Bobrok & Kacaunya Intelijen Negara Era Reformasi Lalulintas

by John Mempi

Jakarta FNN - Eksistensi suatu negara dijaga oleh dua Institusi. Secara fisik dijaga oleh militer, dan secara non-fisik dijaga oleh intelligence. Di dunia ini, sistem politik apapun yang diterapkan suatu negara, selalu ditegakan dan dijaga oleh kekuatan kekuatan bersenjata (militer) yang bersifat offensive, dan kekuatan intelligence yang bersifat preventive. Begitu selalu adanya.

Intelijen adalah seni, bukan science. Intelijen adalah planologi, bukan arsitek. Intelijen adalah kecerdasan, bukan kekerasan. Intelijen adalah fungsi, bukan posisi. Intelijen adalah negara bayangan. Semua operasi intelijen hanya bisa dirasakan. Tetapi tidak bisa untuk dibuktikan.

Saat keadaan perang terbuka, intelijen militer (combat intelligence) sebagai garda terdepan untuk menghadapi segala macam bentuk ancaman. Saat keadaan damai, maka intelijen sipil (bussines and political intelligence) sebagai garda terdepan untuk menghadapi segala macam bentuk ancaman. Begitu dunia intelijen punya mau. Kecuali intelijen yang odong-odong, kaleng-kaleng atau beleng-beleng.

Pada eranya kekuasaan Orde Baru, intelijen membagi peran manusia Indonesia menjadi dua bagian, yaitu kelompok pejuang dan pedagang. Mereka ibarat rel kereta api dengan tujuan yang sama. Pejuang disupport habis oleh pedagang, dan pedagang diback-up habis oleh pejuang.

Lain halnya dengan intelijen di era reformasi. Rel kereta apinya disatukan menjadi monorail. Mereka yang pejuang merangkap sebagai pedagang, sehingga mengakibatkan penjahat dan pejabat bersatu dalam satu kubu. Penjahat dan pejabat disatukan di satu lintasan kereta. Awalnya, pejabat dikendalikan penjahat. Lalu berikunya penjahat yang berjuang untuk menjadi pejabat. Akhirnya penjahat yang menguasai negara. Ini memang tragis dan memilukan sekali.

Ketika eranya Reformasi dimulai, Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) dirobah menjadi Badan Intelijen Negara (BIN). Saat itulah BIN sebagai lembaga intelijen negara mulai kehilangan fungsi dan perannya. Karena tidak lagi mempunya eksistensi, maka BIN kemudian mendirikan Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) yang bertujuan mencetak personil -personil intelijen baru.

Akibatnya, pihak intelijen asing dapat dengan sangat mudah melakukan tracking personil intelijen Indonesia. Pekerjaan tracking dari intelijen asing menjadi mudah dan sangat mudah sekali. Misalnya, cukup hanya dengan mendapatkan database siswa dan alumni STIN. Karena STIN merupakan sekolah tinggi, maka untuk memenuhi kebutuhan akademik, STIN juga mempunyai Profesor dan Guru Besar intelijen yang hanya ada di Indonesia. Negara lain tidak mempunyai Prefesor dan GUru Besar intelijen.

September 2020, BIN memberikan penghargaan kepada beberapa pejabat negara sebagai warga kehormatan. Padahal track record sebagian pejabat yang diberikan kehormatan tersebut sangat "tidak terhormat". Soekarno dianggap sebagai inspirator intelijen indonesia, sehingga Patung Soekarno berdiri di STIN. Walaupun sesungguhnya inspirator intelijen di Indonesia adalah Sri Sultan Hamengkubowono IX, yang menjadi penasehat spiritualnya Presiden Amerika Serikat ke-40 Ronald Reagan (1981-1989).

Dalam operasinya, BIN berobah seperti BUMN yang terbuka untuk publik. BIN menjadi struktural dan administratif, Sehingga hal itu mengakibatkan kompartment intelijen yang eksis di era Orde Lama dan Orde Baru secara alamiah keluar dan meninggalkan BIN. Kemudian kompartement intelijen ini membuat organisasi tanpa bentuk. Mereka membiayai operasinya sendiri, hasil dari modal yang dikumpulkan di era Orde Lama dan Orde Baru.

