Bisakah Pandemi Covid-19 Jatuhkan Jokowi?

Oleh Danu Subroto

JAWABANNYA adalah secara teoritis bisa dan sangat bisa. Secara aplikatif, jawabannya ada pada takdir Tuhan dan keberanian rakyat Indonesia.

Kenapa secara teori dikatakan bisa? Karena pertanyaan ini sudah dijawab dalam disertasi konsultan politik papan atas Indonesia yaitu Bung Denny JA dari Lembaga Survei Indonesia.

Bung Denny JA menuliskan dalam disertasinya, setidaknya ada 4 syarat yang mesti dipenuhi apabila ingin terjadi perubahan kepeminpinan di Indonesia. Apakah itu melalui jalur parlemen maupun extra-parlemen.

Dimana hasil kajian ini beliau ambil dari dua fase sejarah pergantian kepemimpinan nasional di Indonesia. Yaitu, pertama pada fase jatuhnya Soekarno pada tahun 1966, dan fase kedua lengsernya atau mengundurkan dirinya Soeharto pada tahun 1998.

Empat syarat dan indikator bisa terjadinya pergantian kepemimpinan nasional di Indonesia adalah: Pertama, pecahnya kelompok istana sebagai pusat atau sentral kekuasaan.

Di era Soekarno sangat kentara terjadi perpecahan antara TNI AD dengan kelompok PKI, dimana puncaknya adalah terjadinya tragedi berdarah 30 September 1965. Terbunuhnya 7 orang Jendral TNI AD, yang kemudian berbalik arah, dimana rakyat khususnya umat Islam bersatu bersama TNI memberangus kudeta ideologis kelompok PKI ini.

Sebelumnya, perpecahan antara kelompok PKI yang notabenenya adalah pendukung utama dan anak emas pemerintahan Soekarno sudah terjadi jauh hari sebelum pemberontakan.

Dengan umat Islam terkait benturan asas Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) versi Soekarno yang ditentang kuat oleh kelompok Islam seperti Muhammadiyah, Masyumi, Persis, dan sebagian NU kultural.

Perpecahan ini sampai ke istana berupa isu Dewan Jendral, angkatan kelima, poros Jakarta - Moskow, Jakarta - Peking, dan penolakan keras dari kubu TNI AD atas masuknya 100 ribu pucuk senjata buat angkatan ke 5 usulan PKI.

Perpecahan dalam tubuh Istana ini, menjadi indikator utama jatuhnya Soekarno. Demikian juga dengan Soeharto. Pertarungan ideologis antara Jendral Hijau dan Jendral Merah dalam tubuh ABRI (TNI ketika itu), ditambah mundurnya 14 orang menteri utama pemerintahan Soeharto, ketua MPR saat itu Harmoko yang juga berbalik arah, menyebabkan Soeharto memilih jalan mengundurkan diri ketika melihat para pembantu dan orang dekatnya berkhianat dan berbalik arah.

Akhirnya Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI selama 32 tahun dan kemudian digantikan oleh BJ Habibie yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Presiden.

Kedua, terjadinya krisis dan resesi ekonomi. Di zaman Soekarno ekonomi nasional sangat amburadul. Antrian beli minyak tanah buat masak, antrian mendapat jatah beras dan sembako adalah pemandangan biasa saat itu. Banyak rakyat kelaparan dan anak anak kurang gizi.

Pemerintahan Soekarno saat itu lebih menyibukkan dirinya ke luar negeri menjual ide Nasakom, serta sibuk memadamkan perang saudara baik dengan DI/TII, PRRI dan Parmesta. Termasuk juga di dalamnya operasi Ganyang Malaysia dan operasi perebutan Irian Barat dari tangan Belanda.

Berbagai bentuk perang ini sangat menguras energi bangsa hingga melahirkan krisis ekonomi nasional. Begitu juga di zaman Soeharto 1998. Krisis moneter yang melanda dunia juga berdampak keras terhadap Indonesia. Melambungnya dolar hingga 16 ribu, kelangkaan BBM, minyak tanah, susu buat anak anak, serta beras buat makan. Menjadikan banyak rakyat yang kelaparan.

Perut kosong karena kelaparan rakyat inilah yang sangat mudah menyulut gerakan reformasi para mahasiswa dan masyarakat turun berdemonstrasi.

Ketiga, yaitu terbentuknya arus oposisi yang kuat. Era Soekarno yang didukung kelompok PKI dan loyalis Soekarno begitu dominan dalam pemerintahan dan banyak menyingkirkan kelompok islamis seperti Masyumi, Muhammadiyah, NU kultural, dan TNI.

