Belum Dimakzulkan Investor Sudah Lari Duluan

Presiden Jokowi masih segar bugar alias belum ada tanda-tanda kena pemakzulan. Apesnya, satu per satu investor sudah hengkang duluan.

Oleh Dimas Huda - Wartawan Senior FNN

MENTERI Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, pantas kecewa berat plus cemas. Investor beberapa proyek migas tanah air hengkang. Arifin Tasrif mesti mencari penggantinya. 

Chevron cabut dari proyek  Indonesia Deepwater Development atau IDD. Sudah begitu, Shell juga melepas kepemilikan hak partisipasi sebesar 35% di Blok Masela.

Pada 5 Mei 2023, Arifin menjanjikan pengganti investor yang hengkang pada awal Juni. "Keputusannya insyaAllah akhir Mei jadi berita bagusnya nanti awal Juni," ujar Arifin. Namun sejauh ini, apa yang dijanjikan itu tak ada kabar beritanya. 

Sekadar meningatkan, Jokowi memiliki sejumlah proyek prioritas yang disebut Proyek Strategis Nasional (PSN). Daftar proyek strategis ini  tertuang dalam Perpres No. 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

Proyek itu banyak mengalami masalah. Sejumlah investor asing satu per satu memutuskan untuk sayonara dari proyek "kebanggaan" Presiden Jokowi tersebut. Mereka yang hengkang itu anara lain investor sektor minyak dan gas bumi (migas) maupun petrokimia.

Nah, PSN yang ditinggalkan investor itu antara lain IDD dan Blok Masela.

Chevron Indonesia Company (CICO) nagcir dari Proyek IDD di Kalimantan Timur. Dalihnya, tidak ekonomis.

Proyek IDD terdiri dari dua proyek hub gas yang akan dikembangkan yakni Gendalo dan Gehem hub. Proyek ini awalnya direncanakan dapat beroperasi pada 2025 namun sudah pasti bakal mundur, entah sampak kapan.

Mestinya, proyek IDD cukup menarik untuk dikembangkan. Produksi gas dari sini diperkirakan bisa mencapai 844 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) dan 27.000 barel minyak per hari (bph).

Selanjutnya, PSN lan adalah proyek Lapangan Abadi, Blok Masela di Maluku. Ini juga ditinggalkan investor. Shell memutuskan pergi dari proyek ini. Perusahaan asal Belanda itu menjual kepemilikan hak partisipasi (Participating Interest/ PI) 35%.

"Tiba-tiba dia kabur, padahal sebelumnya tidak ada tanda-tanda kaburnya. Sesudah disetujui PoD baru kabur, kan dia mikir wah nilainya bisa ini (besar) kan," ujar Arifin mengungkapkan kekecewaannya.

Blok Masela diperkirakan memiliki potensi produksi 1.600 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) gas atau setara 9,5 juta ton LNG per tahun (mtpa) dan gas pipa 150 MMSCFD, serta 35.000 barel minyak per hari.

Proyek ini dikatakan "raksasa" karena diperkirakan akan menelan biaya hingga US$19,8 miliar. Pengelola blok ini baik Inpex dan mitranya nantinya akan membangun Kilang Gas Alam Cair (LNG) di darat.

PSN lainnya yang ditinggalkan investor asing adalah proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) dan metanol. Investor yang cabut tersebut yaitu Air Products and Chemicals Inc.

Perusahaan petrokimia asal Amerika Serikat ini memilih tidak lagi melanjutkan dua proyek gasifikasi batu bara di Indonesia. Pertama, terkait proyek DME sebagai pengganti LPG di Tanjung Enim. Mulanya Air Products bekerja sama dengan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Pertamina (Persero). 

Kedua, proyek gasifikasi batu bara menjadi metanol dengan perusahaan Group Bakrie, di mana batu bara akan dipasok dari PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin Indonesia.

Apa alasannya? Arifin Tasrif menduga itu karena Air Products fokus menggarap proyek hidrogen di Amerika Serikat, menyusul adanya subsidi dari pemerintah untuk pengembangan proyek energi bersih.

"Ada proyek yang lebih menarik ke sana untuk hidrogen, karena Amerika lagi mendorong untuk pemakaian itu," ungkap Arifin.

Lain lagi analisa Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin. Saat ia menjabat sempat mengatakan bahwa salah satu pemicu hengkangnya Air Products dari PSN ini adalah dikarenakan tidak adanya titik temu untuk nilai keekonomian dan juga model bisnis antara Air Products dengan konsorsium.

IKN Nusantara 

Proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara juga terancam gagal. Softbank Group mundur dari proyek ini. Awalnya Softbank berencana menanam investasi hingga US$100 miliar lalu turun menjadi US$4 miliar, hasilnya mundur dari proyek tersebut.

Founder dan CEO Softbank, Masayoshi Son, dipastikan tidak lagi menjadi bagian di dewan pengarah pembangunan IKN. Selain Masayoshi, dewan pengarah diisi oleh Putra Mahkota Abu Dhabi Sheiks Mohamed Bin Zayed (MBZ), dan Mantan Perdana Menteri Inggris periode 1997-2007 Tony Blair. Kini Masayoshi hengkang. Posisi Masayoshi di dewan pengarah pun dicoret.

Mundurnya Softbank jelas menjadi pukulan telak bagi proyek IKN. Tak mudah menarik investor di proyek ini. Belakangan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, bertekat mendekati Abu Dhabi dan Riyadh. Namun itu baru angan-angan. 

Alasan kenapa SoftBank batal berinvestasi di IKN Nusantara karena Arab Saudi tidak lagi berinvestasi di SoftBank Vision Fund.

Softbank Vision Fund diluncurkan pada 2017 dan didukung oleh Arab Saudi dalam penghimpunan dana tahap pertama, namun di tahap kedua Arab tak lagi ikut. Selain Arab Saudi, Abu Dhabi juga tidak lagi menempatkan dananya ke Softbank Vision Fund.

Oleh karena itu, Luhut akan melakukan pendekatan kepada Arab Saudi agar negeri itu berinvestasi langsung di Indonesia. "Dana dari yang tadinya ke SoftBank itu dana vision keduanya itu nggak jalan, US$100 miliar itu, ya itu yang kita coba ambil sekarang dari MBS, dari Saudi dan dari Abu Dhabi," ujar Luhut.

Luhut sudah melakukan pendekatan dengan Putra Mahkota Arab Saudi Muhammad bin Salman bin Abdulaziz al-Saud. Selain itu juga melakukan pendekatan kepada Abu Dhabi. Hasilnya, zonk. 

Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira, berkomenar ada beberapa faktor yang menyulitkan pemerintah menarik investasi, terutama dari Arab Saudi.

Pertama, pascamundurnya Softbank, banyak investor yang ragu berinvestasi di IKN karena belum jelasnya proposal teknis dan jaminan penduduk IKN dalam jangka panjang. 

Kedua, Arab Saudi tengah mendorong kembali investasi di sektor minyak dan gas (migas) karena momentum tingginya harga minyak mentah di pasar global. 

Ketiga, sandainya negara tersebut tertarik berinvestasi di negara lain perlu dijamin keselarasan dengan visi Arab Saudi 2030 yang masuk ke green energy, teknologi, dan pertanian. 

“IKN tidak cocok dengan visi tersebut, apalagi dalam proses pembebasan lahan IKN rentan konflik dengan keberlanjutan lingkungan hidup,” katanya.

Keempat, porsi investasi asal Arab Saudi sejauh ini sangat kecil dan cenderung turun dalam 10 tahun terakhir.(*)

647

Related Post