Anies dan Demokrasi Bau Amis

Perlahan tapi pasti, Anies mampu menjadi personal garansi untuk rakyat Indonesia dengan pelbagai prestasi dan penghargaan sebagai gubernur Jakarta.

Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI

ANIES Baswedan bukan orang kaya, Anies bukan dari partai politik, dan Anies juga bukan berasal dari oligarki. Anies hanya punya kesederhanaan, karakter, dan integiritas.

Semua faktor yang tidak masuk dalam kriteria pemimpin yang dilahirkan oleh demokrasi kapitalistik dan transaksional.

Masihkah ada tempat di republik ini bagi figur yang amanah, jujur, dan adil untuk memandu jalan keselamatan bagi Pancasila, UUD 1945, dan NKRI?

Anies memang fenomenal, ia menjadi pemimpin yang memiliki keunikan, tidak biasa dan sarat prestasi setelah Soekarno dan Soeharto. Anies pemimpin yang sebenarnya, yang tak luput dari pro dan kontra, banyak yang mencintainya, namun tak sedikit yang membencinya.

Anies telah menempuh jalan penderitaan, dipenuhi isu, intrik, dan fitnah meskipun terbatas memimpin Jakarta. Mungkin, seperti pepatah makin tinggi pohon semakin tinggi angin menerjang.

Anies dan keberhasilannya membangun ibukota negara itu, kini menapaki panggung politik nasional, menyambut aspirasi rakyat yang menghendakinya menjadi presiden. Tantangan terbesarnya bukan pada apresiasi dan persfektif politik kedaulatan rakyat, melainkan pada sistem demokrasi yang selama ini dijalankan.

Secara teori dalam aspek formal dan konstitusional, negara Indonesia memang menganut demorasi Pancasila, akan tetapi secara substansi dan esensi dalam penyelenggaraannya, jelas dan faktual mempraktekkan demokrasi neo liberal yang berisi pemilu kapitalistik dan traksaksional.

Demokrasi yang sangat bergantung pada kekuasaan dan kepemilikan modal, memang selalu bertolak belakang dengan keinginan suara rakyat. Sistem pemilu baik pileg, pilpres dan pilkada yang dikontol dan direkayasa oleh oligarki yang mewujud korporasi, partai politik dan birokrasi.

Mereka hanya menguntungkan segelintir orang yang menggengam kekuasaan, kelompok lingkaran dan irisannya.

Undang-undang dan regulasi yang selama ini mengatur teknis pelaksanaan pesta demokrasi rakyat yang mengusung amanat cita-cita kemerdekaan itu, menjadi terasa hambar, semu  dan cenderung menghianati kedaulatan rakyat.

Rekayasa, manipulasi dan kamuflase menjadi utama dalam konspirasi pemilu yang penuh kebohongan dan kejahatan itu. Bukan melahirkan pemimpin yang memiliki karakter dan integritas, pseudo demokrasi justru menghasilkan dinasti rezim korup, menindas, dan anti demokrasi yang hakiki.

Mulai dari parpol dan perpanjangan tangannya di lingkungan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kemudian menyasar pada ormas dan organisasi keagamaan, para pemimpin spiritual, intelektual, dan akademisi.

Hingga pada gerakan mahasiswa dan aktifis serta pelbagai komunitas kritis  perlawanan. Demokrasi yang glamor dan mewah itu, menjadi lumpuh terasa sekarat, lunglai oleh bujuk rayu jabatan, uang dan fasilitas lainnya.

Di tengah-tengah keniscayaan demokrasi, rakyat, negara, dan bangsa terus terpuruk karena krisis multidimensi yang menyelimuti seluruh aspek kehidupan.

Negara kaya tapi miskin, bangsa yang besar tetapi kerdil, berlimpah sumber daya alam tapi dalam kesengsaraan dan penderitaan karena tradisi korup dan terjerat utang, rakyat dan pemimpinnya mengagungkan Pancasila tapi terbiasa berperilaku penuh kebiadaban.

Kini, saat dunia dihantui gejala resesi ekonomi global. Indonesia yang sejak lama rentan dengan krisis dan salah urus dalam tata-kelola negara, terancam mengalami kebangkrutan nasional.

Distorsi yang akut secara personal dan sistem dalam pemerintahan serta kehidupan sosial di bawahnya, mengharuskan seluruh rakyat tanpa terkecuali mengambil langkah-langkah kongkrit penyelamatan negara dan bangsa Indonesia.

