Ancaman terhadap Negara dan Pancasila

Ancaman kepada negara dan Pancasila itu ada pada upaya marjinalisasi agama secara sistimatis. Agama tidak saja dianggap penghalang. Tapi ancaman yang harus dimusnahkan.

Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation

KETIKA para pendiri bangsa (founding fathers) bersepakat untuk menjadikan Pancasila sebagai idiologi (falsafah) negara Indonesia sesungguhnya itu sebuah kesepakatan yang luar biasa. Keputusan yang biasa saya sebut “smart” (pintar) dan “wise” (bijak).

Pintar karena rumusan itu bukan rumusan biasa. Kalau saja kita jeli dalam memahami dan mendalami pasal-pasal Pancasila maka semua pasal menggambarkan nilai-nilai mulia yang ada pada bangsa ini. Baik itu nilai-nilai mulia kultur dan budaya lokal. Terlebih lagi pada nilai-nilai dan esensi agama.

Bijak karena dengan keputusan itu para pendiri bangsa mampu mengedepankan kepentingan besar bersama sebagai bangsa, ketimbang pertimbangan kelompok yang bersifat partikular. Mereka melihat jauh ke depan bahwa bangsa akan semakin terbuka dalam keragaman dan perbedaan-perbedaan. Dan kalau saja tidak ada pijakan (common ground) bersama boleh jadi bangsa besar Indonesia ini akan kucar-kacir mengikut kepada kecenderungan dan kepentingan masing-masing.

Pancasila juga merupakan keunikan dan kekuatan bangsa Indonesia. Unik karena di dunia ini tidak banyak negara yang bisa “mengintegrasikan” dua komitmen bangsa. Keduanya kerap dianggap paradoks dan harus dipisahkan atau salah satunya dikorbankan. Kedua komitmen itu adalah komitmen keagamaan (religiosity) dan komitmen Kebangsaan (nationalism).

Indonesia mampu menyelaraskan bahkan saling menguatkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama dan nasionalisme adalah dua hal yang tidak dipandang sebagai entitas terpisah yang saling menihilkan. Sehingga Indonesia dikenal sebagai “bukan” negara agama dan sekaligus “bukan” negara sekuler. Tapi dipatenkan menjadi negara Pancasila.

Tantangan bahkan ancaman kepada negara dan Pancasila sesungguhnya bersifat multi dimensi. Satu di antaranya adalah bagaimana Pancasila mampu teraktualkan dalam kehidupan nyata. Pancasila tidak sekedar menjadi slogal dan formalitas yang dibangga-banggakan. Jangan sampai slogan “saya Pancasila” menjadi sebuah “taqiah” dari kegagalan berpancasila itu sendiri.

Untuk mengukur tantangan dan ancaman kepada Pancasila dan negara tentu dapat dilihat kepada tantangan dan ancaman terhadal setiap pasal dari lima pasal Pancasila.

Kita mulai dengan ancaman kepada pasal pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Tantangan dan ancaman ketuhanan adalah ketika agama berusaha disingkirkan dan dimarjinalkan bahkan secara sistimatis demi nafsu pembangunan dan kemajuan. Tidak tanggung-tanggung agama dan akidah tergadaikan atas nama “progress and development” (kemajuan dan pembangunan).

Seharusnya yang terjadi adalah sebaliknya. Jika komitmen Pancasila itu ada maka agama (setiap agama untuk pemeluk masing-masing) dan ajaran-ajarannya harus menjadi acuan dalam setiap langkah kebijakan untuk maju dan membangun. Integrasi agama dalam proses pembangunan harus dilihat sebagai sesuatu yang positif dan menguatkan. Bukan racun dan ancaman. Termasuk di dalamnya aspek Syariah yang terintegrasi dalam proses Membangun negara. Itu adalah bagian dari Ketuhanan pada sila pertama Pancasila.

Ancaman kepada “kemanusiaan yang adil dan beradab” dapat kita lihat pada hilangnya kemanusiaan bangsa ini. Satu indikasi yang dapat kita lihat adalah ketika mereka yang kuat, baik secara ekonomi maupun politik, semakin menancaokan kuku kekuasaan, memanipulasi segala cara untuk tetap kaya dan berkuasa. Sementara rakyat merintih dalam penderitaan yang berkepanjangan.

