“Buzzer” Pemecah-belah Memang Ada Sejak Dulu?
Nasib buzzer di Indonesia masih beruntung dan aman. Tak tersentuh hukum meski sudah berkali-kali dilaporkan ke polisi, seperti Ade Armando, Permadi Arya, maupun Denny Siregar.
Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN
SEORANG teman alumni Universitas Padjadjaran, Bandung, bertanya kepada saya. “Ha, jadi buzzer ini memang ada sejarahnya ya? Kalau ada data bisa juga ungkap buzzer jaman kolonial di Indonesia, Ha!” pintanya.
Saya jawab, ya tentu saja ada. Satu diantaranya Snouck Hurgronje. Diantara program Snouck adalah dalam memecah perekatan sosial dengan nativikasi.
Menurut Pemerhati Sejarah Arief Gunawan, nativikasi adalah mengembalikan bumiputera kepada kepercayaan lokal Nusantara, membenturkan adat dengan syariat Islam, mengkriminalisasi ulama, dan mengembangkan tahayul.
Di bidang ekonomi Belanda menampilkan Van Den Bosch, akuntan yang juga Gubernur Jenderal. Yang kekejamannya bukan di medan tempur, tapi dalam strategi Tanam Paksa.
Waktu Diponegoro ditangkap pengikutnya dianggap clandestine. Kaum ulama ditumpas dengan cara kriminalisasi melalui sebutan kecu, rampok, radikalis, ekstrimis.
“Islam dan perekonomian bumiputera jadi titik yang paling dihancurkan oleh Belanda,” ungkap Arief Gunawan.
Sumatera Barat dicoba dilumpuhkan melalui Perang Paderi. Karena, kaum ulama dan kaum adatnya kuat, sehingga lahirlah: “Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah ...”
Di Aceh Snouck Hurgronje bersama Gubernur Jenderal Van Heutsz memecah-belah kaum ulama dan Uleebalang untuk memenangkan perang hampir 70 tahun.
Kalau di Surabaya, 1945, ada satu jenderal terbunuh, dalam Perang Aceh empat jenderal Belanda tewas. Di antaranya J.H.R Kohler, mayor jenderal yang makamnya di Banda Aceh.
Snouck Hurgronje bergelar doktor umur 23 tahun. Berlayar ke Hindia Belanda setelah menyusup di Mekkah. Mengunjungi Aceh, Banten, Cianjur, Garut, Ciamis, Batavia, dan tempat lain.
Ganti nama jadi Abdul Ghaffar alias Gopur. Terkenal sebagai ulama aspal (asli tapi palsu). Snouck yang teolog menjadikan Indologi dan Orientalistik sebagai ilmu-bantu kolonial.
Waktu itu pembesar Belanda menyebut praktek penjajahan VOC dan Hindia Belanda sebagai Zaman Keemasan. Nusantara mereka sebut Netherlands Overseas atau Netherlands in The Tropics.
Hari-hari ini di Belanda orang-orang seperti Snouck Hurgronje, Van Heutsz, Westerling, dan Pieter Zoon Coen, dikenang secara kontradiktif. Tapi di sini sekarang praktik licik mereka diteruskan.
“Propaganda Islamphobia terus dilanjutkan,” tandas tokoh nasional Dr Rizal Ramli di akun twitter-nya baru-baru ini.
Tujuannya, menurutnya, pertama adalah untuk menakut-nakuti minoritas, abangan, dan nasionalis sempit, sehingga mereka semakin militan membela status quo yang minim prestasi dan koruptif.
Yang kedua, mobilisasi pendanaan untuk membiayai operasi Islamphobia oleh BuzzersRp dan InfluencersRp. Sejarah masa lalu memang tidak berdiri sendiri, tapi merupakan mata rantai peristiwa yang bersambung.
Devide et impera yang merupakan misi abadi kolonialisme itu memang sedang dilakukan oleh rezim secara sistemik, seiring dengan sistemiknya kehancuran perekonomian nasional hari ini.
Ini terlihat dari APBN kita yang tekor. Karena, sebagian pengeluaran dipakai untuk bayar bunga dan pokok cicilan utang yang kini menembus di angka Rp 7.000-an triliun.
Media Eropa dan Amerika telah memberi peringatan. Menurut Rocky Gerung, setidaknya ada lima media di dua benua itu memberi sinyal Indonesia menuju negara bangkrut. Salah satu pemicunya ditengarai akibat proyek mercusuar Ibu Kota Negara (IKN) yang dipandang bermasalah.
Insiden pengeroyokan pegiat medsos yang juga dosen Universitas Indonesia (UI) Ade Armando pada Senin, 11 April 2022, ternyata tidak membuat demo mahasiswa berhenti menuntut Pemerintah dengan 6 tuntutannya.
Bahkan, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) bersama Aliansi Mahasiswa Indonesia (AMI) berencana melakukan demo pada 21 April 2022 di Jakarta. Di berbagai daerah pun demo masih berlanjut.
Ketika pihak kepolisian masih berusaha menyelidiki siapa-siapa perlaku yang menganiaya Ade Armando, mantan Ketum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie, menuding ada keterlibatan Relawan Anies. Bahkan, FPI dan HTI yang sudah dibubarkan pemerintah, juga dituduh terlibat.