Tak cukup reformasi saat birokrasi dan institusi negara terlanjur diliputi penyakit mental materialistis begitu akut dan kronis. Pembenahan sumber daya manusia dan pembaruan sistem menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Politik uang, bagi-bagi kekuasaan dan merampok keuangan negara dengan cara konstitusional, tak boleh ada tempat lagi dalam pesta demokrasi. Kalau Ingin mendapatkan pemerintahan yang "clear and clean" serta negara yang merdeka dan bermartabat sesungguhnya, maka keinginan itu menjadi    disadari sebagai sesuatu yang  "to be or not to be".

Dalam demokrasi, rakyat harus berani mengambil sikap memilih kepentingan pragmatis sesaat atau kesinambungan dan untuk masa depan Indonesia sebagaimana negara ini awalnya didirikan.

Membangun Demokrasi Sehat

Keberanian sekaligus kejelian partai Nasdem mengambil momentum dari situasi politik nasional, saat mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capresnya dalam pilpres 2024, bisa dibilang sebagai bentuk kepeloporan dan titik awal pembangunan demokrasi yang sehat dan berkeadaban.

Sebagai salah satu bagian dari koalisi pemerintahan dan berada dalam lingkar kekuasaan, manuver Nasdem menggandeng Anies tak lepas dari kontroversi dan polemik.

Di satu sisi bisa dianggap sebagai penghianatan oleh kalangan rezim, tapi di sisi lain diapresiasi sebagai proses kematangan politik dan jiwa besar Nasdem. Dengan segala resikonya, Nasdem mampu keluar dari kemelut konflik kesadaran ideal spiritualnya dengan kesadaran rasional materialnya.

Nasdem berhasil mengambil pilihat sulit antara tetap menjadi “insider” dengan kue kekuasaan dan segala fasilitasnya, atau mengedepankan moralitas dan etika politik yang cerdas, visionerm dan bermartabat.

Pilihan sudah dijatuhkan, Anies dengan atitutte dan kesantunan dalam behaviornya, membuat Nasdem kepincut mengusungnya sebagai capres. Babak baru demokrasi yang sehat baru saja melangkahkan kakinya.

Anies yang seiring waktu menjadi figur magnet bagi keinginan dan harapan rakyat untuk menghadirkan negara kesejahtraaan, setidaknya dekat dengan  kemakmuran dan keadilan.

Perlahan tapi pasti, Anies mampu menjadi personal garansi untuk rakyat Indonesia dengan pelbagai prestasi dan penghargaan sebagai gubernur Jakarta.

Tidak sekedar maju kotanya dan bahagia warganya, kegemilangan Anies memoles Jakarta menjadi lebih baik sebagai kota modern dan humanis, membuat seluruh rakyat kepincut dan mulai meliriknya sebagai pemimpin masa depan.

Tidak terkecuali parpol yang secara fundamental dan signifikan melahirkan kepemimpinan nasional. Nasdem memang menjadi yang pertama, namun bukan yang terakhir mengusung Anies sebagai capresnya. Masih ada PKS dan Demokrat yang patut diduga jatuh hati pada Anies.

Rakyat akan menunggu PKS dan Demokrat melewati pergolakan batinnya,  memilih politik ideal atau politik realitas. Publik harap-harap cemas akan keberanian PKS dan Demokrat menjadi penjaga kemurnian demokrasi yang berkeadaban, mengikuti jejak langkah seperti yang sudah dimulai Nasdem.

Rakyat, negara, dan bangsa Indonesia, sepertinya akan memasuki masa-masa penentuan akankah demokrasi semakin tenggelam atau mulai bangkit kembali menemukan jatidirinya.

Kapitalisme yang selama ini menghidupi perjalanan demokrasi kita, akankah menemukan antitesa dari kesadaran rakyat dan elit pemimpin khususnya dari kalangan partai politik. Mungkinkah lahir partai politik pelopor penyelamat bangsa yang akan merubah wajah demokrasi.

Entah parpol sedang dalam kesadaran atau tidak, memahami atau tidak, atau mungkin juga sedang berkutat dalam pergumulan orientasi mau atau tidak mau melakukannya. Perjalanan masa depan Indonesia, dengan Anies sebagai nahkodanya, tinggal parpol yang menyediakan perahu besarnya.

Sementara Anies dengan segala jerih payah dari suka dan duka perjalanan kepemimpinannya, harus sabar dalam menyelami dan menggauli demokrasi yang masih terasa bau amis.

Dari catatan pinggiran labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan.

Bekasi Kota Patriot, 23 Oktober 2022/26 Rabi'ul Awal 1444 H. (*)

513

Related Post