Kelompok "oposisi ini" yang kemudian bersatu padu pasca meletusnya tragedi 30 September 1965. Walaupun sebenarnya secara personal kelompok atau barisan oposisi ini tidak ada masalah dengan Soekarno tetapi dengan PKI. Yaitu benturan ideologis, dimana PKI membawa isu komunis yang bertentangan dengan ajaran Islam dan Pancasila sila pertama KeTuhanan Yang Maha Esa.

Di zaman Soeharto juga hampir sama. Mahasiswa sebagai garda terdepan, melahirkan banyak tokoh sentral seperti Amien Rais. Dari NU ada Gus Dur, ada Megawati dan juga termasuk Akbar Tanjung dari Golkar yang begitu pragmatis ketika itu.

Arus kuat oposisi dengan mahasiswa sebagai garda terdepan ini, mampu menggoyahkan nurani Soeharto untuk menyatakan berhenti. Puluhan nyawa mahasiswa melayang. Tak terhitung juga kerusakan harta benda, ruko, mobil, yang hangus terbakar di bakar massa. Begitu juga penjarahan.

Keempat, adanya dukungan luar negeri. Di jaman Soekarno adalah awalnya terjadi perang ideologis dunia. Antara blok barat dengan kapitalisme liberalnya dengan blok timur dengan sosialis komunisnya.

Kebetulan Soekarno lebih condong berkolaborasi dengan blok timur, otomatis kelompok yang berseberangan dengan Soekarno mendapat dukungan dari blok barat yaitu Amerika dan Inggris. Jadi tak heran, ketika Soekarno jatuh, ini merupakan ibarat durian runtuh bagi blok barat. Dan tentu saja, Indonesia yang ketika itu sukses besar menghambat pengaruh komunis di Asia Tenggara mendapat previlage khusus dari Amerika dan sekutunya.

Berbagai dukungan logistik, uang, pinjaman, investasi, dan politik di berikan pada Indonesia saat itu.

Begitu juga pada masa Soeharto. Ketika Soeharto sudah dianggap tidak bisa di kendalikan kekuatan global. Ditambah Soeharto di masa akhir jabatannya mulai mesra dengan kelompok Islam mulai dianggap jadi ancaman bagi dunia barat. Karena Indonesia sebagai negara yang besar kaya raya dan mayoritas Islam, adalah ancaman apabila maju.

Maka, skenario krisis moneter menjadi pintu masuk kekuatan global dengan memanfaatkan para barisan sakit hati, para anak PKI yang dendam dengan Soeharto, para korban kebijakan otoriter Soeharto, para Jenderal merah, Taipan yang oportunis bersatu padu untuk bersama jatuhkan Soeharto.

Dukungan asing ini jelas terlihat dengan berlabuhnya kapal perang Amerika dan sekutunya di teluk Jakarta. Serta sudah menjadi rahasia umum saat itu, bagaimana jutaan dolar amerika menyirami tubuh para aktifis, intelektual, advokad, media pers, dan aparat tertentu membiayai gerakan reformasi turun ke jalan.

Berkaca mata dari empat syarat dan indikator bisa terjadinya perubahan kepemimpinan nasional saat ini, bisa dengan jelas kita sematkan pada pemerintahan Jokowi saat ini, yaitu ;

Pertama, terjadinya perpecahan dalam tubuh istana. Ini sudah mulai terlihat sejak penunjukan menteri-menteri. Perang dingin antara Megawati dan Jokowi juga bisa dilihat dengan kasat mata. Baik dari gestur politik kebijakan maupun dalam dukung mendukung Capres 2024 antara friksi Puan Vs Ganjar.

Namun, perpecahan ini tentu berapa bobot dan berbahayanya hanya mereka yang tahu. Namun kalau ini dibiarkan maka akan jadi pemicu utama barisan pendukung Jokowi.

Yaitu bobot antara seberapa loyalitas para pembantunya pada Jokowi atau pada partai politik pengusungnya. Atau para sponsor lain di belakangnya. Atau seperti jaman Soeharto. Ketika terjadi kegaduhan alias tahu kapal mau tenggelam, justru para orang terdekat ini dulu yang kabur dan khianat cari selamat.

Kedua, terjadinya krisis dan resesi. Pandemic Covid19 ini sudah sangat cukup membuat rezim hari ini babak belur. Hanya untung saja, Jokowi hari ini didukung total oleh Polri dan media massa plus para Buzzer dan Influencer. Namun pertanyaannya, sampai kapan mereka akan loyal dan siap bertahan?

