Bersama Anies Tanpa Indonesia Menangis
Telah menjadi milik seluruh anak bangsa, Anies memenuhi dahaga melepas kerinduan rakyat akan pemimpin sejati. Pemimpin yang respek, menghormati dan menghargai rakyatnya. Mampu merangkul perbedaan dari kebhinnekaan dan kemajemukan bangsa. Terbukti telah bekerja nyata, bukan citra apalagi sekedar retorika.
Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI
BAGAI lilin kecil di gelap malam-malam gulita. Redup lemah hampir-hampir tiada daya. Sesungguhnya walaupun sedikit kau berarti, bagi mata hati dalam buta meraba.
Seperti itulah perumpamaan kehadiran Anies Baswedan, berjibaku melawan kejahatan bersama dan kehancuran sistem. Bersama rakyat, Anies tertantang dan akan membuktikan, bagaimana layaknya dan sebenarnya bernegara.
Anies hanya sebagai Gubernur DKI Jakarta, akan tetapi manfaatnya terasa ke seluruh Indonesia. Bukan hanya kebijakan pembangunannya yang memang tak mampu mencapai ke pelosok nusantara. Bukan juga kewenangannya yang memang terbatas ruang dan waktu, tidak mengalir hingga ke daerah-daerah terpencil.
Namun, kerja nyata dan prestasinya membuat decak kagum setiap mata yang melihat dan setiap telinga yang mendengarnya. Kabar-kabar keberhasilannya tersebar dari mulut ke mulut, menelusuri negeri dari Sabang hingga Merauke. Ruang media sosial tak pernah sepi membicarakan pesonanya, seluruh jemari bergerak mengutip dan menyebarkan asa kebaikan negeri dalam personalnya.
Bagai hujan sehari menghapus kemarau panjang setahun, begitulah wujud kehadiran Anies usai mengemban amanat sebagai Gubernur Jakarta yang eksistensinya semakin didamba. Warga Jakarta terasa puas dan semangat menyampaikan ucapan terimakasih dan apresiasinya.
Kemajuan kotanya dan kebahagiaan warganya, seakan ingin ditularkannya ke seantero negeri, tak cukup berhenti hanya sampai di Jakarta. Rakyat antusias mengabarkannya, menyebarkan kebaikan figur pemimpin yang sederhana dan bersahaja, namun gilang-gemilang karyanya.
Letih berurai keringat, darah, dan nyawa, rakyat begitu peluh merindukan figur pemimpin yang melindungi dan melayani. Terlalu lama makan janji dan kenyang dengan mimpi-mimpi. Rakyat begitu menderita karena didera hidup dalam tekanan dan rutin dieksploitasi.
Bukan kejujuran yang memandu, namun kebohongan yang beraksi saban hari. Bukan pemimpin yang mengayomi, negeri semakun ironi karena kiprah pejabat dan politisi tanpa nurani.
Krisis kepemimpinan, seperti tanpa pemerintahan dan cenderung menjadi negara gagal. Fakta dan realitas itulah yang telah lama dirasakan rakyat. Tahun-tahun panjang penuh nestapa, rakyat banyak menanggung beban dari dosa-dosa kalangan durjana pengelola negara.
Harapan terbesit dari suasana Jakarta. Meninggalkan jejak pemimpin yang bijak dan berwibawa. Cerdas, bersih, dan santun, menyalip maraknya isu, intrik, dan fitnah. Kesalehan sosialnya mampu menepis badai sikap kebencian dan permusuhan.
Ia tak punya waktu untuk meladeni suara nyinyir dan julid. Ia dituntun oleh semangat menunaikan amanah, dan totalitas pengabdian diri untuk negeri. Dikenal, dibela, dan dicintai, begitulah pemilik nama lengkap Anies Rasyid Baswedan mendapat perlakuan rakyat.
Telah menjadi milik seluruh anak bangsa, Anies memenuhi dahaga melepas kerinduan rakyat akan pemimpin sejati. Pemimpin yang respek, menghormati dan menghargai rakyatnya. Mampu merangkul perbedaan dari kebhinnekaan dan kemajemukan bangsa. Terbukti telah bekerja nyata, bukan citra apalagi sekedar retorika.
Memang tak terbantahkan dan sudah menjadi rahasia umum. Bahwa Negara sejahtera, di mana kemakmuran dan keadilan bukan hal mudah, tetapi juga bukan mimpi. Kehadiran Anies dan karyanya, secara perlahan namun pasti menuntun rakyat mewujudkan keinginan para “the founding fathers” dan cita-cita proklamasi kemerdekaan itu.
Anies yang rendah hati, juga Anies yang berbudi pekerti dan dengan segudang prestasi. Berangkat dari Jakarta menjejaki seluruh negeri, siap menghapuskan derita setiap anak bangsa.
Terimakasih Jakarta dan kini Indonesia memanggil, terasa tepat ditujukan ke Anies. Sepertinya rakyat boleh bangga dan berbesar hati karena boleh jadi pada waktunya, bersama Anies tanpa Indonesia menangis.
Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan.
Bekasi Kota Patriot, 31 Oktober 2022/5 Rabi'ul Akhir. (*)