Belajar dari Semeru

Oleh: Yusuf Blegur

Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Turut berduka yang sedalam-dalamnya atas musibah meletusnya gunung Semeru di kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Bangsa Indonesia kembali berduka, karena peristiwa alam yang merenggut jiwa dan harta benda, khususnya warga di kawasan gunung tertinggi di Pulau Jawa tersebut. Sekali lagi, bukan hanya kesalahan yang disebabkan oleh ulah manusia, seketika alam pun dapat menunjukkan eksistensinya. Memuntahkan kemarahannya, menghukum dan membuat manusia menderita tak berdaya. Gunung dengan puncaknya Mahameru setinggi 3676 m dari permukaan laut itu tidak sekadar fenomena alam yang hanya bisa dilihat dari tinjauan vulkanologi. Sesungguhnya ada kekuatan yang menggerakkan alam dan menegaskan, betapa manusia dan seluruh makhluk hidup begitu lemah juga rapuh bagai butiran debu di hadapan Sang Pencipta. Kekuasaan Tuhan Yang Maha Menghidupkan dan Mematikan, Yang Maha mengadakan dan meniadakan.

Di tengah keprihatinan hidup yang menyelimuti seluruh rakyat Indonesia dalam menjalani kehidupan bernegara dan berbangsa, Indonesia kembali mengalami bencana meletusnya gunung berapi. Seakan tak cukup terpuruk karena gonjang-ganjing ekonomi dan politik. Rakyat dipaksa pasrah menerima musibah dari dahsyatnya aksi dan pergerakan alam.

Semburan awan debu dan lahar panas gunung seakan mengikuti rangkaian unjuk rasa alam. Mulai dari kebakaran hutan, tanah longsor, banjir bandang dan semua fenomena iklim ekstrim yang menakutkan. Rakyat Indonesia belakangan dihadapkan pada ganasnya alam bahkan saat kepedihan dari pandemi belum berlalu. Bangsa Indonesia seakan sedang menuju titik puncak pada distorsi relasi antar sesama, dengan alam semesta dan terhadap Tuhan.

Kerusakan, kehancuran dan kematian terus membayangi kehidupan rakyat Indonesia di setiap tempat dan waktu. Bukan saja terdampak dalam urusan fisik materil semata, bahkan penyalahgunaan dan penyimpangan juga terjadi pada hal-hal yang trasedental. Rakyat Indonesia tak cukup terus digelayuti potensi bencana alam. Sebagian besar rakyat juga mengalami erosi keagamaan. Di satu sisi nafsu memiliki kebendaan dan menguasai apa yang ada disekitarnya begitu tinggi. Di lain sisi manusia telah melupakan apa yang hakiki yang telah diamanatkan Tuhan. Keserakahan dan kegilaan pada dunia telah dalam merasuki jiwa manusia. Kegagalan membangun keseimbangan dan keharmonisan akal dengan keimanan. Membuat manusia tak berhenti mengalami musibah. Mungkin inilah jawaban Tuhan atas kufur nikmat manusia selama ini. Tak mudah bersyukur terhadap rahmat Allah. Mengingkari dan mendustakannya. Sepanjang manusia mengalami pergeseran aqidahnya.

Sebuah Isyarat

Kesombongan manusia dengan penguasaannya pada dunia, sampai-sampai mengabaikan apa yang menjadi petunjuk dari kalam Ilahi. Membuat manusia semakin larut dari semrawutnya dunia yang fana. Pembangkangan terhadap Tuhan terus mewujud dalam perilaku dzolim manusia pada dirinya sendiri dan kepada sesama. Tak hanya sampai disitu, manusia juga mengusik alam dan menista Tuhannya. Demi memuaskan keinginannya, ia rela mengubur agamanya.

Tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Tuhan terus meredup. Seiring meluap-luapnya syahwat kenikmatan dunia atas harta dan jabatan. Manusia kerapkali menganggap remeh pada kematian yang sejatinya menjadi nasehat terbaik. Lupa diri dan mabuk saat dalam kesenangan. Namun merintih-rintih dan iba saat dalam penderitaan. Kebanyakan hanya berdoa dan ingin menghadirkan Tuhan tatkala dirundung masalah dan kesulitan hidup. Pengakuan dan penyerahan diri kepada Allah azza wa jalla hanya muncul ketika dihinggapi rasa sakit yang teramat berat dan perih.

Mungkin ini belum selesai, sejauh kemunkaran masih merajalela. Selama manusia enggan menegakkan kebenaran. Saat keadilan terus dipermainkan, saat itu juga siksa pedih terus mengintai. Menunggu azab yang tak terkira, yang tak pernah terpikirkan dan tak pernah dibayangkan sekalipun. Betapa hinanya manusia merebut kesombongan yang menjadi pakaian Allah subhanahu wa ta'ala. Allah masih tetap memberi kesempatan selama hidupnya. Allah masih menebar rahmatNya. Begitulah Allah yang Ar-Rahman Ar-Rahim.

Bagaimana pun Allah belum memberikan hukuman yang sesungguhnya seperti dalam alam hisab. manusia layak untuk menangkap isyarat-isyaratnya. Sebagaimana Al Quran yang telah dihadirkan memberikan petunjuk dan pembeda dalam kehidupan di dunia. Seandainya saja Kitabullah menjadi sebenar-benarnya landasan bagi umat manusia dalam kehidupannya. In syaa Allah, manusia akan tetap berada di jalan keselamatan dan terhindar dari jalan kesesatan.

Semeru pada hakekatnya, hanyalah sebagian kecil dari kekuasaan Allah Yang Maha Besar lagi Maha Perkasa. Semeru juga menjadi isyarat betapa kecil dan tak berartinya manusia dihadapan Allah. Manusia meski congkak, namun tetap diperlihatkan berulang-ulang pada kekuasaan sejati . Seperti Allah yang sedang berseru, tunduklah manusia dihadapan Allah dan janganlah manusia melampaui batas.

Dari Semeru, dengan segala lirih yang menyayat dan kedukaannya. Indonesia bisa belajar banyak hal dan membangun keinsyafan. Bersujud dalam taubatan nasuha. Belajar dengan sebaik-baiknya tentang kemanusiaan, belajar tentang alam semesta dan belajar pada kekuasaan Allah Ya Karim.

Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.

297

Related Post