Anwar Hudijono: Awards ini Saya Dedikasikan untuk Pak Jakob Oetama

Dari kiri ke kanan. Ketua PWI Jatim Lutfil Hakim, Wakil Ketua PWI Pusat Ahmad Munir, dan Annwar Hudijono

Surabaya, FNN – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur memberikan Awards (penghargaan) kategori Tokoh Pers Daerah kepada Anwar Hudijono, wartawan senior. Awards  diserahkan dalam puncak acara Hari Pers Nasional Jawa Timur di taman Wisata Bahari Lamongan (WBL),  Sabtu (26/3/2022).

Anwar Hudijono dinilai sebagai jurnalis senior yang memiliki komitmen tinggi pada persoalan keumatan, sosial, budaya, serta politik. Dia masih aktif menuangkan ide dan pikirannya melalui tulisan yang dimuat di berbagai media hingga saat ini.

“Mas Anwar sangat layak menerima awards ini,” kata Ahmad Munir, Wakil Ketua PWI Pusat yang menyerahkan awards.

Anwar mengatakan, sangat bersyukur atas awards ini. “Sudah hampir 40 tahun saya menempuh jalan pena. Di saat mendekati ujung akhir perjalanan, awards ini adalah energi baru agar saya terus menulis sebagai sedekah ilmu. Mudah-mudahan jadi imu yang bermanfaat sehingga pahalanya akan terus mengalir ketika saya sudah berada di alam barzah,” katanya.

“Awards ini saya dedikasikan kepada mentor jurnalistik saya yaitu almarhum Bapak Jakob Oetama, pendiri Kompas, dan Bapak Valens Goa Doy, pendiri Persda. Juga kepada tiga tokoh yang mempercayai saya menulis biografinya. Yaitu Prof Abdul Malik Fadjar MSc, Prof dr Sam Soeharto, dan Ir Edy Antoro. Dan untuk sahabat saya yang mantan Walikota Kota Batu, Eddy Rumpoko,” katanya.

Budi Bola dalam tulisannya di Majalah Prapanca edisi Maret 2022 menarasikan, “Sosok wartawan lengkap melekat pada diri jurnalis senior ini. Visi bagus, kinerja di lapangan saat liputan trengginas, tulisan mengalir indah dan dinikmati pembaca, selalu mengiringi hasil kerja Anwar Hudijono.”

Tak hanya itu saja. Untuk urusan komunikasi, lanjut Budi, dia juga dikenal mudah akrab dan egaliter. Jangan heran pula bertahun-tahun namanya selalu melekat dalam sejarah dunia kewartawanan, terutama di Jawa Timur.

Bisa jadi, tautan sejarah kewartawanannya yang kental mengalir di tubuh Anwar dipacu pendidikannya di Pendidikan Guru Agama (PGA). Tantangan dunia kewartawanan makin dipupuk  seiring pilihan pendidikan terakhirnya di Jurusan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) IKIP Malang.

Menulis Sejak PGA

Anwar memang belajar menulis di media saat sekolah Di PGA Atas Mujahidin Surabaya. Dia dibimbing kakak iparnya, H Anshary Thayib yang pernah menjadi Ketua PWI Jatim dan anggota Komnas HAM. Salah satu tulisannya saat awal menulis berjudul “Mahdiisme dan Protes Sosial” yang dimuat di Majalah Pendidikan Agama (MPA) tahun 1979. Tulisan ini bikin heboh.

Bakat menulisnya sudah terlihat sejak sekolah di Madrasah Ibtidaiyah (MI) AL Islam Mojorejo, Caruban Madiun yang didirikan ayahandanya, Guru Soeroya. Semakin kelihatan saat sekolah di PGA Al Islam Mojorejo, Caruban.

Dia memang lahir di desa itu tanggal 22 Juni 1960. Ia putra nomor 8 dari 9 bersaudara pasangan Guru Soeroya dengan Hj Sri Subitah. KakakNya yang nomor 6 adalah Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy.

