Bikin Kaget, Setelah Anies, Kompas Ikut Jadi Antitesa Jokowi
Jakarta, FNN - Litbang Kompas kembali merilis hasil survei yang membuat masyarakat kaget. Setelah sebelumnya Kompas membuat kekacauan dengan membandingkan satu pletora agama dan pletora politik, kini Kompas mendeskripsikan bahwa pengaruh Jokowi terhadap calon presiden yang didukungnya ambyar.
Demikian benang merah yang bisa ditarik dari perbincangan Hersubeno Arif, wartawan senior FNN dengan pengamat politik Rocky Gerung dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Selasa, 15 November 2022.
Mereka membahas soal konstelasi dalam negeri berkaitan dengan publikasi hasil survei Litbang Kompas. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa ternyata angka endorsement dari Pak Jokowi itu atau presiden yang didukung oleh Pak Jokowi hanya dipilih oleh 15,1% pemilih, sementara yang menolak itu 30,1%. Jadi 100% lebih yang menolak. Ketika ditanyakan pada Bung Rocky ini tanda-tanda apa, Bung Rocky menjawab, “Ini tanda-tanda bahwa endorsement power dari Pak Jokowi sudah nggak ada. Kan selalu presiden di ujung jabatannya dia ingin mewariskan, melanjutkan, yang disebut continuity, tetapi ternyata change-nya lebih banyak. Tapi tetap tanda pertama bahwa daya pengaruh dan daya assesmentship Jokowi sudah tidak ada. Sebagai ada orang yang justru di ujungnya dianggap masih mampu untuk dimintakan sisa-sisa tenaga untuk diwariskan, itu ternyata nggak. Jadi percuma kalau nanti orang datang lagi ke Pak Jokowi, minta restu segala macam, nggak ada gunanya. Jadi sebetulnya kesimpulan saya, satu tadi endorsement-nya berhenti; yang kedua orang butuh antitesis sebetulnya dalam politik. Nah, yang paling harus saya pastikan apakah Kompas sudah jadi antitesis Jokowi juga?”
Seperti sudah dibahas sebelumnya bahwa kemarin Kompas membuat kekacauan, lalu orang protes, mengapa Kompas membandingkan satu pletora agama dan pletora politik. Naik haji nggak ada hubungannya dengan keharusan membantu orang miskin. Membantu orang miskin adalah kewajiban, tetapi bukan trade off dengan naik haji. Kelaparan itu, entah apa penyebabnya, tetapi tanggung jawab negara. Oleh karena itu, dalam penjelasan lebih lanjut soal survei Kompas, Rocky Gerung mengatakan bahwa kelihatannya Kompas mau balancing lagi. Dia selalu dalam wilayah abu-abu, sebetulnya wilayah oportunis kalau kita pakai bahasa politik, atau wilayah pragmatis kalau kita pakai istilah bisnis. Jadi, secara bisnis dan politik, Kompas itu opportunis dan pragmatis. Tentu Kompas melihat bahwa ada trend, atau juga mungkin ini cuma dipancingkan saja supaya Pak Jokowi saya kasih perhatian pada keadaan yang sekarang. Tetapi, lepas dari itu, memang orang sudah nggak percaya pada hasil-hasil musra. Yang sebetulnya dikehendaki oleh publik hanya bisa dibaca melalui survei yang jujur, tetapi kalau orang bilang Kompas yang bikin, mungkin orang enggak percaya juga, “Tapi saya mau pastikan bahwa keadaan yang dibaca oleh Kompas itu, persis seperti yang saya lihat di daerah-daerah. Jadi ada gairah untuk menjadikan Anies presiden, ada gairah untuk menganggap bahwa semua yang di endorse oleh Presiden Jokowi itu pasti jadi loyang”.
“Saya cuma menyimpulkan secara metaforik dengan Kompas bahwa sebetulnya Kompas mau bilang bahwa sebetulnya Pak Jokowi bukan Raja Midas karena semua yang dia tunjuk tidak jadi emas, justru jadi loyang. Jadi, hati-hati mereka yang minta diasuh oleh Pak Jokowi, dari emas Anda bisa jadi loyang,” lanjutnya lagi.
Lebih lanjut, ketika Hersu menyatakan bahwa dirinya percaya dengan hasil survei Kompas dengan alasan Kompas berani menyatakan atau memberikan informasi yang buruk tentang Jokowi, Rocky Gerung menyatakan, “Ya, betul dan sebetulnya survei per hari ini memang Pak Jokowi jatuh semua kan. Indikator ekonomi, makro maupun mikro, apalagi sekarang soal dunia. Jadi ini saat yang betul-betul bagian paling nadir dari Pak Jokowi, di titik bahwah. Dan kita tahu bahwa Golkar misalnya bersiap-siap untuk kembali menjadi partai otonom, mungkin juga Cak Imin lagi berupaya untuk cari jalan lain karena habis baca survei Kompas, dianggap bahwa dekat dengan Prabowo bisa enggak dapat co tail efeknya. Jadi, kompas ini pada hari ini memang membaca keadaan. Jadi dia fit dan proper dengan situasi sosiopsikologis, bukan sekadar sosial ekonomis rakyat.”
“Jadi, sekali lagi, temuan-temuan Kompas ini pasti akan diikuti oleh yang lain, yang ingin melihat apakah konsisten temuan Kompas bahwa daya dorong Jokowi itu, endorsement powernya itu, masih ada apa nggak. Kelihatan memang sudah nggak ada,” lanjutnya.
Ketika dikaitkan dengan implikasi politik, Rocky menjelaskan, “Kita mau membedakan antara endorsement power yang menurun dengan kemampuan Pak Jokowi masih pegang kartu truf dan sprindik-sprindik. Jadi, kemampuan Pak Jokowi untuk mendorong sudah enggak ada, tetapi kemampuan Pak Jokowi untuk mencegah, masih banyak. Mereka ini pasti juga tetap akan sprindik enggak dikeluarkan Pak Jokowi.”
“Jadi begitulah politik, diasuh oleh sesuatu yang irasional, dan kita merasa jijik betul atau jingung, bikin jijik dan bingung, dengan politik yang tidak ada ide, mondar-mandir, kasak kusuk, nggak ada idenya tentang Indonesia,” tegas Rocky Gerung. ((sof, sws)