Awas, Sinyal Utang Mendekati Lampu Merah

LEBIH besar pasak daripada tiang, itulah pepatah yang representatif untuk menggambarkan kondisi utang pemerintah Indonesia saat ini. Akankah kita sebagai negara bisa sustain dengan tumpukan utang yang kian meninggi setiap tahunnya?

Tengok saja posisi utang pemerintah pada Desember 2020 sebesar Rp6.074,56 triliun, sebuah realitas utang yang amat besar. Artinya sepanjang tahun 2020 pemerintah menciptakan utang baru sebesar Rp1.257 triliun jika dibandingkan dengan posisi utang Januari 2020 yang sebesar Rp4.817,5 triliun. Sungguh luar biasa.

Jika ditelusuri lonjakan utang terbesar di bulan November 2020 yakni sebesar Rp136,92 triliun. Dengan demikian, maka rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 38,68%.

Narasi apa yang bisa dijelaskan Menkeu Sri Mulyani Indrawati terkait lonjakan utang yang fantastis tersebut? Menkeu berpendapat posisi Indonesia masih relatif cukup hati-hati dengan rasio utang 38,68% tersebut. Dia memperkirakan utang Indonesia akan mendekati rasio 40% dari PDB, namun utang Indonesia masih relatif dalam posisi yang cukup hati-hati atau prudent.

Alasannya, rasio utang pemerintah di negara-negara lain terhadap PDB jauh lebih besar ketimbang Indonesia. Bahkan, ada beberapa negara yang rasio utang pemerintahnya melampaui PDB. Misalnya untuk negara maju yakni Amerika Serikat (AS) sekitar 103%, dan Prancis lebih 118%. Lalu, beberapa negara maju lainnya juga memiliki rasio utang yang cukup besar terhadap PDB seperti Jerman 72%, China hampir 66%, dan India mendekati 90%.

Lalu untuk negara-negara di ASEAN seperti Thailand 50%, Filipina 54,8%, Malaysia 66%, dan Singapura yang melampaui PDB yakni 131%.

Selain itu, menurutnya pemerintah mengutamakan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan kebijakan, sehingga kontraksi ekonominya cukup moderat. Lalu, defisit APBN 2020 6,09% jauh lebih kecil dibandingkan negara lain yang di atas 10% seperti AS yang mendekati 15%, dan Prancis 10,8%.

Ini artinya apa? Negara-negara ini hanya dalam satu tahun utang negaranya melonjak lebih dari 10%, sementara Indonesia tetap bisa terjaga di kisaran 6%.

Argumentasi Menkeu Sri ada benarnya, tapi seharusnya posisi utang pemerintah juga dilihat dari beban bunga terhadap pendapatan negara. Rasio utang pemerintah terhadap PDB memang di bawah banyak negara maju. Tapi utang pemerintah itu juga harus dilihat dari berapa rasio beban bunga. Menurut IMF yang baik adalah maksimal 10% dari pendapatan negara. Rasio beban bunga utang Indonesia sudah 19,2% dari pendapatan negara (termasuk PNBP) pada 2020. Kalau dari penerimaan pajak, rasio beban bunga utang sudah capai sekitar 25%.

Saat ini, beban bunga dari utang pemerintah sudah sangat besar. Jadi berdasarkan tambahan tolak ukur ini, maka utang pemerintah Indonesia sudah sangat tinggi sekali. Meskipun rasio utang terhadap PDB masih di bawah 60%.

Alasan lain yang perlu dilihat, angka utang pemerintah apabila dilihat dari kemampuan bayar utang atau debt service ratio (DSR) sudah hampir lampu merah. DSR tier I Indonesia terus naik melebihi 25%, padahal negara seperti Filipina cuma 9.7%, Thailand 8% dan Meksiko 12.3%. Dengan melihat perbandingan DSR maka bisa dikatakan utang sudah jadi beban dan kemampuan bayar berkurang. Ini bisa dikatakan lampu kuning sudah hampir lampu merah.

Di sisi lain, rasio utang pemerintah terhadap PDB tidak bisa dibandingkan dengan negara-negara maju seperti AS, Prancis, Jerman, Singapura, dan sebagainya. Ini ibarat membandingkan mobil Esemka dengan Mercy, BMW, Lexus, atau bahkan pesawat Airbus, tentu tidak apple to apple. Apalagi posisi Indonesia turun kelas menjadi negara berpendapatan menengah ke bawah. Indonesia cocoknya dibandingkan dengan sesama negara berkembang.

Dari porsi utang pemerintah lebih besar dialokasikan untuk belanja pegawai dan belanja barang. Hal itu tentu saja akan menurunkan produktivitas. Kalau beban utang terus meningkat, sementara belanja di sektor produktifnya kalah dengan belanja birokrasi seperti belanja pegawai dan belanja barang.

Tugas pemerintahan ke depan tentu akan semakin berat, karena harus mencari penerimaan lebih besar dan itu hanya dapat ditempuh dengan menerbitkan utang baru. Utang yang bertambah namun produktivitas menurun, itu artinya pemerintah hari ini mewarisi beban ke generasi masa depan, generasi milenial dan generasi Z dari tumpukan utang yang amat besar.

Hal lain yang cukup memprihatinkan, di tengah rating utang pemerintah yang lebih baik dari Filipina, Thailand dan Vietnam, harusnya bunga utang kita 1% hingga 2% bisa lebih murah. Nyatanya, bunga utang Indonesia 2% hingga 3% lebih tinggi, sehingga akan menjadi warisan bunga utang yang akan melilit leher generasi masa depan, generasi milenial, generasi Z.

Apakah kita akan sanggup mengatasi permasalahan utang ini? Kalau pemerintah yang berjalan sudah dapat dipastikan tidak, bahkan pemerintahan yang berjalan menjadi beban anak cucu bangsa. Diperlukan generasi yang menjadi solusi atas permasalahan utang ini.

698

Related Post