Bungkam Tudingan Pelecehan Wanita Emas, Ketua KPU Malah Muncul Bawa Kabar Mengejutkan

Ketua Komisi Pemilihan Umum, Hasyim Asy\'ari

Jakarta, FNN - Setelah diguncang laporan adanya skandal pelecehan seksual dan pemerkosaan oleh wanita emas Hasnaini, Ketua Komisi Pemilihan Umum, Hasyim Asy’ari, akhirnya muncul ke publik dan membawa kabar yang mengejutkan. Namun, kabar tersebut tak ada kaitannya dengan laporan Ketua Umum Partai Republik Satu. Hasyim tampil menyampaikan sebuah kabar penting bahwa kemungkinan besar pemilu legislatif tahun 2024 akan kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. “Ada kemungkinan, saya belum berani spekulasi. Ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup,” kata Hasyim Asy’ari. Oleh karena itu, dia mengingatkan para bakal calon anggota legislatif jangan buru-buru tebar baliho dulu, karena hal itu akan buang-buang uang saja. Hasyim menyampaikan sambutan itu dalam penandatanganan nota kesepahaman antara KPU dengan sejumlah lembaga, salah satunya Polri.

Acara tersebut sekaligus merupakan catatan akhir tahun yang dilaksanakan di gedung KPU, Jakarta, Kamis, 29 Desember 2022. “Saya kira yang penting untuk kita perhatikan adalah proses sidang judicial review undang-undang pemilu dengan topik sistem pemilu proporsional tadi. Mengapa ini perlu diperhatikan, kalau kita baca pola-polanya Mahkamah Konstitusi itu bisa dibaca sebetulnya,” kata Hasyim.

Hasyim Asy’ari benar. Saat ini, Mahkamah Konstitusi tengah menangani gugatan yudisial review terhadap Undang-Undang Pemilu, khususnya pasal 168 ayat 2, yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar ’45. Gugatan itu diajukan oleh sejumlah kader dari PDIP dan Nasdem. Mengutip permohonan yang dilansir oleh website Mahkamah Konstitusi pada tanggal 17 November 2022, para pemohon menyatakan frasa terbuka pada pasal 168 ayat 2 Undang-Undang Pemilu bertentangan dengan undang-undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Mengapa para pemohon ini meminta proporsional tertutup dikembalikan lagi? Sebab alasan mereka parpol mempunyai fungsi merekrut calon anggota legislatif yang memenuhi syarat dan berkualitas. Oleh sebab itu, parpol berwenang menentukan caleg yang akan duduk di lembaga legislatif.

Apakah perbedaan antara sistem proporsional tertutup dengan proporsional terbuka? Sistem proporsional tertutup memiliki karakteristik pada konsep kedaulatan parpol. Parpol memiliki kedaulatan menentukan kadernya yang akan duduk di lembaga perwakilan melalui serangkaian proses pendidikan dan rekruitmen politik yang dilakukan secara demokratis sebagai makna amanat Undang-Undang Partai Politik. Dengan demikian, ada jaminan kepada pemilih, calon yang dipilih parpol memiliki kualitas dan kemampuan sebagai wakil rakyat. Demikian argumen dari para pemohon.

Pada hari ini, sejak tahun 2004 Pemilu dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka dan suara terbanyak perseorangan. Pada pokoknya menempatkan individu sebagai peserta pemilih sebenarnya. Parpol kehilangan maknanya dengan hadirnya norma-norma liberal, menjunjung  tinggi elektabilitas perseorangan daripada sistem kepartaian. Demikian ungkap para pemohon.

Oleh sebab itu, pemohon menilai sistem di atas bertentangan dengan undang-undang Dasar 1945, yakni pasal 1 ayat 1, Pasal 18 ayat 3, pasal 19 ayat 3, pasal 22 ayat 3, dan pasal 28 di ayat 1. Argumen para pemohon itu dikarenakan tidak ada perintah dari konstitusi untuk memerintahkan adanya bentuk pemilu yang proporsional terbuka, yang dilanjutkan dengan suara terbanyak.

Wacana perlunya kembali ke sistem proporsional tertutup ini sebelumnya juga sudah disuarakan oleh Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto. Waktu itu Hasto menyatakan bahwa PDIP mengusulkan agar sistem proporsional terbuka yang dipakai saat ini diubah dengan kembali menerapkan sistem proporsional tertutup, yang terakhir dipakai pada Pemilu 2004. Demi kepentingan bangsa dan negara, sistem ini dapat diubah menjadi proporsional tertutup. Ini lebih penting sebagai insentif bagi kaderisasi partai. Demikian pernyataan Hasto  dalam keterangannya pada 27 Februari 2022.

Hasto menjabarkan bahwa Pemilu dengan sistem proporsional tertutup relatif tidak akan banyak memakan biaya. Lewat sistem proporsional tertutup, pemilih hanya dapat memilih partai politik secara keseluruhan dan tidak dapat memilih kandidat. Sistem ini berbeda dengan sistem proporsional terbuka, di mana pemilih bisa memilih nomor urut atau kader dalam pemilihan legislatif.

 Kelebihan sistem proporsional terbuka: dalam proporsional terbuka kandidat didorong bersaing dalam memobilisasi dukungan massa, kemudian terbangun kedekatan antara pemilih dengan yang dipilih serta antar-pemilih. Sedangkan kelemahannya adalah membuka peluang terjadinya politik uang yang sangat tinggi, membutuhkan modal politik yang besar, dan sulit menegakkan kuota gender dan etnis.

 Dengan kembali ke sistem proporsional tertutup, diharapkan politik uang bisa diminimalisasi serta mudah menentukan kuota gender dan etnis. Namun, kelemahannya, pemilih tidak punya peran dalam menentukan siapa wakil dari partai. Pemilih tinggal menerima siapa yang ditentukan parpol. Mereka juga tidak tahu siapa caleg yang akan mereka pilih. Dengan cara begini juga tidak ada kedekatan antara pemilih dan yang dipilih.

Apakah nanti betul kembali ke sistem proporsional tertutup atau proporsional terbuka, kita tunggu saja. Kalau dugaan ketua KPU bahwa Mahkamah Konstitusi akan mengabulkan permohonan ini maka yang akan diuntungkan partai-partai lama, karena mereka betul-betul lebih kuat. Sedangkan partai-partai baru lebih mengandalkan kepada kekuatan calegnya.

“Saya sendiri juga menduga kemungkinan besar sistem proporsional tertutup yang digugat oleh kader PDIP dan Nasdem ini akan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Saya punya kesimpulan itu karena di sini tidak ada kepentingannya presiden untuk berkuasa,” kata Hersu. Ini berbeda dengan gugatan presidensial threshold 20%, kata Hersu, mau digugat dari sisi manapun tidak akan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Menurut Hersu, PT 20% berkaitan dengan strategi dari penguasa untuk tetap mempertahankan kekuasaannya dengan menghadang calon-calon oposisi yang tidak dikehendaki. Sementara dalam kasus ini, yang salah satunya diajukan oleh PDIP, tentu pemerintah berkepentingan ada semacam trade off dengan PDIP. Juga tidak ada urusannya dengan soal Pilpres. “Oleh karena itu, saya sepakat dengan dugaan dari Hasyim Asy’ari bahwa kemungkinan besar ini akan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kalau tidak, ini menjadi semacam anomali di Mahkamah Konstitusi,” pungkas Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, mengakhiri pembahasannya dalam Kanal Youtube Hersubeno Point edisi Kamis (28/12/22). (ida)

225

Related Post