Hal ini dapat kita lihat di saat-saat musibah Covid saat ini. Justeru ada saja pengusaha dan penguasa yang memanfaatkan situasi sulit ini untuk kepentingan hawa nafsunya. Hal seperti ini jelas merupakan ancaman kepada kemanusiaan seperti pada pasal Kedua Pancasila.

Ancaman kepada “persatuan Indonesia” sesungguhnya tidak saja karena adanya tendensi atau keinginan mendirikan sistim pemerintahan yang tidak Pancasilais. Anggaplah Khilafah atau sebaliknya komunis. Kedua ini boleh jadi memang menjadi ancaman Pancasila.

Tapi, jangan lupa justeru ancaman kepada persatuan bangsa ada pada hilangnya “sense of justice” yang menghilangkan “sense of belonging”. Adanya perilaku belah bambu misalnya, segolongan diangkat dan segolongan lagi diinjak, melahirkan kemarahan. Akibatnya terjadi keinginan untuk berbeda dari yang ada. Di situlah terkadang ada niatan untuk memisahkan diri dari mereka yang dianggap lain.

Keadaan ini semakin diperparah oleh keterbukaan media yang dipergunakan oleh para “buzzer” yang juga mencari sesuap nasi lewat ragam fitnah dan hoax. Mereka ini menjadi ancaman persatuan Indonesia dan Pancasila sekaligus.

Ancaman kepada kepada “permusyawaratan” di sila keempat Pancasila sesungguhnya ada pada kekuasaan yang dirancang sedemikian rupa sehingga melahirkan karakter “oligarchic government” (Pemerintahan oligarki). Di mana pemerintahan walau atas nama permusyawratan, ambillah kata lain “Demokrasi”, tapi sesungguhnya dikendalikan oleh segelintir orang yang punya kekuatan tersembunyi (hidden power).

Ancaman ini semakin nyata ketika ada “invisible foreign intervention” (intervensi luar yang tersembunyi), termasuk di balk kekuatan finansial. Pemerintah yang terkadang menjadi boneka yang terkontrol oleh segelintir pemilik modal itu. Para politisi pun tidak tanggung-tanggung hanyut terbawa arus. Baik secara sadar tapi demi kepentingan. Atau tidak sadar karena memang tidak tahu.

Hilangnya nilai syura (Demokrasi) itu juga akan menampakkan sensitifitas kekuasaan yang “alergi kritikan”. Maka di zaman Wajah-Wajah yang dipolesi keluguan itu sering terjadi perilaku “diktator” halus. Kritikan dianggap musuh dan ancaman.

Tidak tanggung-tanggung harus diredam dan dimusnahkan jika memungkinkan. Bahkan meminjam kata-kata Najwa Shihab: “hukum pun sibuk melayani ketersinggungan. Hal sepele pun akan berakhir dengan pemenjaraan”.

Akhirnya ancaman kepada “keadilan  sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”menjadi semakin nyata dengan hilangnya kemanusiaan dan terwujdunya pemerintahan oligarki tadi. Manusia semakin egois. Yang kaya semakin kaya. Memanipulasi, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kepentingan hawa nafsunya. Berbagai trik politik akan dilakukan untuk semakin menguatkan kuku kekuasaan segelintir itu. Dan seringkali atas nama perundang-undangan yang dirancang oleh segelintir pemilik kekuasaan itu.

Karenanya setiap anak bangsa perlu sadar bahwa ancaman kepada Negara dan Pancasila buka karena komitmen dalam beragama (berislam bagi orang Islam). Justeru sejarah dan tabiat Pancasila mengatakan bahwa pancasila akan efektif dalam ajarannya ketika bangsa Indonesia menguatkan komitmen mereka dalam beragama.

Ancaman kepada negara dan Pancasila itu ada pada upaya marjinalisasi agama secara sistimatis. Agama tidak saja dianggap penghalang. Tapi ancaman yang harus dimusnahkan.

Semua itu teraktualkan dalam ragam ketidak-adilan, termasuk berbagai korupsi yang masih menggerogoti kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Korupsi itu musuh Pancasila. Jangan teriak “saya Pancasila” tapi juga bermental “koruptor”. Malulah!

NYC Subway, 6 Januari 2022. (*) 

 

494

Related Post