Pada saat kuliah dia aktif menulis artikel di koran kampus Komunikasi, di koran Surabaya Post, Jawa Pos, Pelita. “Saat itu selain untuk mengasah talenta, juga untuk cari uang tambahan biaya kuliah hahaha,” katanya mengenang.

Wartawan Kompas

Selagi kuliah tinggal satu semester, Anwar bekerja sebagai wartawan Kompas tahun 1984. Akhirnya kuliah baru dia selesaikan tahun 1986. Saat menjadi wartawan Kompas dia menggunakan inisial Ano. Ia pensiun tahun 2012.

Dia mendapat  tugas dari Kompas untuk merevitalisasi tabloid Surya menjadi koran harian bersama seniornya, Valens Doy dan Max Margono. Tahun 2003-2004 dia menjadi Pemimpin Redaksi Surya. Dia juga ditugaskan menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Sriwijaya Post Palembang tahun 1990-1991 dan Wapemred Bernas Jogja tahun 1994-1995.

“Tulisan-tulisan Ano juga menjadi semacam guarantee, jaminan, laporan suatu kejadian enak dan nikmat dibaca,” tulis Budi.  Terbukti ayah empat orang anak hasil pernikahannya dengan Tri Sulistyowati itu, tulisannya kerap membukukan prestasi terbaik. Keempat anaknya adalah Agastya Suryogilang, Ahistya Purbolintang dan kembar Al Uyuna Galuh Cintania dan Al Uyuna Galuh Cantika.

Bahkan ada semacam peribahasa di kalangan wartawan Jawa Timur, gelar terbaik Piala Prapanca yang digelar PWI Jatim ‘pasti’ diraih jika Ano mengirimkan tulisannya. Hingga kini Ano masih memegang rekords  juara 5 kali Piala Prapanca untuk kategori karya tulis.

Menulis Buku

Ano adalah penulis produktif. Paling tidak sejumlah buku hasil tulisannya sudah menjadi bukti otentik. Di antaranya “Gardu Refleksi Sosial Menuju Kehidupan yang Demokratis” (terbit tahun 2004). “Darah Guru Darah Muhammadiyah Perjalanan Hidup A Malik Fadjar” (ditulisan bersama Anshary Thayib 2006). “Republik Agro Perjalanan Hidup Edy Antoro” (2014). “Antara Mikrobiologi dan Mikropolitik Perjalanan Hidup Sam Soeharto (2015). “Geliat Kota Wisata Batu Periode Krusial Tahun 2007-2012" (2012). 

Banyak lagi tulisannya yang dibukukan bersama penulis lain dalam bunga rampai. Misalnya buku “Hunian Ternyaman Kumpulan Cerpen Terbaik Lomba Sastra Aksara 2016” (Editor, Ismet Fanany dkk 2016). “Politik Indonesia Kini Potret Budaya Politik Hingga Dinamika Pilkada” (Editor Abdul Aziz Sr 2019). “Perempuan-perempuan Tangguh Suar yang Tak Pernah Padam” (Editor Budi Suwarna dkk 2021). “Republik Salah Kelola Indonesia dalam perspektif Politik” (Editor Abdul Aziz Sr 2021).

“Pak Jakob dawuh eksistensi wartawan baru lengkap jika sudah menulis buku. Itulah yang juga memberikan inspirasi dan spirit saya. Insya Allah saya akan menulis buku tentang Zaman Gelap dalam perspektiF Eskatologi Islam,” kata Ano.

Setelah pensiun, dia sempat menjadi Koordinator Lembaga Sensor Film (LSF) Jatim tahun 2017-2021. “Di usia menjelang  umur 62 tahun, tulisan-tulisan indah Ano masih banyak  dinikmati sedikitnya di 16 media daring,” tulis Budi. Ditambahkan, sosok ini juga memiliki slot tetap sebagai narasumber di media televisi seperti TVRI Jatim. (*/mth)

439

Related Post