Arah Demo dan Demokrasi Indonesia
Oleh Ridwan Saidi, Budayawan
MELIHAT posisi partai oposisi vis a vis partai pendukung pemerintah 1 - 8, juga memperhatikan proses pembahasan RUU, terutama RUU IKN, yang mulus. Sebaiknya DPR jangan mencontoh DPR Gotong Royong tahun 1960 pengganti DPR hasil Pemilu 1955 yang dibubarkan. DPR Gotong Royong, atau Gotro, dibentuk untuk kurun waktu yang tak jelas. Sampai akhirnya harus bubar karena terbit Orde Baru 1966.
Semangat merombak UUD 45 asli demi demokrasi belum tercermin pada lembaga-lembaga tinggi negara. DPR dan MPR Orde Baru mendengar suara rakyat pada kasus RUU Perkawinan 1973/1974 dan konsep NKK/BKK Mendikbud Daoed Jusuf. MPR 1978/79 mendengar suara fraksi non pemerintah dan suara rakyat dalam kasus Aliran Kepercayaan. Pimpinan DPR 1998 lebih menarik lagi, bulan Maret desak Pak Harto jadi Presiden lagi, bulan Mei-nya minta Presiden Suharto mundur.
Tendensi demo pada akhir2 ini cukup menarik. Di Jakarta massa yang bergerak ratusan saja dan didominasi emak-emak. Di kementerian tertentu mereka berbicara monolog di ruang kantor karena Mentri terkait tidak di tempat. Atau mereka orasi depan Kementerian, juga KPK. Dalam sehari kadang2 pendemo bergerak ke tiga titik sasaran.
Kekuatan demo pada sosialisasi via sosmed, atau jumpa pers.
Laporan dugaan korupsi dengan pejabat sebagai terduga, atau bisa saja terduga yang dilaporkan itu punya nasab pembesar, sangat menarik dan punya pengaruh dalam pembentukan opini.
Ini pendemo kreatif yang kaya dengan improvisasi. Model demo tergolong Jazzy, dalam perumpamaan musik.
Apa pengaruhnya bagi the existing government? Pemerintah sendiri yang paham. Sebab tokoh seperti Ubedillah Badrun sudah masuk pemberitaan Internasional berikut kasus yang dilaporkan.
Duet Haris Azhar dan Fatya tak kalah menariknya.
Babé Aldo dan Muslim Arbi orator yang bagus. Semoga performance dan etika yang baiik dapat dijaga. (*)