Karena sudah rahasia umum saat ini, Polri adalah institusi anak emas rezim Jokowi yang paling banyak mendapatkan fasilitas dan keuntungan. TNI boleh dikatakan dianaktirikan. Meskipun selalu ada kata sinergitas, namun itu hanya manis di bibir saja bagi yang menjabat. Tapi boleh ditanya pada level menengah (Kolonel ke bawah), bagaimana sakit hati dan kecemburuan TNI pada POLRI secara institusi.

Krisis dan resesi yang diderita Jokowi hari ini banyak sekali pengamat ekonomi mengatakan bisa sangat mengancam keberlangsungan pemerintahan Jokowi. Utang dan bunga wajib bayar pada tahun 2021 ini saja sebesar 800 trilyun. Sedangkan pendapatan dari pajak asumsi normalnya 1400 trilyun. Lalu bagaimana dengan belanja rutin dan pembiayan program pemerintah lainnya?

Seperti apa kata ekonom Rizal Ramli, negara kalau sudah bayar utang dari utang lagi itu namanya negara itu sudah bangkrut. Sekarang hanya menunggu cadangan logistik pangan dan sembako. Itupun kita bergantung pada import dari Thailand dan Vietnam. Kalau logistik pangan juga habis? Maka kerusuhan pasti akan sulit terelakkan.

Ketiga, terbentuknya arus oposisi yang kuat. Meskipun Habieb Rizieq Shihab dan beberapa tokoh politik dipenjarakan seperti organisasi KAMI yaitu Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Anton Permana.

Namun, detak dan denyut gerakan perlawanan masyarakat oposisi masih sangat kuat. Bedanya dengan tahun 1965 dan 1998, hari ini para kelompok oposisi ini sangat beragam. Mulai dari buruh, mahasiswa, kelompok Islam dan liberal juga mulai bersatu.

Sedangkan pendukung pemerintah tinggal dari para Buzzer bayaran dan beberapa influencer ormas dan tokoh karbitan. Namun itu tak cukup kuat sama sekali menopang dan membungkus kebobrokan rezim hari ini.

Untung saja ada UU ITE dan wabah virus. Kalau tidak, tak terbayangkan bagaimana caci maki dan demonstrasi massa akan terjadi tiap saat.

Dengan adanya UU ITE dan skema PSBB, PPKM, ini menjadi instrumen Polisi sebagai "centeng" utama rezim Jokowi hari ini untuk mengeleminir setiap ancaman dan gangguan pada rezim Jokowi. Dan harus kita akui sampai saat ini, polisi sukses menjalankan tugas ini.

Keempat, dukungan luar negeri. Mungkin indikator ini yang mesti mendalam kita cermati. Bagaimana posisi Indonesia di mata dua di antara perseteruan China dan Amerika berserta sekutunya.

Yang jelas kita lihat, Indonesia di bawah rezim Jokowi jauh condong berkiblat pada China. Dan Amerika di bawah kepemimlinan Biden ini belum begitu memperhatikan Indonesia. Biden secara geopolitik masih konsentrasi pada mitra utamanya yaitu Jepang-Korsel-Taiwan, untuk Asia Timur. Timur tengah dan Eropah.

Artinya, dalam hal indikator dukungan luar negeri, kita belum bisa melihat sebuah langkah konkrit asing terhadap Indonesia. Namun dengan adanya kegiatan latihan militer bersama antara TNI AD dan US Army dalam skema Garuda Shield 2021 di Batu Raja Sumatera Selatan? Kita tidak tahu.

Tetapi yang terpenting bagi kita rakyat Indonesia adalah, siapapun yang jadi pemimpin di negeri ini haruslah tetap setia pada konstitusi kita yaitu Pancasila dan UUD 1945, dimana di sana termaktub negara Indonesia adalah berkedaulatan rakyat. Dan Indonesia adalah negara hukum

Artinya, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi di Indonesia. Bukan partai politik, bukan cukong, ataupun negara asing.

Dan jadikanlah hukum sebagai panglima. Bukan politik, dimana secara hukum kita mengamanahkan bagaimana menjadikan negara Indonesia berdaulat, adil dan makmur.

Dengan cara, melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan baru ikut dalam perdamaian dunia.

Kalau ini semua dilaksanakan, insyaAllah Indonesia siapapun pemimpinnya akan berdaulat adil dan makmur. Dan semua itu kembali kepada rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Waalhaualm.

*) Pengamat Politik

340

Related Post