Bunda Merry Pahlawan Kita

Bunda Merry.

Keraguan Yaqut maupun rezim Jokowi atas dominasi Islam di Indonesia yang bersifat historis terjadi karena banyak hal, bisa politik maupun pemahaman yang salah.

Oleh: DR. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

BUNDA Merry, begitu namanya, baru divonis bebas oleh hakim di Kotabumi, Lampung Utara, kemarin. Banyak yang tidak mengetahui cerita tentang itu, mengapa dia disidang di pengadilan.

Orang-orang lebih banyak mendengar berita perempuan berkerudung yang bawa pistol ke Istana sendirian mau menyerang atau perempuan berkebaya merah, terkait sensasi sexual alias porno berbasis tradisionalitas dan originalitas, yang menjadi trending topic maupun banyak diberitakan media online maupun dibincangkan di medsos belakang ini.

Ceritanya, pada awal tahun ini, sekitar Maret, Bunda Merry melakukan demonstrasi mengecam Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas Staquf, yang membandingkan suara Adzan dengan “gonggongan anjing”. Bunda Merry, sebagai kordinator aksi, memimpin demo ke kantor kementerian agama Lampung Utara, meminta Yaqut meminta maaf kepada umat Islam.

Demo ini merupakan salah satu demo dari gelombang yang sama di berbagai wilayah Indonesia, karena mereka menganggap suara adzan sangat biadab jika dibandingkan dengan gonggongan anjing.

Dari semua demo yang ada, hanya Bunda Merry di Lampung ini yang akhirnya dipidanakan dan sempat dipenjarakan. Namun, Alhamdulillah kemarin hakim memvonis Bunda Merry tidak bersalah, setelah jaksa menuntut penjara 7 bulan.

Aktivis Perempuan Bunda Merry bebas demi hukum dari segala tuntutan pada sidang putusan PN Kotabumi, Kabupaten Lampung Utara (Lampura), Rabu 9 November 2022.

Dalam amar putusan perkara Nomor 190/Pid. Sus/2022/PN Kbu, yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Andi Barka, mengadili terdakwa Merry, SAg binti Almarhum Supandi, menyatakan terdakwa Merry tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana.

Suara Adzan vs Gonggongan Anjing

Hari ini orang-orang memperingati hari pahlawan. Rujukan hari pahlawan entah kenapa ditujukan pada sejarah perjuangan 10 November 1945 di Surabaya. Padahal, banyak sekali perlawanan rakyat atas penjajahan yang telah terjadi.

Terlepas dari sejarawan memilih tanggal dan tempat ini, sejarah itu merujuk pada pekik Allahu Akbar! Cnn.com (10/10/20), pada tulisannya, “Peran Islam dalam Hari Pahlawan, Pertempuran 10 November”, memuat antara lain, “Pekik takbir Bung Tomo saat pertempuran 10 November hingga saat ini masih dikenang membangkitkan semangat para pejuang”.

Tentu saja peran ulama, khususnya KH Hasyim Asy'ari, yang mengeluarkan fatwa Jihad melawan Belanda dan Sekutu, saat itu, lebih penting lagi. Nah, pentingnya takbir itu dalam kemerdekaan kita tidak bisa dibantahkan. Dan takbir itu selalu didengungkan dalam suara Adzan setiap pagi, siang, dan malam dari corong-corong Masjid. Sehingga, merdunya suara Adzan adalah warisan sah dari keberadaan Indonesia.

Bagaimana soal anjing? Anjing adalah binatang peliharaan non muslim, pada umumnya. Baik itu digunakan sebagai penjaga rumah dan toko, maupun “pet” (peliharaan). Mayoritas umat Islam menganggap anjing binatang haram, meski derajatnya tidak seperti babi.

Dalam ajaran Islam, setiap orang (Muslim) yang dijilat atau terkena anjing, harus membasuh bagian yang terkena dengan menyamak campuran air dan tanah. Ajaran ini adalah sebuah keyakinan yang pasti. Mayoritas mazhab Islam, kecuali Maliki, meyakini hadist yang mengatakan bahwa malaikat tidak akan turun ke rumah yang di dalamnya ada anjing.

Kemarahan umat Islam terhadap Yaqut Qoumas saat dia membandingkan suara Adzan dengan suara gonggongan anjing untuk menjelaskan perlunya toleransi beragama di Indonesia tentu saja mengganggu akal sehat.

Pertama, mayoritas rakyat Indonesia yang beragama Islam tidak mengerti atau menyadari pergeseran asset atau penguasaan asset strategis pertahanan, khususnya di perkotaan, terhadap keberadaan anjing vs Masjid.

Menurut penelitian sebuah universitas di Jakarta, beberapa tahun lalu, misalnya, memang disebutkan bahwa hanya 5 pengembang besar yang menguasai lahan-lahan perumahan di Jabodetabek.

Penguasaan ini tanpa disadari seringkali mengubah peta demografis, di mana penghuni baru mungkin membawa anjing dan tidak berafiliasi dengan Masjid. Penduduk lama, yang umumnya berbatasan dengan kawasan perumahan, umumnya masih hidup berbasis wisdom lama, yakni membuat Masjid sebagai syiar agama.

Namun, tentu saja suara dari Masjid tersebut dapat mengganggu orang-orang komplek perumahan. Sebaliknya, di dalam kompleks perumahan, umumnya Masjid diatur suara Adzan dan pengajian lainnya terbatas pada Masjid saja.

