Aneh, TNI tidak Bergerak Saat Institusinya Dicap Melanggar HAM Berat
Jakarta, FNN - Mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamzah merasa heran atas sikap TNI yang hanya diam merespons Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 terkait Pembentukan Tim Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat Non-Yudisial.
Menurut Bachtiar, Keppres tersebut merupakan pengakuan bahwa negara telah melakukan pelanggaran HAM berat dan perlu melakukan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM berat.
Konsekuensi dari pengakuan itu maka pemerintahan harus memulihkan hak-hak mereka dalam bentuk ganti rugi.
"Tidak sekadar pengakuan, dampaknya sangat luas bahwa TNI akan dicap sebagai penjahat kemanusiaan. TNI akan dilarang terlibat dalam urusan internasional," katanya dalam diskusi publik bertema “Mengkaji Pernyataan Presiden tentang Pengakuan Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu dan Dampaknya bagi Kehidupan Sosial, Berbangsa dan Bernegara”, di kantor Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (24/02/2023).
Hadir sebagai narasumber, antara lain: Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, Panglima TNI Periode 2015-2017 sebagai clossing statement, Prof. Sri Edi Swasono (Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia), Brigjend (Purn) Hidayat Purnomo (Ketum Gerakan Bela Negara), Bachtiar Chamzah (Mantan Menteri Sosial) Ubedilah Badrun (Sosiolog Politik UNJ), dan Adhie Massardi Juru Bicara Presiden Gus Dur serta Hersubeno Arief, wartawan senior FNN sebagai moderator.
Menurut Bachtiar pengakuan presiden kontradiktif dengan kenyataan yang ada.
"Zaman PKI saya mengalami sejak sekolah. Saat di HMI saya merasakan sendiri bagaimana GMNI memusuhi," paparnya.
Upaya menghancurkan Monumen Lubang Buaya, kata Bachtiar jelas untuk menghilangkan bukti sejarah.
"Kalau PKI tidak dilawan maka kelak muslim Indonesia akan diperlakukan seperti Uighur. Saya heran kenapa TNI tidak bergerak institusinya dicap melanggar HAM berat," paparnya.
Sementara Adhie Massardi, Juru Bicara Presiden Gus Dur menyatakan bahwa Gus Dur pernah meminta maaf kepada Pramoedya Ananta Toer. Demikian juga sebaliknya Pramoedya Ananta Toer sudah minta maaf pada umat Islam.
Saat Gus Dur ditanya Pram, permintaan maaf atas nama siapa, pribadi atau NU, Gus Dur menjawab terserah atas nama siapa.
Gus Dur minta maaf pada Pramoedya Ananta Toer. Demikian juga Pram minta maaf. Atas nama pribadi atau NU, Gus Dur bilang terserah atas nama siapa.
Adhie menegaskan bahwa Permintaan maaf ini tidak bisa dikaitkan dengan ganti rugi oleh negara. Gus Dur kata Adhie menganggap Persoalan PKI tidak bisa diselesaikan.
"Persoalan yang tidak bisa diselesaikan kenapa dipaksa harus diselesaikan?," tegasnya.
Ubedilah Badrun lebih memilih persoalan PKI diselesaikan dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang berlandaskan pada UU 26 tahun 2000.
Jend Gatot Nurmantyo menegaskan bahwa masalah pelanggaran HAM mendapat perhatian serius dari intenasional. Indonesia sebagai negara anggota PBB yang mengakui perlindungan terhadap HAM tidak lepas dari sorotan dunia terhadap masalah pelanggaran HAM.
Sesungguhnya pemerintah Indonesia sudah sangat serius dalam menyelesaikan masalah pelanggaran HAM Berat UU No 39 tahun 1999 tentang HAM serta UU No. 26 tahun 2000 tentang Pelanggaran HAM
Masalah HAM kata Gatot telah menjadi suatu perhatian utama dan terjadi kepentingan global. Hal ini dibuktikan dengan adanya pengakuan terhadap nilai-nilai HAM dalam sejumlah konvensi.
"Sejak 11 tahun yang lalu anak keturunan PKI boleh berpolitik. Hari ini semua lini ada anak PKI. Yang ada di luar negeri boleh pulang. Tidak ada yang protes. Artinya telah terjadi rekonsiliasi secara alamiah. Mengapa diungkit-ungkit lagi," tanya Gatot.
Tak hanya itu, Soekarno sudah mengucapkan terima kasih kepada Soeharto karena telah mengamankan keluarga Bung Karno, pada saat Proklamasi Kemerdekaan ke 21.
Namun sekarang ada pengakuan dari presiden bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat.
"Presiden melakukan sebagai kepala negara bukan kepala pemerintahan. Dia tidak boleh melakukan sendiri tanpa persetujuan DPR. Pengakuan presiden berarti pelakunya negara. Siapa alat negara? Maka maksudnya ABRI (TNI Polri)," tegasnya.
Penyelesaian masalah itu kata Gatot, harus ada pelaku yang mengaku dan korban yang mengakui, lalu negara sebagai penengah.
Menurut Gatot bangsa Indonesia saat ini dalam bahaya. "Pelajaran Pancasila dan Sejarah Perjuangan Bangsa sudah tidak ada. Ilmu bumi juga sudah tidak ada. Apa yang bisa diharapkan dari anak muda untuk mencintai negaranya, wong wilayahnya saja gak tahu," paparnya.
Seharusnya lanjut Gatot, yang berbicara seperti ini adalah TNI aktif. Kelak, TNI akan dikucilkan dalam percaturan internasional karena melakukan pelanggaran HAM berat.
"Ini semua artinya pintu masuk kembalinya Partai Komunis di Indonesia. Umat Islam saat ini diperlakukan seperti tahun 1964-1965," pungkasnya (sws).