Tentunya tudingan Grace Natalie itu sangat tidak mendasar, karena itu hanya berdasar screenshot dari sebuah foto dalam sebuah WAG yang tak jelas siapa saja anggota grupnya. Selang dua hari kemudian netizen berhasil membongkar dugaan keterlibatan mantan staf Kantor Staf Presiden, Ari Supit
Grup WhatsApp yang dimaksud itu namanya Nusantara 98. Terlihat pada gambar yang diunggah ada sebuah foto yang menunjukkan wajah pria dan sosok Ade Armando yang difoto dari jarak jauh.
Di bawah foto itu diberikan narasi ajakan menyerang Ade Armando yang disebut sebagai Islamophobia.
“Tolong diinfokan ke massa aksi kalau si Ade Armando ada di depan gedung DPR-MPR, geruduk si Islamophobia ini! Ade Armando, menyusup di sela-sela mahasiswa berdemo di gedung DPR RI pusat! Matiin aje tuh Ade Armando, sebagai mata-mata Belanda!,” berikut isi pesan dalam grup WhatsApp yang dikutip Suara.com, Selasa (12/4/2022).
Sebenarnya pemilik akun Twitter bukan fokus pada foto dan isi pesannya. Justru ia fokus pada nomor yang tergabung dalam grup WhatsApp tersebut. Nomor yang dimaksud dicurigai merupakan bagian dari pemerintah.
“Gaes, grup WA yang muat info tentang Ade Armando diisi oleh salah satu tim khusus kepresidenan bernama Ari Supit. Siapa dia sebenarnya dan kenapa bisa lolos di jantung pemerintahan,” cuit @AnakLolina2.
Cuitannya tersebut memancing warganet lainnya untuk mencari tahu pemilik nomor itu. Melalui sebuah aplikasi, ditemukanlah siapa pemilik nomor dengan nama Ari Supit.
Dalam tangkap layar aplikasi Get Contact, tertera nama Ari Supit dengan beragam jabatannya seperti Ari Supit Asist Staf Khusus Pres maupun Ari Supit Tim Komunikasi Presiden.
Atas temuan netizen itu, KSP Moeldoko langsung menjawab soal itu adanya keterlibatan pegawai KSP bernama Ari Supit di dalam grup WhatsApp yang berisikan ajakan provokatif terhadap Ade Armando. Moeldoko menegaskan kalau Ari Supit sudah tidak lagi menjadi staf di lingkungan Istana.
Moeldoko menegaskan Ari Supit memang pernah menjadi pembantu asisten seorang staf khusus presiden. Namun, Ari Supit hanya bekerja sampai tiga tahun silam.
“Yang bersangkutan memang pernah menjadi pembantu asisten di bawah staf khusus presiden (2016-2019). Namun, sejak 2019 sudah tidak lagi bekerja,” kata Moeldoko seperti dilansir Law-justice.co, Selasa (12/4/2022).
Kepada IDN Times, Ari Supit mengaku dimasukkan ke dalam grup WhatsApp itu oleh orang yang tidak dia kenal. “Saya di-invite oleh orang yang tidak saya kenal untuk masuk ke grup tersebut. Saya juga tidak mengenal siapapun di grup tersebut,” kata Ari Supit pada Rabu, 13 April 2022.
Meski dimasukkan ke grup WhatsApp oleh orang yang ia tak kenal dan semua di forum itu juga dianggap asing, namun Ari Supit tak langsung meninggalkan grup itu. Ia menyebut nomor ponselnya dimasukkan ke dalam grup WhatsApp tersebut begitu saja tanpa sepengetahuannya.
“Saya tidak pernah aktif dan tak melihat isu grup itu, karena di-add-nya pun, saya gak tahu,” katanya. Namun, Ari Supit mengaku kini sudah meninggalkan grup WhatsApp tersebut.
Meski Ari Supit mengelak dugaan netizen yang telah membongkar keterlibatan dia, sekarang tinggal bagaimana polisi menyelidikinya.
Yang jelas, kasus Ade Armando ini telah menarik perhatian seorang anggota Wantimpres yang juga Bos Mustika Ratu, Putri Kuswisny Wardana. Bersama Grace Natalie, ia sempat menjenguk Ade Armando ketika dirawat di RS.
Akibatnya, kini beredar meme seruan untuk memboikot produk Mustika Ratu, dan Emak-emak muslimah diminta untuk beralih ke produk kosmetik lainnya yang tidak membela penista agama.
Nasib buzzer di Indonesia masih beruntung dan aman. Tak tersentuh hukum meski sudah berkali-kali dilaporkan ke polisi, seperti Ade Armando, Permadi Arya, maupun Denny Siregar.
Cobalah tengok ke belakang dalam lintasan sejarah di Jerman dan Perancis.
Buzzer utama partai penguasa di Jerman pada perang dunia ke-2 bernama Goebbels, dia langsung bunuh diri saat partainya jatuh. Tidak sampai di situ saja, dia juga suruh semua anaknya untuk bunuh diri juga. Karena tak kuat menahan malu.
Saat Revolusi Perancis pecah, semua bangsawan tergolong juga sebagai buzzer dikejar dan dipenjarakan seumur hidup, bahkan istri raja sendiri juga tewas dipenggal kepalanya. Sampai sekarang ini tidak ada lagi yang mau mengaku sebagai bangsawan Perancis, karena tidak kuat menahan malu.
Semoga nasib buzzer di Indonesia tidak seperti di Jerman dan Perancis seperti kisah sejarah di atas. (*)