Sudah menjadi kasus umum dalam pengembangan perumahan posisi Masjid dibuat tidak menonjol. Penonjolan tempat publik umumnya mal, cafe, sport center, dan lain sebagainya, yang mengedepankan simbol hidup duniawi.

Kontrol atas tanah yang umumnya diwajibkan untuk fasilitas sosial dan umum biasanya dikendalikan pengembang bukan pemerintah. Sehingga, secara total sebenarnya sebuah permukiman besar adalah pemukiman yang dikendalikan pengusaha dibanding pemerintah (daerah).

Untuk fakta dan peristiwa pergeseran kawasan-kawasan strategis perkotaan di Indonesia, sebagaimana diuraikan di atas, kementerian agama jangan terjebak pada realita yang sesungguhnya belum tentu membawa keadilan terhadap eksistensi “Adzan”.

Menteri Agama harus berani mengoreksi berbagai ketidakpatutan pergeseran sosial yang menghilangkan dominasi sosial umat Islam, apalagi membiarkan posisi umat Islam yang semakin “Underdog”. Saya tidak perlu mengungkapkan banyaknya Masjid yang bersifat historis telah rubuh karena para pengembang membuat desain perumahan yang menyingkirkan Masjid.

Rubuhnya Masjid itu paralel dengan hilangnya atau merosotnya fungsi Masjid dalam masyarakat di situ.

Kedua, seharusnya pembanding suara Adzan tidak harus gonggongan anjing. Dalam salah satu tema yang berani diusung rezim Joko Widoao pada G20 adalah transformasi digital. Jika rezim ini berani menawarkan isu “digital life” pada dunia, sepantasnya isu ini ditawarkan juga pada pengembangan syiar Islam.

Suara Adzan yang berbasis “voice” bisa disubtitusi dengan platform baru yang berbasis digital, untuk keperluan syiar, jika pemerintah melakukan intervensi pada pembiayaan dan edukasi. Untuk negara yang mengklaim banyak uang, tentunya pendekatan persuasif kepada rakyat lebih dibutuhkan daripada membangkitkan kemarahan.

Namun, semua ini tergambar dari keberpihakan pemerintah atas suara Adzan. Sebagaimana tema artikel ini, suara Adzan adalah bersifat historis dibanding suara gonggongan anjing dalam keberadaan masyarakat kita.

Beberapa Catatan yang Baik

Beberapa waktu belakangan ini kita melihat langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang cukup revolusioner dalam mendekatkan diri pada ulama. Terlihat bahwa Kapolri berusaha mencari atau mencari kembali value atau moralitas bangsa yang hilang, setidaknya di institusi kepolisian.

Bahkan, dalam sebuah pesannya terkait larangan tilang manual kendaraan bermotor baru-baru ini, kapolri menitipkan pesan agar polisi di semua lapisan mendekatkan diri pada agama dan ulama/pendeta.

Di daerah misalnya, kita melihat Kapolda DIY Irjen Pol Suwondo Nainggolan mengikuti langkah Kapolri dengan sowan ke ulama seperi Emha Ainun Najib alias Cak Nun untuk silaturahmi. Ini adalah terobosan luar biasa, karena Cak Nun adalah simbol oposisi utama terhadap rezim ini.

Langkah tersebut tentunya akan menghubungkan kembali spirit moral pada penegakan hukum ke depan, sekaligus mendorong pihak kepolisian memaknai tema-tema Islam dalam urusan sosial sebagai bagian sejarah sah bangsa kita. Sehingga, misalnya, tidak perlu polisi langsung mempidanakan Bunda Merry dalam kasus yang seharusnya didekati dengan “restorative justice”.

Tentu saja langkah ini perlu diikuti dengan membatasi berkembangnya isu-isu terorisme, radikalisme, dan ekstrimisme yang dipaksakan, atau digunakan untuk politik atau salah persepsi terkait dengan isu ini.

Penutup

Dus, Bunda Merry telah membuka mata kita tentang kepahlawanan. Dia telah menghubungkan pentingnya suara Adzan yang berisi takbir dengan imajinasi kita atas peristiwa 10 November 1945 dulu, di mana pekikan Takbir menjadi simbol Indonesia Merdeka.

Dominasi suara Adzan terhadap suara gonggongan anjing merupakan simbol sosial bahwa keberadaan umat Islam di Indonesia haruslah dominan, bukan dalam pengertian kuantitatif, melainkan juga kualitatif.

Kualitatif artinya penguasaan umat Islam atas asset-asset strategis perkotaan maupun kekayaan alam lainnya. Itu sebagai konsekuensi perjuangan umat Islam melawan penjajahan selama ratusan tahun.

Keraguan Yaqut maupun rezim Jokowi atas dominasi Islam di Indonesia yang bersifat historis terjadi karena banyak hal, bisa politik maupun pemahaman yang salah.

Pertanyaannya adalah apakah kita akan mengingkari sejarah kita sebagai sebuah bangsa?

Kita harus tetap memilih eksistensi Adzan dan Takbir. Perempuan seperti Bunda Merry yang membela eksistensi Adzan adalah pahlawan kita. Biarlah orang-orang lain memilih Rara Pawang hujan atau si Kebaya Merah sebagai pahlawan mereka.

Selamat Hari Pahlawan, Merdeka! (*)

460

Related Post