Mereka meninggalkan cara-cara kerja intelijen lalulintas yang ditarapkan di era reformasi sekarang. Mereka tetap beroperasi karena kecintaan terhadap bangsa dan negara indonesia. Mereka juga tetap teguh berpegang kepada ikrar yang diucapkan, yaitu "kami datang dan berkumpul di Bogor. Tidak saling mengenal. Kami berpisah sebagai kawan seperjuangan untuk membela Tanah Air”.

Ciri yang menonjol dari kompartemet intelijen era Orde Lama dan Orde Baru adalah, ketika ada diantara mereka yang meninggal dunia, mereka diperlakukan seperti rakyat biasa. Tanpa ada upacara pemakaman. Tanpa ada pemakaman di Taman Makam Pahlawan. Sebagai bentuk penghormatan, hanya kawan seperjuangan mereka yang mendatangi kuburan satu persatu. Sikap ini karena mereka terikat dengan sumpah untuk tidak saling kenal-mengenal sampai dengan ajal menjemput.

Pola-pikir dan pola-kerja seseorang itu dibentuk dan ditentukan berdasarkan pengalaman masa lalunya. Masa lalunya akan terlihat pada cara dan pola kerjanya ketika menjabat. Kekonyolan kerja-kerja BIN semakin bertambah bobrok, kacau-balau dan amburadul dengan menempatkan Budi Gunawan sebagai Kepala BIN. Seorang polisi yang masa lalunya hanya berpengalaman dalam bidang lalulintas dan ajudan. Hanya itu saja. Tidak lebih dari itu

Kerusakan pada institusi BIN semakin dalam ketika para agent BIN berobah statusnya menjadi pegawai BIN. Makanya tidaklah aneh jika setiap hari Senin sampai Rabu, agent yang berubah menjadi pegawai BIN, wajib mengenakan “baju putih” sesuai dengan bajunya Presiden Jokowi. Sedangkan pada hari Kamis sampai Jumat mengenakan “baju batik”. Bahkan para pejabat BIN dengan bangga berpose menggunakan seragam militer dengan tanda pangkat bintang di pundaknya. Supaya terlihat publik gagah sebagai orang intelijen.

Prilaku pejabat BIN yang bangga berpose menggunakan seragam militer dengan tanda pangkat bintang ini, hanya untuk memperlihatkan kepada masyarakat berkaitan posisi dan jabatannya di BIN. Warna kantor BIN di Pejaten berobah menjadi warna merah, sesuai dengan warna partai yang berkuasa. Pergantian struktur pejabat di BIN diumumkan secara terbuka kepada publik. Sementara di daerah-daerah, KABINDA tampil terbuka layaknya kepala daerah bayangan dan ikut dalam kegiatan Pilkada.

Dahulu itu partai politik di bawah kendali BIN. Namun sekarang terbalik. BIN berada dibawah kendali partai politik. Pemilihan Kepala BIN bukan berdasarkan kepentingan negara. Tetapi berdasarkan kepentingan partai politik. Kalau di eranya Orde Baru, Kepala BIN disibukan untuk mengumpulkan Informasi, Sementara di eranya Reformasi ini, Kepala BIN disibukan dengan mengumpulkan uang untuk mempertahankan kekuasaan.

Tragisnya lagi, BIN membentuk “Pasukan Rajawali” yang merupakan pasukan pemukul yang dipamerkan kepada publik. Seharusnya tidak perlu di publikasikan. Tetapi dengan bangganya diperkenalkan kepada masyarakat, seakan-akan ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah BIN. Pasukan Rajawali merupakan pasukan khusus BIN model pasukan anti-teror. Dalam operasinya, BIN menerapkan aksi-aksi teror untuk mengamankan kekuasaan. Contoh yang paling telanjang dan terbuka adalah kasus Habib Rizieq Shihab (HRS).

Pada eranya Orde Baru, pengusaha dan pejabat digalang oleh Intelijen. Sementara di era Reformasi, intelijen digalang oleh pengusaha dan pejabat. Akhirnya negara dikuasai oleh kawanan penjahat. Pada era Orde Baru, setiap interogasi intelijen menghasilkan informasi. Namun di era Reformasi, interogasi menghasilkan duit. Perbedaan paling mencolok intelijen di era Orde Baru dengan eranya Reformasi adalah, jika Orde Baru dikenal dengan “operasi intelijen”. Sementara ira Reformasi dikenal dengan “proyek intelijen”.

