Adat Dayak Kalimantan Timur Terancam Punah oleh Atensi Kapolri Soal Pasal 303 KUHP

Ritual Belian, Dayak Kalimantan Timur

Jakarta, FNN – Budaya adalah jiwa bangsa, tanpa kebudayaan suatu negara tidak akan memiliki identitas. Namun, bagaimana bila acara adat dalam satu kebudayaan dihentikan begitu saja sebagaimana yang pernah terjadi pada masyarakat adat Dayak Tunjung Benuaq dan Bentian Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim)?

Dedi S. Seniang Ayus, Pemangku Adat menjelaskan adanya intervensi pihak Kepolisian ketika dirinya bersama panitia mengadakan upacara adat berupa kegiatan penanggulangan Wabah Covid-9 melalui ritus adat Dayak dalam acara Gugu Tahun Tolak Bala Covid-19 yang diselenggarakan di wilayah Kecamatan Loajanan Ilir Kota Samarinda pada 10-09-2020 s/d 10-02-2021 lalu.

Tak hanya itu. Serangkaian kegiatan lain seperti Botorbuyang Saungk Salangk (permainan adat Dayak Tunjung Benuaq dan Bentian dalam Sabung ayam Betongkok - Buyang dan begurak) yang dianggap sebagai simbol gotong royong dan menjadi sumber dana pengadaan upacara adat lain karena biayanya yang besar, juga dilarang.

Akan tetapi, setelah acara berjalan kurang lebih empat bulan, sebanyak sembilan orang panitia acara termasuk bandar Gurak - bandar Tongkok dibawa ke Polda Kaltim.

Dedi yang mendapatkan kabar tersebut melalui telepon pun pergi ke Polda Kaltim bersama adiknya, Feny Nurmala Sari yang juga panitia. Dedi juga menjelaskan selama empat hari bolak-balik ia diperiksa dan menyerahkan dokumen pengadaan acara. Namun, ketika hendak pulang dirinya turut ditangkap.

“Setelah pada hari yang keempat, setelah selesai diperiksa di ruang penyidik, kami pun kembali pulang, namun baru keluar dari pintu Gerbang Mapolda Kaltim, kami langsung ditangkap dan dimasukan ke dalam sel tahanan Polda Kaltim pada awal bulan Februari 2021,” jelas Dedi kepada FNN, Jumat (02/12/22) melalui sambungan telefon.

Lebih lanjut Dedi menceritakan bahwa sebelas orang yang selama dua bulan di tahanan menjalani proses hukum hingga masuk persidangan di Pengadilan Tinggi Samarinda, dan divonis lima bulan penjara karena tidak memiliki ijin dari Kepolisian. Padahal, Dedi bersama panitia telah mengurus perizinan secara resmi dan berstempel.

“Selama 3 hari setelah sosialisasi semua di tingkat muspika, mereka memberi dukungan terhadap acara tersebut lanatas bertanda tangan dan semua berkas sosialisasi berstempel diberi rekomendasi oleh kecamatan,” kata Dedi.

Setelah itu Dedi melanjutkan sosialisasi ke Dinas Kebudayaan - Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB) Kaltim dan mendapatkan surat izin acara Satgas Covid-19 Kota Samarinda, berstempel dan tanda tangan.

Lalu setelah rampung Dedi pun menyerahkan dokumen tersebut kepada Lembaga Adat Dayak Tunjung Benuaq dan Bentian Provinsi Kalimantan

Timur dan keluarlah surat izin acara adat dari Lembaga Adat, “kemudian saya jilid dan saya kirim ke instansi pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, kepada Gubernur, Kapolda, Pangdam, Polresta, Polsek sebagai pemberitahuan atau tembusan," tukasnya.

Selama lima bulan itu sebelas panitia ditahan dalam Rutan Sempaja Samarinda. Dan akhirnya mereka dibebaskan pada 4-08-2021.

Pembubaran acara adat itu tidak hanya sekali saja karena pihak Polsek Loajanan Ulu Kabupaten Kukar membubarkan acara kedua (10/11/2022) yang padahal dimaksudkan masyarakat Dayak untuk meminta pada leluhur agar memulihkan citra Polri yang tengah terpuruk.

Hal tersebut sangat bertentangan dengan tugas Kepolisian yang seharusnya mengayomi. Namun demikian, masyarakat Adat Dayak Tunjung Benuaq dan Bentian terus bersabar dan minta kepada Pemerintah dan Polri agar mereka dapat melaksanakan upacara adat di tanah sendiri. (rac)

446

Related Post