suksesornya yang bisa dipilih oleh Presiden Jokowi. Kali ini, ketika Yudo Margono dilantik maka per pelantikan itu dia otomatis menjadi Panglima TNI sehingga dia punya kesempatan untuk menyodorkan nama-nama calon Kepala Staf Angkatan Laut kepada Presiden Jokowi. Artinya, memang Presiden Jokowi memberikan kesempatan kepada Yudo Margono untuk memberikan nama-nama tersebut kepada Presiden, karena memang urutannya bisa seperti itu.
Kondisinya sekarang, menurut Ginting, bisa saja presiden sudah mendapatkan nama-nama itu dari Panglima TNI sebelumnya, yaitu Jenderal Andika Perkasa, ketika Presiden Jokowi menetapkan Yudo Margono sebagai calon Panglima TNI melalui surat kepada Presiden. Jadi Jenderal Andika Perkasa bisa juga sudah dimintai calon, sehingga saat ini Panglima TNI yang baru juga dimintai pendapat. “Jadi, menurut saya, saat ini memang ada 9 nama Perwira Tinggi Angkatan Laut dengan pangkat bintang 3 atau Laksamana Madya maupun Letnan Jenderal Marinir,” ujar Ginting.
Masih menurut Ginting, dari 9 perwira tinggi tersebut, 7 Laksamana Madya dan 2 Letnan Jenderal Marinir. Mereka berasal dari lifting yang berbeda-beda, baik angkatan 33 atau 88a, 3488B, maupun 35, lulusan Akademi Angkatan Laut 1989. Jadi ada tiga lifting yang memperebutkan calon Kepala Staf Angkatan Laut.
Kembali pada soal perbedaan tadi, mengapa itu terjadi dan hal ini, menurut Hersu, menjelaskan mengapa waktu itu hubungan antara Pak Andika dengan Pak Dudung sempat tidak harmonis. Menanggapai hal tersebut, Ginting mengatakan bahwa memang barangkali keduanya, termasuk Kasad, merasa sama-sama dipilih oleh Presiden, bukan oleh panglima TNI. Yang membedakan adalah jabatannya. Kalau kepangkatannya sama, yaitu sama-sama bintang 4. Barangkalai di sinilah yang membuat adanya rivalitas di antara pimpinan atau elit militer, dan itu bukan terjadi kali ini. Pada era-era sebelumnya banyak juga terjadi hal seperti itu.
Biasanya, menurut Ginting, hubungan tidak harmonis itu terjadi ketika posisi Panglima TNI dipegang oleh Angkatan Darat maka bisa saja hubungannya tidak bagus dengan Kepala Staf Angkatan Darat. Begitu juga kalau Panglima TNI-nya Angkatan Laut maka bisa saja hubungannya tidak begitu harmonis dengan Kepala Staf Angkatan Laut, termasuk ketika Panglima TNI-nya dari Angkatan Udara maka juga ada gesekan dengan Kepala Staf Angkatan Udara. Ini bisa terjadi karena mungkin masih merasa “Panglima rasa kepala staf angkatan”. Itu bahasa yang diungkap oleh Moeldoko ketika itu. Jadi dia merasa bahwa ini jangan-jangan Kepala Staf Angkatan yang diangkat menjadi Panglima TNI masih merasa dirinya sebagai kepala staf angkatan sehingga cawe-cawe dalam hal pembinaan kekuatan, yang ini lebih domain kepala angkatan daripada domain seorang Panglima TNI.
Di situ ada kepentingan-kepentingan dari elit militer untuk menentukan, misalnya personilnya, lanjut Ginting. Sebetulnya hal ini masih bisa dieliminasi apabila masing-masing pihak konsentrasi pada tugas utamanya. Jika mereka fokus pada bidangnya, mungkin tidak akan ada gesekan seperti itu. (ida)