Misalnya, saat pandemi Covid-19, BIN terlihat bersaing dengan institusi lainnya untuk berebut anggaran dengan menggelar Rapid Test massal dan gratis. BIN menggunakan mobile laboratorium layaknya pelayanan SIM dan STNK Keliling, dan mobil yang penyemprot disinfektan. Cara-cara kerja polisi lalulintas yang hari ini terlihat dominan pada kerja-kerja BIN. Ini wajar saja, karena Kepala BIN mantan polisi lalulintas.

Persoalan lain dari kerja-kerja BIN yang bobrok dan kacau-balau adalah banyak personel BIN yang saat ini diisi oleh anggota Polri. Lagi-lagi, karena Kepala BIN berasal dari polisi lalulintas yang miskin dan tidak mempunyai background intelijen. Jika ada background intelijen, itu hanya sebatas kualifikasi reserse kriminal. Kebiasaan anggota Polri yang ingin tampil di media massa dalam gelar perkara (press conference) secara alamiah ikut terbawa ketika anggota Polri masuk ke dalam institusi BIN.

Saat ini Covid-19 bukan lagi sebagai masalah kesehatan semata. Melainkan sudah menjadi masalah kedaulatan negara. Sehingga TNI wajib untuk turun tangan, karena berkaitan dengan sistem pertahanan negara. Trasgisnya, pemerintah Indonesia menganggap persoalan Covid-19 hanya sebagai masalah perdagangan saja. Beginilah akibat kerja dari Kepala BIN yang mantan polisi lalulintas.

HRS yang dahulu merupakan produk intelijen di era Orde Baru, saat reformasi menjadi musuh utama dan terutama dari BIN. Padahal HRS yang selalu berbicara persoalan keselamatan negara. Namun karena BIN tidak berbicara soal keselamatan negara. Tetapi tentang persoalan keselamatan dari Kepala Negara. Bagaimana agar tetap bertahan di singgasana kekuasaan. Sudah pasti tidak nyambung prekwensinya. Bedanya antara laingt-langit dan bumi-bumi.

Para agen muda BIN yang saat masuk pertama kali ke dalam BIN dengan idealisme tinggi. Tetapi setelah di dalam, dirusak moral dan mentalnya oleh atasannya sendiri, Misalnya, dengan melakukan operasi-opreasi yang hanya untuk kepentingan pribadinya petinggi dan Kepala BIN semata. Sementara di kalangan perwira, baik TNI maupun Polri, hari ini BIN dijadikan sebagai tempat untuk menaikan pangkatnya orang-orang yang tidak berprestasi di TNI dan Polri.

Kasus yang paling memalukan dan menyedihkan adalah KABINDA Papua yang ditembak mati oleh gerombolan bersenjata. Ketika Papua terdapat suatu kelompok bersenjata, maka daerah tersebut merupakan daerah operasi militer, sehingga intelijen yang beroperasi di Papua adalah combat intelligence (BAIS). Bukan BIN, karena tidak sepantasnya seorang yang berpangkat Brigjen dengan kualifikasi pasukan Gultor Kopassus harus ikut patroli di daerah perang gerilya.

Cukup hanya setingkat Komandan Palaton (Danton) atau Komandan Regu (Danru) saja. Akhirnya TNI harus menanggung malu, dan membayar mahal akibat kesalahan kebijakan pemerintah yang menurunkan derajat kewaspadaan, dengan menganggap masalah di Papua adalah masalah teroris semata. Kenyataan ini tidak terlepas dari masalah konstitusi yang melahirkan arogansi.

Banyak komponen masyarakat yang tertekan dan terpinggirkan oleh kebijakan di era Orde Baru. Namun Orde Baru telah melunasi hutang sosial politiknya di era Reformasi ini. Caranya memberikan kekuasaan politik seluas-luasnya kepada kelompok yang merasa disakiti dan dipinggirkan selama Orde Baru berkuasa. Radikal Kiri dan Radikal Kanan, Ekstrim Kiri dan Ekstrim Kanan, Non-Muslim dan Non-Jawa diberi kesempatan untuk mengelola pemerintahan.

Hasilnya seperti yang terlihat hari ini. Intelijen negara bobrok, kacau-balau dan amburadul. Akhirnya, setelah 22 tahun Reformasi, masyarakat dapat menilai hasil pembangunan yang dicapai dengan basis sakit hati dan dendam kesumat yang tiada akhir. Semoga bermanfaat.

Penulis adalah Pemerhati Intelijen & Akitivis ’98.

7233

Related Post